Pilu*

Meski berat tak bisa kutanggung, malu tak bisa kupikul, lelah tak bisa buang, aku akan terus berjalan. Menyusuri hari-hari sepi. Jalan-jalan sunyi. Menilisik lagi kisah-kisah lalu, menatanya, lalu menyimpannya dalam memori hati. Ah biarkanlah dia ada di sana selamanya, tanpa harus aku lupa, tanpa harus aku abai, tanpa aku harus ratapi.

Bagaimana pun dia pernah menjadi bagian terindahmu, hatiku menabahkan.


Tapi dia kini bahagia dengan orang lain, otakku menentang. Hari-harinya bersamamu kini sudah menguap entah kemana, lanjutnya. Engkau kini tinggal bayangan semu di masa lalu. Tak pantas diingatnya. Lalu mengapa engkau datang pula hari ini, hanya menambah sesak di hati.

Saat-saat terakhir
Tak apa, yang penting aku hadir hari ini. Toh cinta tak harus selalu bersama. Toh cinta pada akhirnya harus terpisah jua. Toh kebersamaan pada akhirnya berujung pada perpisahan pula. Setidaknya dia pernah begitu dekat denganku. Menemani hari-hariku. Melengkapi sebagian perjalanan hidupku.

Tapi kalau bisa, tidak hari ini. Tidak dengan cara seperti ini.

Memang harus aku akui, perpisahan dengan cara ini memilukan. Mengiris hatiku sedemikian dalam, hingga mengingatnya saja aku sudah merasa sakit. Di depan mataku, dia direbut.

Ya, aku memang tidak tepat berada di bawah terop saat itu, tetapi di sebelah kanan terop. Tepat di beranda rumah sang calon pengantin. Posisiku di pojok. Wajahku sendu, andai kau ingin tahu. Hatiku remuk redam. Aku memang sudah melepasnya. Merelakannya semenjak dulu, bahkan semenjak pertama kali bertemu.


Namun ada hati yang remuk dan robek pelan-pelan saat di depan mataku sendiri dia dibawa ke pelaminan. Disaksikan banyak pasang mata.

Tiba-tiba lamat-lamat di acara pernikahan itu, aku mendengar suara Glen Fredli menyenandungkan lagu akhir cerita cinta. Aneh memang, hampir tidak pernah di acara pernikahan ada lagu itu. Atau mungkin pikiranku saja. Beberapa hari sebelumnya aku memang sering mendengarkan lagu itu, sampai-sampai di pikiranku seolah-olah ada Winamp yang berulang memutar lagu itu.

Meski begitu, ia tetap tersenyum berjalan beriringan. Senyumnya berat, aku tahu. Aku selalu tahu saat dia tidak tersenyum tulus.

“Sampeyan nggak pantes senyum kecut seperti itu” ucapku sambil menyunggingkan senyum dulu.

Dia balik tersenyum, membalas senyumanku aku kira. Mencoba meneguhkan hatinya, melapang-lapangkannya. Dia memang selalu ingin membahagiakan orang lain. Sejauh ingatanku, dia tak peduli kemana saja aku membawanya, dia selalu bersedia dengan senang hati. Aku mendapatinya secara tidak sengaja di pertokoan Lawang. Dia tersenyum melihatku, dan aku pun begitu. Senyum yang begitu memikat. Dia hadir di saat yang tepat. Saat yang sebelumnya sudah putus.

“Sampeyan harus tetap tersenyum seberapa pun beratnya” imbuhku. “Pada akhirnya, bila waktunya kita berpisah dan sampeyan bersama orang lain, tetaplah tersenyum. Senyumnya sampeyan membuatku bisa menghadapi dunia. Seberapa pun beratnya”

Dia mengangguk setuju dan tersenyum. Berat. Berat memang memikirkan perpisahan di detik terakhir. Di saat kita tahu, kita tidak akan bisa mengelak darinya. Aku tahu dia begitu.

Beberapa minggu berselang, aku menyaksikan lagi senyum itu. Senyum berat yang ditahan sekuat tenaga. Aku tahu dia ingin lari, tapi tak bisa. Aku tahu dia ingin terbang, seperti yang selalu dikatakannya di sudut kamar, tapi tak berdaya.

Dia berjalan lambat menuju pelaminan, dan aku terdiam kaku di beranda rumah. Teman-temanku hanya tertawa, tidak ikut merasakan kesedihanku. Bersimpati pun mereka tidak.

Saat mereka tertawa di atas sedihku” dendang Glen menambah lukaku.

Meski perih
Di dalam lubuk kalbuku, aku masih ingin dia kembali. Menemaniku pulang seperti biasanya. Seperti dua hari lalu, seperti seminggu lalu.

Tapi ternyata itulah akhirnya. Dia tak pernah kembali. Tak pernah hadir lagi, kecuali dalam malam-malamku.



*Inilah kisah sedih temanku kehilangan sandal di hari pernikahan kawan, di suatu hari Minggu di Lamongan. Terinspirasi kisah nyata, kisah cinta sejati antara seorang anak manusia dengan sandalnya, yang ternyata di depan matanya sendiri dipakai salah satu tetangga si mempelai perempuan untuk berfoto ke pelaminan. Hingga kini, sandal itu tidak pernah kembali. Sering kali bila panas matahari mencapai ubun-ubun, temanku itu ke kamar mandi, membasuh muka, dan entah mungkin membasuh air matanya yang tiba-tiba berlinang. Mungkin dengan begitu, dia bisa sedikit sandalnya itu...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

comments
6 June 2014 at 11:14 delete

so sweet banget ya kisah cintanya. begitu dalam, begitu tulus, meski akhirnya harus berakhir dengan sebuah kisah pilu :)
coba sambil dengerin dan lihat lagu ini, biar semakin.... ah... pilu :D http://www.youtube.com/watch?v=bXQadhQ4fWY

Reply
avatar