Guruku adalah Anakku

Banyak yang bilang, kita harus mengajari anak kita tentang cara hidup. Dan saya mengalami sebaliknya: anak saya itu banyak mengajari saya tentang cara hidup.

Pertama, hanya perlu tersenyum untuk membahagiakan orang lain. Setiap ada yang menyapa, anak saya langsung memberikan senyum terbaiknya. Hampir, di setiap ada acara kumpul-kumpul, dia menjadi pusat perhatian dan pusat kebahagiaan orang-orang. Di sekitar rumah saya sekarang, anak saya lebih populer dari ayahnya. Banyak yang tahu saya dari anak saya itu. Saya diajari bahwa tidak butuh banyak uang untuk membahagiakan orang lain, hanya perlu tersenyum tulus. Dan orang lain pun akan bahagia.

Kedua, kita hanya perlu hidup hari ini. Anak saya tidak pernah mengingat masa lalu dan mencemaskan masa depan. Dia tidak pernah takut saya akan meninggalkannya menjadi yatim piatu seperti ayah kandung saya meninggalkan saya. Kebanyakan kita mengingat hari kemarin dan mencemaskan esok hari sehingga kita tidak bisa menikmati hari ini. Kita dirantai masa lalu, dan diseret masa depan. Bahagia akhirnya sirna bersama fajar. Untuk bahagia, kata senyumnya, kita perlu melupakan kemarin dan berhenti mencemaskan masa depan. Kita hanya perlu hidup terbaik hari ini. Hari ini saja kita hidup dengan cara terbaik.

Ketiga, berhentilah melihat seseorang dari penampilannya. Seperti yang saya ceritakan tentang senyumnya, dia tidak pernah memilih orang yang dia beri senyum. Tetangga saya, namanya cak Teong, memiliki cacat permanen di sekitar kaki. Banyak yang takut dengan cak Teong dan berprasangka buruk. Setiap pagi, cak Teong selalu diberi senyum menarik oleh anak saya itu. Pada suatu saat, dua hari dia tidak bertemu dengan anak saya, dan dia ke rumah beberapa kali untuk mengetahui kondisi anak saya.

Keempat, jangan pernah menyalahkan orang lain dan cepatlah maafkan orang lain. Karena kelalaian saya, anak saya yang sudah mulai lincah dan selalu bereksperimen dengan sekitar, terguling dan terjatuh. Dia menangis. Ibunya panik dan mulai menyalahkan saya. Sejenak kemudian, anak tersenyum manis kembali. Dia tidak menyalahkan saya atas kelalaian saya dan memaafkan saya saat itu juga. Dia hanya tersenyum. Dan senyumnya mengatakan “Ayah, jaga aku dengan sepenuh hatimu. Dan aku akan senyum dengan sepenuh hatiku.” Dan di lubuk sanubari, saya akan menjaganya sebagai amanah Tuhan dengan sebaik mungkin, bukan sebagai milik saya. Ia mungkin tahu, saya sudah menjaganya dengan maksimal.

Kelima, jangan pernah menuntut seseorang. Sebagai kepala keluarga, saya harus bekerja. Pada masa puncak, kadang saya tidak bisa menemani anak saya itu saking sibuknya bekerja. Dan istri saya marah-marah. Sebagai seorang bijak, anak saya itu hanya tersenyum dengan senyuman terbaiknya. Dan mungkin Anda sudah tahu apa yang saya lakukan, saya matikan komputer untuk bermain-main dengannya. Itulah masa indah dengan penuh canda tawa. Dan dia mengajari saya, tidak perlulah kita menuntut seseorang, kita hanya perlu menariknya dengan senyuman.

Keenam, tidak ada yang suka dengan pencemberut dan pemarah. Kita pun tidak suka dengan pencemberut dan pemarah. Sayangnya kita sering cemberut dan marah. Teman saya punya seorang anak yang kemampuannya melebihi anak seusianya. Pintar memang. Kelemahannya cuma satu, dia jarang senyum. Dan tidak ada orang yang suka dengan anak itu.

Itulah pelajaran yang diberikan anak saya. Sekarang dia beranjak dewasa, usianya mencapai 9 bulan. Dia memang tidak sempurna. Dia baru bisa duduk dan merangkak, ketinggalan jauh dengan teman-teman seusianya. Tapi saya bangga, di usia sekecil itu dia sudah menjadi bijak dengan senyumnya. Meski belum bisa berkata barang sepatah kata, dia sudah bijak sekali. Atau mungkin, tidak perlu banyak kata untuk menjadi bijak. Mungkin saja!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

comments
28 December 2008 at 03:15 delete

wow nice blog ... lam kenal yah bro

please visit my blog

http://babbicool.blogspot.com
http://pondokartis.blogspot.com
http://bjdtthy.com

Reply
avatar