Pagi ini salah satu pekerjaan kami gagal lagi. Untuk kesekian kali. Ada
banyak penyebab, mulai dari bahasa sumber yang tak jelas dan deadline yang terlalu banyak hingga
konsentrasi yang melemah.
Hanya, pagi ini saya tersenyum. Bukan karena kegagalan itu lantas saya
tersenyum, tetapi karena saya mulai menikmati kegagalan. Ya, persis seperti
teman-teman PKLI UIN yang magang di tempat kami tersenyum menghadapi kegagalan
mereka. Mereka mulai menikmati kegagalan sebagai suatu hal yang wajar.
Lumrah saja.
Fakta itu membuat saya tak lagi perlu khawatir mereka akan menjadi
generasi Z yang takut menghadapi kegagalan, lalu depresi. Depresi sendiri
akhir-akhir ini menjadi musuh senyap yang tiba-tiba merenggut banyak jiwa di dunia.
Saya tidak perlu khawatir lagi tentang potensi depresi ini.
Beberapa kali saya menyampaikan bahwa kegagalan pasti akan menyertai jalan menuju keberhasilan. Cita-cita. “Bahkan kami di tim Transbahasa gagal beberapa kali. Saya
sering gagal. Sering. Kegagalan sebuah proses alamiah dari pertumbuhan seseorang” ucap
saya. Saat itu mereka gagal dalam proyek ketiga mereka. Wajar saja sebenarnya,
sebab saya menggunakan penilaian ketat
khas standar industri terjemahan.
Suasana saat bekerja |
Saya tahu hati mereka pasti sakit, persis seperti saya dulu. Hati mereka
galau. Suasana jadi kacau. Kegagalan tidak pernah terasa manis. Saya tahu
mungkin akan muncul persepsi “Guru pembimbing macam apa saya ini? Mahasiswa
bimbingannya kok gagal terus”. Namun, saya memilih menempuh jalan tidak yang
jarang dilewati itu. Tidak populer itu. Sudah waktunya mereka menghadapi
kenyataan. Menelan pil pahit kegagalan. Tak apa bila saya dicap guru gagal
selama mereka memetik faedah penting tentang makna perjalanan mereka saat
magang di tempat kami.
“Gagal saja tak apa, asalkan engkau
belajar darinya” ujar Danzel Washington dalam salah satu ceramah. Untunglah di
awal-awal program magang, mereka sudah menerjemahkan beberapa materi seperti
ini. Akhirnya, mereka belajar dan terpaksa menghadapi kegagalan, terbiasa, dan senyum-senyum saja saat
menghadapi gelombang kegagalan yang bertubi-tubi itu.
Source: Azquotes.com |
Gelombang kegagalan membuat jiwa mereka terasah, demikian menurut
pengamatan saya. Mereka tidak lagi terpaku dari satu sudut pandang, tetapi dari
banyak sudut pandang. Selain itu, kegagalan itu memaksa mereka harus jujur
menganalisis semua hal. Jujur melihat diri sendiri, seperti halnya saat kami
diajari oleh Pak Sugeng, guru kami di Transbahasa. Jujur, ya sifat yang
semakin lama semakin langka itu.
“Ini daftar kesalahan menerjemahkan saya Pak. Jadi, kalo diubah jadi angka,
nilai saya sekitar 60” kata
Ndaru menjelaskan tentang nilai terjemahannya sendiri. Padahal, Ndaru adalah salah satu mahasiswa paling cerdas di kelas, begitu penuturan teman-temannya.
“Ya Pak, ternyata bahasa Indonesia memang susah. Ternyata saya tidak bisa
berbahasa Indonesia” ujar Amel pada lain kesempatan.
“Ternyata kesalahan saya banyak di Meaning dan Naturalness of Language”
kata Sandra sambil tertawa kecil. Dia sepertinya menertawakan dirinya sendiri.
Apa yang lebih membanggakan daripada orang-orang yang jujur melihat
realitas diri, dan berusaha memperbaikinya? Saya kira tidak banyak. Di tengah banyaknya orang yang
menyalahkan orang lain, menyalahkan Yahudi, Nasrani, bahkan Jokowi atas kegagalannya, mereka jujur menerimanya.
Meresapinya, lalu mengambil langkah untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu.
Selain kejujuran, mental mereka kian tangguh. Kekompakan mereka terjalin
erat. Persahabatan mereka tertempa kian kokoh.
Pada suatu momen, saya pernah memancing mereka untuk bercerita tentang
salah seorang teman yang beberapa kali tidak masuk dengan berbagai alasan.
“Nanti saja kalo ada orangnya kami cerita Pak" sahut Nizar. “Nggak
enak kalo nggak ada orangnya.”
“Ya betul, nanti saja kalo ada orangnya” balas saya. Diam-diam saya jatuh
cinta pada mereka memperlakukan teman seperti itu.
Di lain waktu, Taufik menghadap saya. “Ini Pak pekerjaannya Aziz. Saya tadi
ke sana karena dia sakit. Saya sekalian membawakan tugasnya” ujarnya sambil
menyerahkan tugas itu. Saya kehabisan kata tentang solidaritas pertemanan yang
membuat saya terenyuh ini.
Ada lagi satu momen mengharukan. Pada suatu siang yang biasa-biasa saja, awan gelap menutup pendar
cahaya mentari. Mungkin hujan akan
tiba sebentar lagi. Tiba-tiba ruang lantai 1 di Transbahasa sepi. Tak ada satu
suara pun. Saya menerka ke mana gerangan mereka. Ke warung kah? Atau keluar tanpa
izin?
Tiba-tiba ruang kosong |
Alangkah kagetnya saya, sebagian besar sudah ada di shaf pertama jamaah
sholat di Masjid Muhajirin, Joyogrand. Pemandangan mengharukan, bukan?
Mengingat pada hari pertama, hanya sebagian kecil yang sholat di Masjid.
Dan kemarin tibalah kami pada penghujung cerita kebersamaan kami. Teman-teman PKLI pamit. Durasi program PKLI berakhir. Teman-teman TB hadir, bu Galuh (dosen pembimbing) pun
demikian.
Saat penyerahan kenang-kenangan, mereka memberikan sertifikat kepada
teman-teman Transbahasa karena turut membantu menyukseskan program PKLI,
blocknote, dan pulpen. Mereka hendak berterima kasih dari hati. What a sweet gift! Seumur-umur,
baru pertama kali teman-teman PKLI juga berterima kasih dengan memberikan
sertifikat.
Mereka juga menyerahkan buku berjudul Fall
Forward kepada Bu Galuh sebagai ucapan terima kasih, sekaligus hadiah ulang
tahun.
Buku itu digarap secara kolaboratif dalam waktu berhari-hari dan berjam-jam.
Buku itu mencuri waktu tidur kami, terutama Nizar dan Ndaru yang membantu
proses editing, Sandra, Amel, dan Taufik yang membantu proses
proofreading, Nika, Sastro, dan Azis yang membantu menerjemah, serta Fauzi yang harus ngelembur mendesain dan
memastikan semuanya berjalan lancar dan tepat waktu. Dan, Malik yang mengurusi pencetakan buku.
Diterjemahkan dengan semaksimal
kami. Ditata perlahan dengan tangan.
Dilem secara manual, dan ditunggu keringnya selama beberapa jam. Yang
terpenting, kami merancang dan membuatnya dengan cinta dan hati. Dengan kerja keras dan ketulusan.
Keikhlasan yang mengental.
Ya, kami mempersembahkan yang terbaik dan tertulus untuk Ulang Tahun Bu
Galuh dan Ulang Tahun Pak Sugeng, pendiri dan pemilik Transbahasa pada Maret
mendatang.
Saya pun kehabisan kata melihat semua upaya, daya, tenaga, kasih, dan
ketulusan itu.
Di tengah bermacam-macam kekurangan dan kealpaan saya sebagai guru
lapangan, teman-teman PKLI
UIN menutupi dan melindunginya.
Ah, bila
seandainya boleh memutar waktu seribu kali, saya ingin kembali menjadi guru
pembimbing mereka untuk
keseribusatu kali. Lagi dan lagi.
Malang 13 Februari 2018