Sabtu di Antara Jalan-Jalan Baru dan Buku-Buku Tua

 Malang Saat Bu Poedji, dosen semasa kuliah S2 di UMM, mengabarkan tentang buku yang perlu diambil Sabtu pagi hari ini, aku langsung mengajak istri ke sana. Sayangnya, ia tak bisa. Ada urusan sekolah yang harus diselesaikan.

Untunglah, Keena, anak perempuanku, berkenan menemani ayahnya. Bila diingat-ingat, sudah lama aku tidak mengajaknya jalan-jalan bersepeda motor. Mencari jalan-jalan baru, yang belum pernah kami susuri.

Sudah jadi kebiasaan dari dulu, aku mengajaknya mencoba melewati jalan-jalan baru. Memasuki gang-gang yang tidak pernah kami masuki. Sering juga, kami masuk gang buntu. Kami pun harus memutar balik. Kami toh senyum-senyum saja karena sudah terbiasa tersesat.

Harapanku, saat beranjak dewasa, dia membawa ingatan itu. Ingatan tentang jalan-jalan yang kami lalui. Tentang gang-gang buntu yang membuat kami memutar arah. Bahwa tak ada salahnya mencoba melakukan baru. Bila gagal, cukup putar kendaraan dan cari jalan baru.

Saat jarum jam menunjukkan angka delapan, kami pun berangkat dari rumah. Keena mengusulkan untuk melewati jalan alternatif. Kami pun melewati jalur tikus Tumapel-Tasikmadu. Sepanjang perjalanan, ia bercerita banyak hal, yang sayangnya terdengar lamat saja di telinga. Karena terhalang helm dan suara lalu lintas, telinga kurang peka.

Beberapa menit berselang, kami sampai di rumah Bu Poedji.

Kami pun bertegur sapa. Singkat cerita, suami Bu Poedji ternyata saudara sepupu suami teman kerjaku dulu. Jadinya, obrolan kami tersambung. Tersambung ke Singosari. Tersambung ke Lamongan dan tersambung ke mana-mana.

Satu jam lebih rasanya kami saling bertukar cerita. Entahlah, terasa cepat saja.

Jalan-Jalan Baru

Sepulang dari rumah Bu Poedji, kami pun melewati jalan Raya Dermo. Keena terperangah karena belum pernah lewat sana.

Pernah, jawabku. Hanya, sekarang jalannya lebih lebar saja. Makanya terlihat seperti jalan yang belum pernah sampeyan lewati.

Ooo iya, ya.

Kalau jalan ini pernah?

Never, jawabnya dalam bahasa Inggris.

Pernah, ini jalan Tirto Taruno, jawabku.

Never.

Beberapa meter setelahnya ia ingat jalan itu setelah melihat gedung besar sekolah Thursina.

Oh itu Thursina ya yah, tanyanya untuk mengonfirmasi.

Betul, ucapku.

Dia pun tertawa dan takjub sendiri. Ia lalu berdendang sepanjang perjalanan. Entah lagu apa. Aku hanya mendengar sekilas.

Toko Buku Bekas

Karena masih terlalu pagi untuk makan siang atau pulang, aku usulkan untuk menuju toko buku.

Setuju, sahutnya. Wajahnya pasti semringah. Sayang, tak bisa kulihat karena tertutup helm.

Toko buku baru atau bekas?

Masa buku bekas?

Ya nggak apa-apa. Kadang kita menemukan buku bagus di toko buku bekas.

Toko buku baru saja.

Tapi toko buku bekas lebih murah.

Oke kita coba saja ya, jawabnya. Mungkin ia luluh mendengarku sedikit ngotot.

Aku pun mengarahkan sepeda motor menuju toko buku Wilis.

Setelah memarkir sepeda motor, kami menuju toko buku pojok kanan depan. Sang penjual cekatan menawarinya majalah Bobo.

Ia pun tertarik mengambil lalu membaca satu majalah Bobo. Tak tahu apa yang membuatnya tertarik. Mungkin, ia teringat cerita bahwa dulu ibunya sering membaca majalah Bobo ketika kecil.

Melihat Keena asyik membaca majalah Bobo, sang bapak penjual menggunakan trik upselling.

Toko Buku Wilis
Toko Buku Wilis

Nah, bapak punya banyak koleksi majalah Bobo, ucapnya. Ia lalu membuka bungkusan kresek yang berisi mungkin seratusan majalah Bobo. Mata Keena berbinar. Senyumnya tersungging tipis.

Di depan toko, terdengar suara serak seorang pemuda yang membaca puisi. Terdengar familiar di telinga. Rupanya, sang bapak penjual menyetel puisi-puisi populer Sapardi Joko Damono di speaker wireless JBL berwarna biru.

Hujan di bulan Juni, yang Fana adalah Waktu, Kuhentikan Hujan... mengalun merdu ditemani bau buku tua, yang khas, tercium hangat tetapi menyengat. Bau itu memicu serangkaian ingatan tentang masa lalu.

Tumpukan buku tua, suasana sepi dan syahdu di deretan toko buku, dan bapak tua yang sibuk merapikan dan menata buku pada hari Sabtu mengingatkanku pada adegan Rangga dan Cinta di film Ada Apa dengan Cinta.

Bedanya, teman kencan bukuku Sabtu siang ini bernama Keena.