Aku sakit di saat yang kurang pas, dan untungnya Faiz serta Abidin datang di saat yang pas. Rancangan mutakhir Allah mempertemukan kami bertiga dalam pertemuan dan persahabatan yang unik. Termasuk sore itu. Sebuah sore Minggu dalam suatu Oktober 2006 lalu.
Melihatku tergolek tidak berdaya otomatis membuat Faiz turun tangan. Ah dia memang sejenis manusia otomatis. Otentik. Dengan tangan-tangan terlatihnya, dia memijatku. Aku kecapekan dan kebanyakan pikiran, ujarnya. Dia lalu mengurut, menata urat-urat yang tegang. Faiz sejauh yang kami kenal adalah manusia dengan banyak talenta. Akademis bukan satu-satunya dunia yang ditekuninya. Pijat dan urut adalah dua di antara bejibun bakatnya.
Abidin tentu juga tak akan tinggal diam. Bukan tipe seperti itu dia. Setelah selesai dipijat, dia mengantarkanku berobat. “Saya yang mengantarkan Anton berobat Pak” kata Abidin pada bapakku.
Bila sakit, menghubungi Abidin akan menjadi jaminan bahwa kami, teman-temannya, akan mendapatkan pertolongan pertama. Abidin tergolong manusia super si pengantar orang sakit. Tak terhitung berapa banyak teman kami yang diantarkannya berobat. Dia adalah manusia super lainnya dengan kepedulian dan hasrat membantu yang melimpah.
Uniknya, keduanya adalah manusia yang dalam banyak hal berkebalikan. Bila terlibat dalam pembahasan serius atau santai, keduanya sering kali berseberangan. Mulai dari hal kecil seperti tentang sandal, biasanya ujung-ujungnya ketidaksepahaman. Di balik banyak hal yang berbeda seratus delapan puluh derajat itu dan serba berkebalikan, keduanya menyatu. Mirip dua sisi koin.
Faiz dulunya manusia super insomnia, dengan kesulitan tidur yang berada di level hampir tak termaafkan. Sepertinya sekarang Rima (istri yang tak kami sangka-sangka ternyata dirancangkan Allah untuk Faiz) sudah menangani bagian ini. Di sisi ekstrem lain, Abidin adalah manusia yang akrab sekali dengan bantal dan guling. Sekali bertemu, Abidin merasa seakan-akan seabad tak bertemu. Dia akan langsung terhipnotis, dan seketika terbawa ke alam mimpi. Hebatnya, meski saat tertidur dia masih bisa ngobrol. Saat Faiz bercerita di kamar kos kami, di saat itulah Abidin tertidur. Saat Faiz serius bertanya, saat itulah Abidin sudah melayang ke antah berantah.
Faiz manusia super teratur. Untuk urusan tugas kuliah, dia akan segera menyelesaikannya. Dia akan pikirkan sepenuh jiwa dan raga, dan berusaha meluangkan waktu untuk menghadirkan hasil terbaik. Abidin di sisi lainnya bisa memaksimalkan potensinya di waktu-waktu akhir. Kemampuan optimalnya justru keluar saat berada di ujung tanduk. He is the last minute man.
Beruntungnya, aku ada di tengah-tengahnya. Saat Faiz ingin cerita, dan Abidin tertidur, akulah yang kadang menjadi perantaranya. Saat Faiz selesai mengerjakan tugas, dan Abidin masih bergelut dengan konsep-konsep canggih di dalam pikirannya, akulah yang kadang mendorong keduanya berdiskusi alot. Hasilnya, tidak ada kesimpulan apa-apa.
Dalam banyak hal, kami berbeda. Dalam banyak pula kami sama dan setara. Dulu saat masih kuliah, orang-orang menyebut kami tiga serangkai. Kemana-mana kami bertiga. Dalam kepanitiaan, kami pun bertiga. Dalam urusan percintaan, kami pun hampir dalam waktu bersamaan menemukan tambatan hati kami. Untungnya, kami tidak pernah jatuh cinta pada perempuan yang sama. Kalau hati kami tertaut pada raga dan jiwa yang sama, entahlah bagaimana akhirnya.
Tapi jangan harap kami akur dalam membahas sesuatu. Alam pikiran kami berbeda-beda. Jarang sekali sama. Faiz dengan segala alur logikanya, Abidin dengan segenap pikiran emotif canggihnya, dan aku dengan imajinasiku sendiri adalah serangkaian tiga manusia yang bersama-sama dalam ikatan persahabatan tetapi berbeda dalam alam pikiran dan tindakan.
Kerinduanku akan romansa-romansa persahabatan di masa lalu itu terobati sore kemarin saat keduanya mengunjungi keluargaku. Keduanya bersama-sama rombongan keluarganya masing-masing datang di saat yang tepat. Tepat di saat kami sama-sama memiliki anak-anak yang saling berebut mainan, dan bertengkar. Tepat di saat kami memiliki istri yang saling bercerita dengan celotehan-celotehan khas perempuan. Keduanya hadir lagi sore kemarin, di saat yang tepat.
Entah kapan aku bisa hadir bagi mereka, membalas budi dan kebaikan mereka. Mereka berdua sudah menjadi teladan bagiku, Faiz dengan segala ketekunan, kedisiplinan, upaya dan kerja kerasnya, dan Abidin dengan mimpi-mimpi besar, ketulusan, uluran tangan, bantuan, dan persahabatannya.
Terima kasih kawan atas kehadiran kalian malam ini. Malam itu. Dan malam-malam lain saat kita merangkai mimpi kita masing-masing. Atas ketulusan dan persahabatan kalian. Dalam diam saat kata-kata tak lagi bermakna, kehadiran kalian sudah mengatakan segalanya.
Malang, 12 Mei 2014