Bedah Buku Insight from EFL Classroom: dari iPhone hingga Blackpink, BTS, dan Ben Anderson

Sabtu sore kemarin cukup meriah. Tepat pukul 15-15, tanggal 10-10-20-20, acara bedah buku berjudul Insight from EFL Classroom dimulai. Acara menarik berpadu dengan kombinasi angka yang cantik. Asyik, bukan?

Hadir sebagai moderator, Mbak Rias, alumni S2 Prodi Bahasa Inggris. Pembedah utamanya adalah Bapak Edi Dwi Riyanto, Ph.D, dosen FIB Universitas Airlangga Surabaya. Sebagai tuan rumah, Bapak Dr Estu Widodo menjadi pembicara pembuka. Beliau saat ini menjabat Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Direktorat Pascasarjana UMM  sekaligus editor buku antologi yang akan dibedah ini.

Saya sendiri? Ya figuran lha tepatnya wkwk. Penyemarak acara.

Memang, suatu kehormatan dan kebanggaan saat diundang sebagai salah satu pembedah oleh Prodi tempat saya menimba ilmu. Namun, yang tidak banyak diketahui, keterkejutan dan kebingungan memenuhi seluruh relung otak sejak undangan itu.

Sejak lulus dari program S1 Pendidikan Bahasa Inggris Unisma, waktu saya lebih banyak habis untuk menerjemah. Namun, saat dihubungi Pak Estu, Kaprodi saat ini sekaligus dosen saya saat 4 semester menempuh proses belajar di UMM, saya hanya bisa menjawab “iya, siap”.  Saya anak desa yang sama, yang dididik dengan prinsip tawadlu dan patuh kepada guru. “Jika gurumu memintamu loncat ke sumur, loncatlah. Kebarokahan ilmu itu di situ”.

Kebingungan itu makin menjadi saat saya dikirimi draf buku. Ternyata sebagian penulisnya adalah dosen-dosen saya sendiri. Dilema berkecamuk di dada. Bagaimana saya bisa membahas tulisan guru-guru saya sendiri? Kecemasan saya bertambah manakala saya tahu bahwa pembicara satunya adalah akademisi berpengalaman yang bergelar doktor dari salah satu universitas di Australia.  Maka, kebingungan dan kecemasan sempurna mengusik malam-malam saya.

Lalu, pada suatu malam saat mata tak bisa terpejam, terlintas ajaran-ajaran para dosen. Ya, saya dididik di UMM untuk momen seperti ini. Momen ketika saya harus menghadapi ketakutan dan kecemasan. Momen ketika saya harus menjadi diri sendiri. Yup, saya harus yakin pada diri sendiri.

Saat tiba giliran saya berbicara pada Sabtu sore itu, tayangan gambar di bawah menjadi pembuka.

Sebagian terlihat terkejut, sebagaimana yang terlihat di layar Zoom. “Apa kaitannya iPhone jadul dengan buku yang akan dibedah?” Untuk mengenyahkan rasa penasaran mereka, saya bertanya. Hape apa yang saya tampilkan dan apa yang membuat orang membeli hape di atas itu?

Suasana hening. Tak ada satu pun yang menjawab. Saya pun gusar.

Baru saya sadar ternyata mereka semua “muted” alias speakernya mati. Oalah. Saya pun berpura-pura menebak pikiran mereka bahwa biasanya orang membeli iPhone karena mereknya. Karena terlihat canggih. Atau pemiliknya terlihat makmur alias kaya. Jawaban itu semua betul. Namun, jawaban yang paling tepat adalah pengalaman pengguna atau user experience (UX).

Begitu juga konsep yang diusung buku ini, simpul saya kemudian. Buku ini mencoba menyajikan reader experience (RX). Bukan hanya isi buku, tetapi keseluruhan pengalaman yang akan diperoleh pembaca.

Saya mulai dari sisi luar.

-   Sampul Elegan. Seperti buku-buku serupa yang diterbitkan oleh para penerbit dari luar negeri. Elegan. Penuh warna tetapi tidak berlebih-lebihan.

-   Font Menawan. Pilihan font-nya tidak menyakiti mata.

-   Jarak Memadai. Jarak antarkata dan antarbaris juga pas. Tidak terlalu lebar. Tidak terlalu sempit.

-   Tata Letak Rapi. Tata letak antar satu tulisan dan tulisan lain juga rapi.

-   Ketebalan Pas. Jumlah halamannya kurang sedikit dari 300 halaman. Tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis.

Bagaimana dengan isinya?

-   Topik beragam & menarik. Saya mengambil tiga contoh tulisan/artikel di bawah ini.

1.    Exploring Microsoft Word Features Relevant for English Language Teaching.  Dalam artikel ini, terdapat banyak tips teknis yang berguna sekali tidak hanya bagi guru atau dosen, tetapi juga bagi mahasiswa manakala mereka menulis tugas atau skripsi atau tesis. Ada fitur spell-checking misalnya. Atau fitur “comment” atau “track changes”. Apa gunanya? Baca sendiri hehe.

2.    Imagined and Practiced Identity of English Learners in the Indonesian Context. Dalam artikel ini, ada unsur kebaruan yang diusung. Buku ini mengambil nafas “Sociocultural Turn in SLA.” Sebagaimana disitir dalam buku tebal berjudul The Study of Second Language Acquisition karya Rod Ellis, studi tentang SLA tidak lagi melulu berkisar Cognitivism tetapi beralih ke konteks sosial budaya. Dalam artikel ini, dibahaslah kaitan antara Practiced Identity, Imagined Identity, Investment, dan Motivation. Menariknya, konsep imagined identity ini mengambil inspirasi dari karya Ben Anderson, Imagined Communities. Yang lebih menarik lagi, Ben Anderson sendiri adalah Indonesianis yang mengabdi di Cornell. Sebagai informasi, Ben Anderson ini meninggal di Batu, Malang.

3.    Shaping Early Children Science Development through Discovery Learning as Brain-based Activities. Dalam artikel yang ditulis seorang doktor pakar EYL di UMM ini, dibahas penggabungan antara pembelajaran sains dan bahasa Inggris. Artikel ini mengingatkan kita pada tren terbaru dalam pembejaran bahasa, yaitu CLIL (Content and Language Integrated Learning). Sederhananya, pembelajaran sains bisa disampaikan dengan bahasa Inggris sehingga siswa bisa belajar sains sekaligus bahasa Inggris. Menarik, bukan?

-       Dilengkapi biografi. Setiap tulisan di buku ini langsung dilengkapi biografi penulis dan latar belakang pendidikan serta minatnya dalam bidang penelitian. Ini penting untuk artikel ilmiah. Di era yang memungkinkan setiap orang bicara apa saja tanpa perlu latar belakang, buku ini menjadi semacam jaminan bahwa isi buku ini bukan hoax. Penulisnya kredibel, begitu pula tulisannya. Di era post-truth dan death of expertise, faktor ini menjadi penting agar hanya orang yang memiliki pengetahuan dan kewenangan yang membuat pernyataan-pernyataan ilmiah. Dengan cara ini, kita menghindari carut-marut dunia sosial yang dipenuhi hoax dan kabar burung yang tak terverifikasi.

Lalu Apa yang Bisa Disempurnakan ke Depan?

Menurut saya, keragaman topik yang menjadi kekuatan itu bisa juga berbalik menjadi kelemahan. Jadi, keragaman tersebut memakan “korban”. Misalnya, tips praktis, hasil penelitian, kajian pustaka, esai argumentatif, dan esai naratif berpadu di satu buku ini. Akhirnya, spirit atau ikatan yang ingin dijalin oleh buku ini jadi kurang jelas. Tata cara penulisan pun beragam, misalnya, hasil penelitian ditulis dalam bentuk past tense dan sebagian present tense. Selain itu, beberapa artikel dilengkapi abstrak, sebagian malah tidak.

Saya pun usul. Bagaimana jika buku ini membahas suatu topik secara runtun. Sebagai benchmark, buku antologi yang disunting Anne Burns dan Jack C. Richards, yang berjudul Cambridge Guide to Second Language Teacher Education bisa dijadikan contoh. Di situ, dikupas tuntas dan runtut tentang Part I Issues and Approaches in teacher education, lalu Part II Investigating Teachers and Learners in the Classroom, Part III The Practicum, Part IV Supervision, Part V Self-Observation in Teacher Development, dan terakhir, Part VI Case Study.

Apakah usul saya diterima? Tentu saya tidak tahu. Yang saya yakin, usul apa pun akan dipertimbangkan sebagai bahan masukan dan perbaikan.

PR Bersama

Saya pun di akhir acara menyuarakan suatu concern tentang tren penelitian dan tulisan terkait pembelajaran bahasa Inggris. Menurut saya pribadi, kebanyakan penelitian dan tulisan hanya berkisar urusan epistimologi. Artinya, yang diteliti dan dikaji hanya “bagaimana bahasa Inggris bisa kita kuasai”. Yang kita ulik kemudian hanya urusan strategi belajar, strategi pembelajaran, motivasi, minat, penguasaan, keterbacaan, kemampuan, dll sebagainya.

Yang kita lupakan adalah sisi ontologi dan aksiologi. Ontologi, sebagaimana saya diajari oleh Pak Ajang Budiman di UMM, mengupas tentang hakikat. Artinya, hakikat bahasa Inggris itu sendiri. Di berbagai kesempatan, kita, atau apa hanya saya sendiri ya, tidak pernah tahu apakah bahasa Inggris yang kita ajarkan adalah  bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris UK, atau bahasa Inggris Afrika Selatan. Beda misalnya dengan pembelajar dari Singapura, yang tahu dari awal bahwa mereka belajar Singlish atau Singapore English. Artinya, perlu ada kejelasan yang didasarkan pada penelitian atau politik bahasa.

Kita juga tidak banyak tahu sebenarnya bahasa Inggris ini akan kita gunakan untuk apa. Sebab, need analysis yang dilakukan kebanyakan terkait profesi di masa depan. Bukan terkait nilai-nilai filosofis kebangsaan. Semisal apakah bahasa Inggris yang kita pelajari digunakan untuk menyebarkan paham ideologi Pancasila ke seluruh dunia. Atau, jangan-jangan kita belajar bahasa Inggris hanya untuk memahami lirik Ice Cream yang dinyanyikan Blackpink dan Selena Gomes. Atau sebenarnya para siswa kita belajar bahasa Inggris hanya untuk memahami pidato RM, leader dari boyband BTS di PBB.

Entahlah.

Setelah itu, saya membahas kemungkinan keteririsan antara konsep Taksonomi Bloom dengan Teologi Alma’un khas Muhammadiyah. Namun, kapan-kapan saja kita bahas. Sudah terlalu panjang tulisan ini.

Sebagai penutup, moto yang disampaikan Steve Jobs dalam acara kelulusan di Stanford University saya tampilkan.

Artinya, ya silakan cari sendiri di Google hehe..

Sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Pak Estu Widodo dan Prodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris yang sudah berhasil melakukan langkah konkret dengan menerbitkan buku ini. Selanjutnya, mudah-mudahan buku ini terus disempurnakan sebagaimana iPhone, yang sekarang sudah iPhone 11. Dan para alumni, para mahasiswa, para penulis, dan para editor, seperti kata Pak Steve Jobs tadi, stay hungry and stay foolish.

Kesimpulannya, buku ini layak dibeli, dipelajari, dan dikoleksi?

Sangat. Layak sekali. Buku ini bagus tampilan fisiknya, demikian juga keragaman isinya. Dan keluasan ilmu yang dituangkan para penulisnya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »