sederhana, secukupnya saja

hanya 8 gelas air
hanya 3 kali makan
hanya 8 jam tidur
hanya 5 waktu beribadah.

cintaku juga seperti itu
tak berlebih dan berkekurangan
sederhana, itu saja;
tak tumpah-tumpah dan tak kekeringan.

terlalu tahu jadi tahi
terlalu rindu jadi ngeri
terlalu sering bertemu jadi berkelahi
terlalu cinta jadi benci.

sederhana, secukupnya saja.


Photo by Jakub Witos on Unsplash


besok jadi apa?


ada yang meranggas, jatuh
terabai dan terurai lalu hilang diserap tanah

ada yang kering, runtuh
terdiam dan tergerak lalu tumbuh indah

ada yang dipetik, luruh
diperas dan habis lalu dibuang bersama sampah

kita tak pernah tahu
kemana kita akan berlabuh
apakah kita dedaunan yang mengering
atau benih yang bersemayam di pucuk bunga
atau buah kelapa yang diunduh manusia;
atau kita sebenarnya apa?

hiduplah saja,
berjalanlah saja;
hidup itu hanya sementara,
tak perlu risau besok akan jadi apa?

-------ya betul Tuan, tapi itu susah. Sulit.


Photo by Pranav Nahata on Unsplash








tanah dan tumbuh

tak ada yang suka jatuh,
bahkan biji bunga yang tertiup angin
lalu terinjak hewan-hewan liar;
terasing, sepi dan merasa diabaikan.

lalu ada yang berbeda saat tanah yang basah
membuatnya betah; aku tak sendiri lagi, katanya.
ada tanah, yang menerimaku saat jatuh
dan menyambutku setelah tertiup jauh.

lalu tanah mengajarinya cara tumbuh;
bagaimana jika aku tak sebesar pohon ulin,
bagaimana jika aku tak seindah sakura,
bagaimana jika aku tercipta penuh cela.

tumbuhlah ke dalam, ucap tanah
sebelum tumbuh tinggi dan besar.
bila angin bertiup kencang
hanya bungamu yang akan ditebar.

engkau takkan tumbang, bila berfokus pada akar
dan memperhatikan yang di dalam,
bukan pada kupu-kupu bersayap syahdu,
yang memabukkan lalu meninggalkanmu penuh sesal.




alasan cinta kita?


saat kutatap lekat senyummu,
kukira kujatuh cinta karena itu.

saat kulihat dari dekat garis wajahmu,
kuduga itu alasanku menyayangimu.

saat kusesap kopi yang kita racik pada pagi buta,
kuanggap itulah mengapa kita bersama.

lalu kita berbincang dari huruf hingga kata
dari kalimat hingga makna, di bawah atap yang sama.

ternyata bukan,
memang bukan.

ada tunas yang menyeruak di hatiku
perlahan tumbuh setiap kita berdekatan
begitu pun tunas di hatimu
dan kita sama-sama membesarkannya,
menyiraminya dengan canda
dengan waktu yang diluangkan sengaja;

karena kita menyayangi bukan untuk saling memiliki,
tapi agar tumbuh jadi diri sendiri,
seutuhnya dan selengkap-lengkapnya.

karena cinta ini bukan saling meniadakan, tapi menumbuhkan


              Photo by Clay Banks on Unsplash

Lebih Dekat Tapi Sering Tak Terlihat

Agenda hari Ahad lalu adalah menyervis dan mengganti oli sepeda motor istri. Sebab, Beat hitam lansiran tahun 2012 itu sudah cukup lama tidak diservis. Untunglah, Ahass hanya berjarak sepelemparan batu. Tentu bila Hulk yang melemparnya.

"Sekalian saja cek saldo di ATM" pikirku setelah mengingat-ingat bahwa ada Bank Mandiri di dekat Ahass. Ya, sekitar 700-900 meter.

Maka, setelah menyerahkan sepeda motor kepada para petugas Ahass yang rata-rata masih muda itu, aku pun berpamitan untuk pergi sebentar.

"Ya Pak. Mohon tuliskan nomor hapenya dulu kalau ada apa-apa" usul salah seorang petugas, yang tingginya mungkin 155 meter.

Setelah menuliskan nomor hape di kertas yang disediakan, aku pun bergegas menuju ATM itu. Di tengah terik panas siang, aku melewati trotoar yang permukaannya sudah tidak rata. Memang ada jembatan penyeberangan. Namun, aku memilih menyeberang langsung saja untuk memotong jarak.

Di sebelah kanan kantor pos, berjajar para penjual kaki lima yang menjual makanan ringan dan rokok. Tentu mereka tak peduli keberadaanku. Aku terus saja berjalan.


foto diambil dari google steet

Sebelum pos polisi di depan gedung eks kawedanan di Singosari, aku menyeberang. Lalu lintas agak ramai siang itu. Mobil beraneka merek yang sebagian besar berpelat L melaju dengan kecepatan sedang.

Saat sampai di sisi seberang jalan, bau busuk dari pasar Singosari langsung menyergap. Namun, bau itu sedikit terfilter oleh masker yang kukenakan. Setelah berjalan sekitar 10 meter dari sumber bau busuk, aku melewati tiga bapak-bapak paruh baya yang sedang mengobrol asyik. Salah satunya berdiri dan gerakan tangannya nyaris mengenai kepalaku. Beruntung, refleks bisa membuatku terhindar. Selamat.

Dua orang di antaranya tertawa. Betul kata pujangga yang siapa itu, kebahagiaan orang lain kadang kesialan kita. Titik keseimbangan.

Dari titik hampir terkena ayunan tangan itu, aku masih harus berjalan sekira 500 meter. Lumayan panjang, terutama karena matahari sedang panas-panasnya.

Setelah sampai di Bank Mandiri yang kutuju itu, kedua ATM berfungsi normal. Tujuanku tercapai.

Misi kedua: Jalan kaki untuk kembali ke Ahass. Tak banyak yang berbeda. Saat perjalanan kurang sekitar 150 meter dari Ahass, kutengok kanan dan kiri. Di atas sana, terpampang jelas neonbox ATM Mandiri. Hahahahahaha.

Sungguh, aku ingin berkata kasar saat itu. Untung, sedang banyak orang.

Bila dipikir-pikir matang-matang, ada banyak pelajaran di sini. Pertama, kadang tujuan kita dekat, tapi sayang mata kita terhalang asumsi sendiri. Kedua, ada Google, kok nggak ngecek dulu sebelum jalan. Ketiga, ada teknologi yang bernama e-banking, kok gak dimanfaatkan. Keempat, aku seringnya lebih bodoh daripada yang kusadari sendiri.