Dari beberapa puisi hasil saduran ke dalam
bahasa Indonesia, inilah salah satu saduran paling indah. Setia terhadap bentuk
asli. Dan tetap menjaga kecantikannya. Padahal, biasanya puisi saduran yang cantik tidak setia terhadap bentuk aslinya. Sebaliknya, yang setia biasanya tidak cantik.
Mari kita perhatikan puisi To Margot Heinemann yang digubah oleh John Cornford. Kemudian, puisi ini disadur oleh Chairil Anwar. Meskipun beberapa waktu kemudian, si Chairil Anwar lantas dituduh melakukan plagiarisme. Padahal ya nggak. Hanya menyadur saja.
Mari kita perhatikan puisi To Margot Heinemann yang digubah oleh John Cornford. Kemudian, puisi ini disadur oleh Chairil Anwar. Meskipun beberapa waktu kemudian, si Chairil Anwar lantas dituduh melakukan plagiarisme. Padahal ya nggak. Hanya menyadur saja.
"To Margot Heinemann"
By John Cornford
|
"HUESCA"
Chairil Anwar
|
Heart of the heartless world,
Dear heart, the thought of you
Is the pain at my side,
The shadow that chills my view.
|
Jiwa
di dunia yang hilang jiwa
jiwa sayang, kenangan padamu
adalah derita di sisiku
bayangan yang bikin tinjauan beku
|
The wind rises in the evening,
Reminds that autumn is near.
I am afraid to lose you,
I am afraid of my fear.
|
angin yang bangkit ketika senja
mengingatkan ku musim gugur akan tiba
aku cemas akan kehilangan kau..
aku cemas pada kecemasanku,.
|
On the last mile to Huesca,
The last fence for our pride,
Think so kindly, dear, that I
Sense you at my side.
|
di batu penghabisan ke Huesca
di batas terakhir dari kebanggaan kita
kenanglah sayang, dengan mesra
kau kubayangkan di sisiku ada
|
And if bad luck should lay my strength
Into the shallow grave,
Remember all the good you can;
Don't forget my love.
|
dan jika untung malang menghamparkan
aku dalam kuburan dangkal
ingatlah sebisamu segala yang indah
dan cintaku yang kekal.
|
Dengan rima ABCB, puisi zaman perang yang bisa
dikategorikan masuk ke dalam era romantisisme ini begitu indah. Pilihan kata-katanya juga tidak terlalu
aneh. Diksi yang biasa digunakan setiap
hari. Tak terlalu dakik-dakik.
Puisi ini sering dibacakan pada acara kematian.
Tidak mengherankan memang. Puisi ini awalnya ditujukan kepada Margot
Heinemann, yang merupakan pacar atau rekan sesama aktivis, yang lantas dijadikan judul. John sendiri
merupakan seorang sukarelawan Inggris pertama dalam perang di Spanyol. Apa relevansinya? Sebab, dia seorang aktivis komunis. Tepatnya, dia membela Partai Pekerja Unifikasi Marxist
dan terjun ke dalam perang saudara di Spanyol. Ya,
dalam rangka memperjuangkan idealismenya itu.
Sebelum berangkat ke medan tempur, puisi ini ditulis
sebagai kata-kata perpisahan. Sebagai kata-kata terakhir. Dalam perang yang berkecamuk
hebat itu, John kemudian tewas di Front Cordoba pada
bulan Desember. Konon, tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-21. Masih muda sekali.
Entah bagaimana ceritanya, puisi ini
kemudian disadur oleh Chairil Anwar. Namun, judulnya tidak lagi nama orang.
Tapi "Huesca”. Nama tempat yang juga disebutkan dalam puisi awal.
Suasana yang serupa mungkin menjadi bekal awal, sehingga bung Chairil
kemudian berhasil menyadurnya menjadi puisi yang tak kalah indahnya. Seperti kita ketahui, pada zaman kejayaannya, Chairil juga hidup di era penjajahan, lalu era revolusi tiba.
Seperti halnya tragedi lain, kepahitan melahirkan sesuatu yang manis. Perang dan segala penderitaan juga menghadirkan keindahan. Keluhuran jiwa. Seringnya, hal itu berwujud menjadi puisi. Menjadi novel. Menjadi karya yang indahnya luar biasa.
Di antara semua bait puisi di atas, menurut saya, bagian terindah puisi ini ada di larik terakhir. “Ingatlah sebisamu segala yang indah dan cintaku yang kekal."
Ini juga semacam cita-cita bagi saya. Bila nantinya saya meninggal, saya ingin dikenang dengan kenangan yang baik-baik saja. Dan kepedulian yang kekal.