luka

luka

pain

will soon fade away

when it already

forced you to learn

about an acceptance

--

luka

akan perlahan sirna

saat sudah tuntas

memaksamu belajar

menerima

keadaanku, ketiadaanmu

keadaanku, ketiadaanmu

-----

apa yang awan rasakan

saat cintanya pada hujan

membuatnya sirna?


apa yang matahari rasakan

saat cintanya pada bulan

membuatnya menepi perlahan?


apa yang kayu rasakan

saat cintanya pada bara api

membuatnya mengabu?


apa yang kamu rasakan

saat cintamu padanya

memaksamu ikhlas dan menerima?


apakah sebagian ada karena ketiadaan sebagian lainnya?

seperti keadaanku berarti ketiadaan dirimu?




Puisi Ada Apa dengan Cinta 1? Karya Rako Prijanto - Cerita dan Analisisnya

Film Ada Apa dengan Cinta? adalah falah satu film Indonesia yang menandai kebangkitan industri perfilman Indonesia. Setelah sukses menggebrak dengan petualangan Sherina, film ini menjadi tonggak penting pasca era reformasi.

Film besutan sutradara ternama Rudi Soedjarwo ini menjadi film terlaris kala itu. Lagu yang dibawa Melly Goeslaw meledak. Pasangan Rangga dan Cinta menjadi legenda di benak-benak anak muda kala itu.

Salah satu yang unik dalam film ini dimasukkannya puisi ke dalam penguatan karakter Cinta dan Rangga.

Untuk Cinta sendiri, dia membacakan puisi di bawah ini:     

Aku Ingin Bersama Selamanya

Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tubuh yang mengakar
Setiap nafas yang terhembus adalah kata
Angan, debur dan emosi
Bersatu dalam jubah terpautan
Tangan kita terikat
Lidah kita menyatu
Maka apa terucap adalah sabda pendita ratu
Ahh.. di luar itu pasir di luar itu debu
Hanya angin meniup saja
Lalu terbang hilang tak ada
Tapi kita tetap menari
Menari cuma kita yang tahu
Jiwa ini tandu maka duduk saja
Maka akan kita bawa
Semua
Karena..
Kita..
Adalah..
SATU

Puisi “Aku Ingin Bersama Selamanya” di atas mengambil tema tentang persahabatan. Di film Ada Apa dengan Cinta, puisi ini diciptakan tokoh Cinta karena terinspirasi persahabatannya dengan empat orang. Puisi “Aku Ingin Bersama Semalamya” ini dibacakan Cinta di hadapan mereka dengan iringan petikan gitar. Puisi ini menggambarkan betapa cinta sangat menyayangi sahabat-sahabatnya dan ingin selalu bersama dengan sahabat-sahabatnya di saat senang maupun susah.

Puisi kedua adalah puisi yang mungkin paling fenomenal di film ini. Judulnya Tentang Seseorang. Puisi yang ditulis Rangga ini memenangkan lomba puisi di majalah dinding sekolah.

Yuk kita simak.  

Tentang Seseorang

Kulari ke hutan kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai kemudian teriakku
Sepi… sepi dan sendiri aku benci

Ingin bingar aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga jika kusendiri

Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang ditembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai

Ada dua cara untuk menikmati puisi ini. Bisa dengan membacanya perlahan dan kita akan disuguhi deretan kata-kata indah. Cara kedua adalah mendengarkan Dian Sastro membacakannya di kafe. Cara apa pun yang dipilih, kita bisa menikmatinya dengan maksimal. Tentu, bila kita suka puisi. Bila tak suka, cara apa pun takkan bisa membuat hati kita bergeming.

Terkait maknanya, semua orang bisa punya makna berbeda, yang tergantung dari banyak faktor. Menurut saya pribadi, puisi Tentang Seseorang ini juga bisa bermakna ganda, bercerita centang "seseorang" atau "orang lain" atau bercerita tentang "seseorang" tapi yang dimaksud adalah si "aku".

Mari kita bahas penafsiran untuk makna pertama. Jadi, si aku ini mengalami kesepian yang akut. Saking sepinya, dia sampai menyanyi di hutan atau berteriak di pantai. Si aku juga juga merasakan penat dan seakan hidup di alam yang pekat, yang ingin dia hindari. Si aku lalu punya ide untuk mencari perhatian, yaitu memecahkan gelas atau mengaduh hingga gaduh. Atau menggoyangkan lonceng hingga terdera. Namun, tokoh si aku dalam puisi ragu "Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai". Oleh karena itulah, si aku butuh seseorang.

Penafsiran kedua adalah "Seseorang" yang dimaksud ini adalah si aku.

Lumayan asyik juga, kan?

Puisi ketiga dan terakhir adalah puisi yang juga menjadi judul dari film ini. Yuk kita simak.

Ada Apa Dengan Cinta?

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga
dalam mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja

Puisi ini ditulis oleh Rangga dan diberikan oleh Cinta ketika Rangga akan pergi ke Amerika. Puisi ini bertemakan tentang cinta antara dua orang yang saling mencintai tetapi belum sempat terwujud indah. Dimulai dari gambaran pahit tentang seorang perempuan, yaitu seorang ibu. Di film ini, diceritakan bahwa ibu Rangga pergi karena "cinta" lalu meninggalkan Rangga bersama sang ayah. Mungkin karena alasan ini, karakter Rangga digambarkan sebagai orang yang dingin. Ketus. Sinis. Caranya berkomunikasi melalui puisi, yang juga tak banyak dipahami orang lain.

Namun, sosok dingin ini membuat Cinta penasaran lalu jatuh cinta. Si Rangga, yang juga sebenarnya suka, tak mudah tergoda. Sisi kelam dan trauma yang menggelayut di hatinya membuatnya tak mudah percaya kata cinta dan Cinta. 

Dia tetap melihat secercah harapan pada cinta dan sosok Cinta. Oleh karenanya, ia akan tetap kembali pada suatu purnama untuk mempertanyakan kembali cinta dan sosok Cinta.

Dan akhirnya si Rangga berangkat ke New York, meninggalkan Cinta di Indonesia.

Film ini akhirnya berlanjut beberapa tahun setelahnya, tepatnya 15 tahun berselang atau tahun 2017. Sebagaimana ciri khas film AADC sebelumnya, puisi masih kental menghiasi setiap film. Di film kelanjutannya, puisi-puisi Rangga tak lagi ditulis oleh Rako, tetapi oleh Aan Mansyur, yang bisa diklik di sini.

Bedah Buku Insight from EFL Classroom: dari iPhone hingga Blackpink, BTS, dan Ben Anderson

Sabtu sore kemarin cukup meriah. Tepat pukul 15-15, tanggal 10-10-20-20, acara bedah buku berjudul Insight from EFL Classroom dimulai. Acara menarik berpadu dengan kombinasi angka yang cantik. Asyik, bukan?

Hadir sebagai moderator, Mbak Rias, alumni S2 Prodi Bahasa Inggris. Pembedah utamanya adalah Bapak Edi Dwi Riyanto, Ph.D, dosen FIB Universitas Airlangga Surabaya. Sebagai tuan rumah, Bapak Dr Estu Widodo menjadi pembicara pembuka. Beliau saat ini menjabat Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Direktorat Pascasarjana UMM  sekaligus editor buku antologi yang akan dibedah ini.

Saya sendiri? Ya figuran lha tepatnya wkwk. Penyemarak acara.

Memang, suatu kehormatan dan kebanggaan saat diundang sebagai salah satu pembedah oleh Prodi tempat saya menimba ilmu. Namun, yang tidak banyak diketahui, keterkejutan dan kebingungan memenuhi seluruh relung otak sejak undangan itu.

Sejak lulus dari program S1 Pendidikan Bahasa Inggris Unisma, waktu saya lebih banyak habis untuk menerjemah. Namun, saat dihubungi Pak Estu, Kaprodi saat ini sekaligus dosen saya saat 4 semester menempuh proses belajar di UMM, saya hanya bisa menjawab “iya, siap”.  Saya anak desa yang sama, yang dididik dengan prinsip tawadlu dan patuh kepada guru. “Jika gurumu memintamu loncat ke sumur, loncatlah. Kebarokahan ilmu itu di situ”.

Kebingungan itu makin menjadi saat saya dikirimi draf buku. Ternyata sebagian penulisnya adalah dosen-dosen saya sendiri. Dilema berkecamuk di dada. Bagaimana saya bisa membahas tulisan guru-guru saya sendiri? Kecemasan saya bertambah manakala saya tahu bahwa pembicara satunya adalah akademisi berpengalaman yang bergelar doktor dari salah satu universitas di Australia.  Maka, kebingungan dan kecemasan sempurna mengusik malam-malam saya.

Lalu, pada suatu malam saat mata tak bisa terpejam, terlintas ajaran-ajaran para dosen. Ya, saya dididik di UMM untuk momen seperti ini. Momen ketika saya harus menghadapi ketakutan dan kecemasan. Momen ketika saya harus menjadi diri sendiri. Yup, saya harus yakin pada diri sendiri.

Saat tiba giliran saya berbicara pada Sabtu sore itu, tayangan gambar di bawah menjadi pembuka.

Sebagian terlihat terkejut, sebagaimana yang terlihat di layar Zoom. “Apa kaitannya iPhone jadul dengan buku yang akan dibedah?” Untuk mengenyahkan rasa penasaran mereka, saya bertanya. Hape apa yang saya tampilkan dan apa yang membuat orang membeli hape di atas itu?

Suasana hening. Tak ada satu pun yang menjawab. Saya pun gusar.

Baru saya sadar ternyata mereka semua “muted” alias speakernya mati. Oalah. Saya pun berpura-pura menebak pikiran mereka bahwa biasanya orang membeli iPhone karena mereknya. Karena terlihat canggih. Atau pemiliknya terlihat makmur alias kaya. Jawaban itu semua betul. Namun, jawaban yang paling tepat adalah pengalaman pengguna atau user experience (UX).

Begitu juga konsep yang diusung buku ini, simpul saya kemudian. Buku ini mencoba menyajikan reader experience (RX). Bukan hanya isi buku, tetapi keseluruhan pengalaman yang akan diperoleh pembaca.

Saya mulai dari sisi luar.

-   Sampul Elegan. Seperti buku-buku serupa yang diterbitkan oleh para penerbit dari luar negeri. Elegan. Penuh warna tetapi tidak berlebih-lebihan.

-   Font Menawan. Pilihan font-nya tidak menyakiti mata.

-   Jarak Memadai. Jarak antarkata dan antarbaris juga pas. Tidak terlalu lebar. Tidak terlalu sempit.

-   Tata Letak Rapi. Tata letak antar satu tulisan dan tulisan lain juga rapi.

-   Ketebalan Pas. Jumlah halamannya kurang sedikit dari 300 halaman. Tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis.

Bagaimana dengan isinya?

-   Topik beragam & menarik. Saya mengambil tiga contoh tulisan/artikel di bawah ini.

1.    Exploring Microsoft Word Features Relevant for English Language Teaching.  Dalam artikel ini, terdapat banyak tips teknis yang berguna sekali tidak hanya bagi guru atau dosen, tetapi juga bagi mahasiswa manakala mereka menulis tugas atau skripsi atau tesis. Ada fitur spell-checking misalnya. Atau fitur “comment” atau “track changes”. Apa gunanya? Baca sendiri hehe.

2.    Imagined and Practiced Identity of English Learners in the Indonesian Context. Dalam artikel ini, ada unsur kebaruan yang diusung. Buku ini mengambil nafas “Sociocultural Turn in SLA.” Sebagaimana disitir dalam buku tebal berjudul The Study of Second Language Acquisition karya Rod Ellis, studi tentang SLA tidak lagi melulu berkisar Cognitivism tetapi beralih ke konteks sosial budaya. Dalam artikel ini, dibahaslah kaitan antara Practiced Identity, Imagined Identity, Investment, dan Motivation. Menariknya, konsep imagined identity ini mengambil inspirasi dari karya Ben Anderson, Imagined Communities. Yang lebih menarik lagi, Ben Anderson sendiri adalah Indonesianis yang mengabdi di Cornell. Sebagai informasi, Ben Anderson ini meninggal di Batu, Malang.

3.    Shaping Early Children Science Development through Discovery Learning as Brain-based Activities. Dalam artikel yang ditulis seorang doktor pakar EYL di UMM ini, dibahas penggabungan antara pembelajaran sains dan bahasa Inggris. Artikel ini mengingatkan kita pada tren terbaru dalam pembejaran bahasa, yaitu CLIL (Content and Language Integrated Learning). Sederhananya, pembelajaran sains bisa disampaikan dengan bahasa Inggris sehingga siswa bisa belajar sains sekaligus bahasa Inggris. Menarik, bukan?

-       Dilengkapi biografi. Setiap tulisan di buku ini langsung dilengkapi biografi penulis dan latar belakang pendidikan serta minatnya dalam bidang penelitian. Ini penting untuk artikel ilmiah. Di era yang memungkinkan setiap orang bicara apa saja tanpa perlu latar belakang, buku ini menjadi semacam jaminan bahwa isi buku ini bukan hoax. Penulisnya kredibel, begitu pula tulisannya. Di era post-truth dan death of expertise, faktor ini menjadi penting agar hanya orang yang memiliki pengetahuan dan kewenangan yang membuat pernyataan-pernyataan ilmiah. Dengan cara ini, kita menghindari carut-marut dunia sosial yang dipenuhi hoax dan kabar burung yang tak terverifikasi.

Lalu Apa yang Bisa Disempurnakan ke Depan?

Menurut saya, keragaman topik yang menjadi kekuatan itu bisa juga berbalik menjadi kelemahan. Jadi, keragaman tersebut memakan “korban”. Misalnya, tips praktis, hasil penelitian, kajian pustaka, esai argumentatif, dan esai naratif berpadu di satu buku ini. Akhirnya, spirit atau ikatan yang ingin dijalin oleh buku ini jadi kurang jelas. Tata cara penulisan pun beragam, misalnya, hasil penelitian ditulis dalam bentuk past tense dan sebagian present tense. Selain itu, beberapa artikel dilengkapi abstrak, sebagian malah tidak.

Saya pun usul. Bagaimana jika buku ini membahas suatu topik secara runtun. Sebagai benchmark, buku antologi yang disunting Anne Burns dan Jack C. Richards, yang berjudul Cambridge Guide to Second Language Teacher Education bisa dijadikan contoh. Di situ, dikupas tuntas dan runtut tentang Part I Issues and Approaches in teacher education, lalu Part II Investigating Teachers and Learners in the Classroom, Part III The Practicum, Part IV Supervision, Part V Self-Observation in Teacher Development, dan terakhir, Part VI Case Study.

Apakah usul saya diterima? Tentu saya tidak tahu. Yang saya yakin, usul apa pun akan dipertimbangkan sebagai bahan masukan dan perbaikan.

PR Bersama

Saya pun di akhir acara menyuarakan suatu concern tentang tren penelitian dan tulisan terkait pembelajaran bahasa Inggris. Menurut saya pribadi, kebanyakan penelitian dan tulisan hanya berkisar urusan epistimologi. Artinya, yang diteliti dan dikaji hanya “bagaimana bahasa Inggris bisa kita kuasai”. Yang kita ulik kemudian hanya urusan strategi belajar, strategi pembelajaran, motivasi, minat, penguasaan, keterbacaan, kemampuan, dll sebagainya.

Yang kita lupakan adalah sisi ontologi dan aksiologi. Ontologi, sebagaimana saya diajari oleh Pak Ajang Budiman di UMM, mengupas tentang hakikat. Artinya, hakikat bahasa Inggris itu sendiri. Di berbagai kesempatan, kita, atau apa hanya saya sendiri ya, tidak pernah tahu apakah bahasa Inggris yang kita ajarkan adalah  bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris UK, atau bahasa Inggris Afrika Selatan. Beda misalnya dengan pembelajar dari Singapura, yang tahu dari awal bahwa mereka belajar Singlish atau Singapore English. Artinya, perlu ada kejelasan yang didasarkan pada penelitian atau politik bahasa.

Kita juga tidak banyak tahu sebenarnya bahasa Inggris ini akan kita gunakan untuk apa. Sebab, need analysis yang dilakukan kebanyakan terkait profesi di masa depan. Bukan terkait nilai-nilai filosofis kebangsaan. Semisal apakah bahasa Inggris yang kita pelajari digunakan untuk menyebarkan paham ideologi Pancasila ke seluruh dunia. Atau, jangan-jangan kita belajar bahasa Inggris hanya untuk memahami lirik Ice Cream yang dinyanyikan Blackpink dan Selena Gomes. Atau sebenarnya para siswa kita belajar bahasa Inggris hanya untuk memahami pidato RM, leader dari boyband BTS di PBB.

Entahlah.

Setelah itu, saya membahas kemungkinan keteririsan antara konsep Taksonomi Bloom dengan Teologi Alma’un khas Muhammadiyah. Namun, kapan-kapan saja kita bahas. Sudah terlalu panjang tulisan ini.

Sebagai penutup, moto yang disampaikan Steve Jobs dalam acara kelulusan di Stanford University saya tampilkan.

Artinya, ya silakan cari sendiri di Google hehe..

Sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Pak Estu Widodo dan Prodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris yang sudah berhasil melakukan langkah konkret dengan menerbitkan buku ini. Selanjutnya, mudah-mudahan buku ini terus disempurnakan sebagaimana iPhone, yang sekarang sudah iPhone 11. Dan para alumni, para mahasiswa, para penulis, dan para editor, seperti kata Pak Steve Jobs tadi, stay hungry and stay foolish.

Kesimpulannya, buku ini layak dibeli, dipelajari, dan dikoleksi?

Sangat. Layak sekali. Buku ini bagus tampilan fisiknya, demikian juga keragaman isinya. Dan keluasan ilmu yang dituangkan para penulisnya.

Puisi Love's Philosophy - Percy Bysshe Shelley - Terjemahan dan Analisisnya

Sebelumnya, saya pernah mengulas salah satu puisi terkenal, yang berjudul Ozymandias karya Percy Bysshe Shelley. Pada kesempatan kali ini, saya ingin membahas puisi oleh penulis yang sama, tetapi beda topiknya. Bila Ozymandias berkisah tentang sejarah, Love's Philosophy lebih bernuansa romantis. 

Yuk kita baca dulu puisi berjudul Love's Philosophy ini.

The fountains mingle with the river
And the rivers with the ocean,
The winds of Heaven mix forever
With a sweet emotion;
Nothing in the world is single,
All things by a law divine
In one spirit meet and mingle -
Why not I with thine?

See the mountains kiss high Heaven
And the waves clasp one another;
No sister-flower would be forgiven
If it disdained its brother;
And the sunlight clasps the earth,
And the moonbeams kiss the sea -
What are all these kissings worth
If thou kiss not me?

Berikut adalah terjemahannya:

Mata air bercengkerama dengan sungai
lalu sungai-sungai dengan samudera
Angin Surgawi berpadu abadi
dengan perasaan yang manis;
Tak ada satu pun di dunia ini tercipta sendiri
Semua hal diatur takdir Ilahi
Bertemu dan menyatu -
Mengapa denganmu aku tak mampu?

Lihatlah pegunungan mencium mesra Surga
dan ombak-ombak saling bergulung manja
Bunga betina takkan pernah dimaafkan
jika mencemooh si saudara jantannya
Dan sinar mentari memeluk bumi
Dan cahaya rembulan mencium lautan
Apa gunanya ciuman-ciuman itu
Jika kau tak menciumku?

Air Terjun Tumpak Sewu - Lumajang
Yuk kita bahas dulu struktur luar puisi Love's Philosophy ini. Puisi ini terdiri atas 2 bait/stanza yang masing-masing memiliki delapan baris. Sementara itu, rima yang digunakan adalah ABAB CDCD.

Untuk bahasa yang digunakan, ada dua majaz yang mencolok. Pertama, pertanyaan retoris. Pertanyaan retoris bertujuan untuk meminta penjelasan atau kejelasan, bukan jawaban. Dalam puisi ini, si penulis mengajukan pertanyaan retoris di akhir masing-masing bait. Contohnya “Why not I with thine?” yang saya terjemahan menjadi "Mengapa denganmu aku tak mampu?"

Kedua adalah personifikasi. Personifikasi berarti memasangkan karakteristik khas manusia ke benda yang tidak bergerak atau bergerak. Contohnya “The fountains mingle with the river” atau "Mata air bercengkerama dengan sungai" serta  “Seee The Mountains kiss high heaven” atau  "Lihatlah pegunungan mencium mesra Surga". Mata air atau fountain dan pegunungan atau mountains diberi karakteristik seperti manusia, yaitu bercengkerama dan mencium.

Setelah kita membahas aspek teknis, mari kita bahas aspek maknanya sekarang. Apakah ada makna mendalam dari puisi yang berjudul Philosophy atau Filsafat ini?

Kata filsafat sendiri selalu mengaitkan pikiran kita dengan hal-hal yang rumit, yang hanya bisa dipahami oleh para kutu buku dan pemikir serius. Kata filsafat biasanya membuat dahi kita berkerut. Lalu bagaimana dengan puisi ini?

Ternyata puisi ini tidak mendalam, dalam artian tidak membahas hal-hal yang menyangkut ontologi, epistimologi, atau aksiologi. Puisi ini ternyata adalah gombalan dari seorang pecinta terhadap orang yang dicintainya. Dia memanfaatkan citraan alam untuk menyampaikan argumentasinya bahwa semuanya terdiri atas dua hal yang pada akhirnya menjadi tunggal. Mata air bercengkarama dengan sungai, mengapa dia tidak bisa.

Puisi ini bila disingkat menjadi satu kalimat dalam bahasa Indonesia masa kini mungkin:
Truk saja gandengan, kok kita tidak?

Karena Love's Philosophy tidak filsafat-filsafat banget bila dipahami sebagai gombalan-gombalan saja, ya kita terjemahkan saja menjadi Gombal Mukiyo.

Gimana setuju?