Sabtu siang itu terik. Matahari sedang panas-panasnya. Mata kuliah kami juga penuh sedari kemarin. Lelah fisik dan letih otak meremuk-redamkan badan, tapi senyum kami harus tetap lebar. Bukan apa-apa, agar rasa lelah tidak terlalu terasa saja.
Dan kebetulan hari Sabtu itu, 18 November 2017, giliran saya presentasi di mata kuliah Filsafat Ilmu. Di antara mata kuliah lain, saya relatif lama mempersiapkan slide dan makalahnya. Saya sangat menikmati mata kuliah satu ini. Begitu pun teman-teman.
Di mata kuliah yang mestinya rumit dan memeras otak ini, kami seakan bisa istirahat dari deraan mata kuliah inti yang biasanya menyedot habis energi, fokus, dan kapasitas otak. Di mata kuliah ini, kami menjadi diri sendiri. Bercanda dan tertawa, seperti biasanya.
Oya, makalah saya hari itu berjudul "Meneropong Ilmu sebagai Aktivitas & Dimensi-dimensi Ilmu (Psikologi, Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Politik)". Seram juga judulnya, bukan?
Saya awali presentasi siang itu dengan puisi berjudul Merantaulah, yang konon digubah Imam Syafiie.
Saya berdiri di depan lalu mulai membaca:---
Tepuk tangan teman-teman menggema, sebab jarang, kata mereka, presentasi dimulai dari deklamasi. Begitu juga dosen Filsafat kami, Bapak Ajang Budiman. Beliau tersenyum simpul. Dari sorot mata beliau yang selalu teduh, terpancar kebahagiaan. Terutama mungkin, di kelasnya ini, kami menemukan secercah senyum, dan segudang tawa.
Saya membaca puisi ini demi kami sendiri. Demi teman-teman sekelas. Semester ini baru awal dari dua tahun atau lebih masa studi yang akan kami tempuh. Onak dan duri akan perlahan berganti menghambat langkah kami. Jalan terjal harus kami taklukkan.
Itu pula yang saya alami beberapa minggu sebelumnya. Penyakit tipes membuat saya lumpuh dan hanya bisa berebahan di tempat tidur. Dua minggu lamanya saya terdiam sendiri. Memikirkan apakah ada guna saya meneruskan kuliah ini.
Jadi, motivasi untuk tetap bersama, bergandengan, saling menguatkan dan memotivasi saat menggali ilmu ini menjadi berharga sekali. Itulah alasan utama saya mencari puisi ini, yang cocok dengan jati diri kami. Kami adalah para perantau, yang disatukan jalinan takdir untuk bersama belajar di kampus putih ini.
Saya pun memulai presentasi dengan menjelaskan ilmu, dan bagaimana ilmu tidak berdiri sendiri. Ilmu terkait dengan dimensi-dimensi kehidupan nyata yang tak bisa terpisah. Bagaimana ilmu diperoleh, disintesiskan, dan diintegrasikan menjadi topik berikutnya.
Sesi berikutnya menjadi sesi yang kami tunggu-tunggu. Sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, kami bisa bebas bertanya dan menjawab. Tak ada jawaban benar atau salah. Yang ada hanya jawaban dari perspektif lain, yang biasanya disampaikan oleh Pak Ajang.
Semisal, pada suatu presentasi, Bu Ida, salah satu teman kami, menjelaskan bahwa sudah seharusnya orang-orang dari suku asli, semisal suku Dayak, dientaskan dengan diberi pendidikan modern dan gaya hidup modern. Saya tidak setuju. Menurut saya, mereka perlu dibiarkan karena toh pendidikan dan gaya hidup modern justru menjadi biang kerusakan alam. Betapa besar kerusakan alam Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua, dll disebabkan berulang-ulang oleh orang yang berpendidikan modern. Perbedaan pandangan kami cukup tajam sampai akhirnya Pak Ajang menengahi.
"Sekarang isu yang berkembang bukan tentang menyediakan pendidikan modern atau membiarkan mereka hidup secara alami, tapi tentang pemberdayaan"
Kami terdiam. Menatap langsung beliau menjelaskan secara lebih cermat.
"Jadi, kata kuncinya adalah pemberdayaan" tukas beliau.
Dan beberapa kali jawaban semacam itu disampaikan dengan mudah. Kepribadian dan cara beliau mengajar membuat kami tidak pernah takut bertanya dan menjawab. Sebab, beliau akan memberikan jawaban yang tidak hanya memuaskan semua pihak, tapi juga mencerahkan. Semakin kami berbuat salah, semakin kami belajar.
Begitu juga ketika Mbak Fahim bertanya tentang teladan atau uswatun hasanah, misalnya terkait peran teladan dan penggunaan smartphone oleh anak-anak.
"Betul. Itulah yang saya coba praktikkan terhadap anak saya sendiri Mbak. Sudah dua minggu anak saya tidak menggunakan hape"
Teman-teman sekelas terperangah. "Luar biasa" ujar Mbak Fahim.
"Bukan karena uswatun hasanah, tapi karena hapenya saya sita".
Dan kami pun meledak dalam tawa.
Dan begitulah dua tahun berlalu dengan penuh tawa, tangis, suka, dan duka. Bukan hanya ilmu dan pengalaman yang kami peroleh dari kampus tercinta, tapi juga kerabat dan sahabat. Betul, persis seperti salah satu baris dalam puisi Imam Syafiie di atas. "Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan".
Dan setelah lulus, lega hati kami sebab kami belajar dengan merdeka dan bahagia. Lalu terdengar lagu "Itulah tandanya kau murid budiman."
Ya, kami adalah murid budiman, murid Bapak Ajang Budiman hehe
Dan kebetulan hari Sabtu itu, 18 November 2017, giliran saya presentasi di mata kuliah Filsafat Ilmu. Di antara mata kuliah lain, saya relatif lama mempersiapkan slide dan makalahnya. Saya sangat menikmati mata kuliah satu ini. Begitu pun teman-teman.
Di mata kuliah yang mestinya rumit dan memeras otak ini, kami seakan bisa istirahat dari deraan mata kuliah inti yang biasanya menyedot habis energi, fokus, dan kapasitas otak. Di mata kuliah ini, kami menjadi diri sendiri. Bercanda dan tertawa, seperti biasanya.
Oya, makalah saya hari itu berjudul "Meneropong Ilmu sebagai Aktivitas & Dimensi-dimensi Ilmu (Psikologi, Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Politik)". Seram juga judulnya, bukan?
Saya awali presentasi siang itu dengan puisi berjudul Merantaulah, yang konon digubah Imam Syafiie.
Saya berdiri di depan lalu mulai membaca:---
Merantaulah …
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah …
Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus di dalam hutan
Tepuk tangan teman-teman menggema, sebab jarang, kata mereka, presentasi dimulai dari deklamasi. Begitu juga dosen Filsafat kami, Bapak Ajang Budiman. Beliau tersenyum simpul. Dari sorot mata beliau yang selalu teduh, terpancar kebahagiaan. Terutama mungkin, di kelasnya ini, kami menemukan secercah senyum, dan segudang tawa.
Saya membaca puisi ini demi kami sendiri. Demi teman-teman sekelas. Semester ini baru awal dari dua tahun atau lebih masa studi yang akan kami tempuh. Onak dan duri akan perlahan berganti menghambat langkah kami. Jalan terjal harus kami taklukkan.
Itu pula yang saya alami beberapa minggu sebelumnya. Penyakit tipes membuat saya lumpuh dan hanya bisa berebahan di tempat tidur. Dua minggu lamanya saya terdiam sendiri. Memikirkan apakah ada guna saya meneruskan kuliah ini.
Jadi, motivasi untuk tetap bersama, bergandengan, saling menguatkan dan memotivasi saat menggali ilmu ini menjadi berharga sekali. Itulah alasan utama saya mencari puisi ini, yang cocok dengan jati diri kami. Kami adalah para perantau, yang disatukan jalinan takdir untuk bersama belajar di kampus putih ini.
Saya pun memulai presentasi dengan menjelaskan ilmu, dan bagaimana ilmu tidak berdiri sendiri. Ilmu terkait dengan dimensi-dimensi kehidupan nyata yang tak bisa terpisah. Bagaimana ilmu diperoleh, disintesiskan, dan diintegrasikan menjadi topik berikutnya.
Sesi berikutnya menjadi sesi yang kami tunggu-tunggu. Sesi tanya jawab. Dalam sesi ini, kami bisa bebas bertanya dan menjawab. Tak ada jawaban benar atau salah. Yang ada hanya jawaban dari perspektif lain, yang biasanya disampaikan oleh Pak Ajang.
Semisal, pada suatu presentasi, Bu Ida, salah satu teman kami, menjelaskan bahwa sudah seharusnya orang-orang dari suku asli, semisal suku Dayak, dientaskan dengan diberi pendidikan modern dan gaya hidup modern. Saya tidak setuju. Menurut saya, mereka perlu dibiarkan karena toh pendidikan dan gaya hidup modern justru menjadi biang kerusakan alam. Betapa besar kerusakan alam Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua, dll disebabkan berulang-ulang oleh orang yang berpendidikan modern. Perbedaan pandangan kami cukup tajam sampai akhirnya Pak Ajang menengahi.
"Sekarang isu yang berkembang bukan tentang menyediakan pendidikan modern atau membiarkan mereka hidup secara alami, tapi tentang pemberdayaan"
Kami terdiam. Menatap langsung beliau menjelaskan secara lebih cermat.
"Jadi, kata kuncinya adalah pemberdayaan" tukas beliau.
Dan beberapa kali jawaban semacam itu disampaikan dengan mudah. Kepribadian dan cara beliau mengajar membuat kami tidak pernah takut bertanya dan menjawab. Sebab, beliau akan memberikan jawaban yang tidak hanya memuaskan semua pihak, tapi juga mencerahkan. Semakin kami berbuat salah, semakin kami belajar.
Begitu juga ketika Mbak Fahim bertanya tentang teladan atau uswatun hasanah, misalnya terkait peran teladan dan penggunaan smartphone oleh anak-anak.
"Betul. Itulah yang saya coba praktikkan terhadap anak saya sendiri Mbak. Sudah dua minggu anak saya tidak menggunakan hape"
Teman-teman sekelas terperangah. "Luar biasa" ujar Mbak Fahim.
"Bukan karena uswatun hasanah, tapi karena hapenya saya sita".
Dan kami pun meledak dalam tawa.
Dan begitulah dua tahun berlalu dengan penuh tawa, tangis, suka, dan duka. Bukan hanya ilmu dan pengalaman yang kami peroleh dari kampus tercinta, tapi juga kerabat dan sahabat. Betul, persis seperti salah satu baris dalam puisi Imam Syafiie di atas. "Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan".
Dan setelah lulus, lega hati kami sebab kami belajar dengan merdeka dan bahagia. Lalu terdengar lagu "Itulah tandanya kau murid budiman."
Ya, kami adalah murid budiman, murid Bapak Ajang Budiman hehe