Puisi Aku Ingin - Sapardi Joko Damono - Terjemahan dan Analisisnya


Berikut adalah terjemahan puisi "Aku ingin" karya Sapardi Joko Damono, oleh John H McGlynn. Puisi ini diterbitkan oleh Yayasan Lontar dalam Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono

Aku ingin
I want
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak pernah diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
I want to love you simply
In words not spoken:
Tinder to the flame which transforms it to ash
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
I want to love you simply
In signs not expressed:
Clouds to the rain which make them evanesce

Puisi ini begitu sederhana. Tak ada kata-kata puitis. Nuansa yang coba dihadirkannya pun tidak begitu romantis. Biasa saja. Wajar-wajar saja. Namun entah mengapa puisi ini begitu abadi. Dari saat pertama kali diperdengarkan puisi ini langsung menjadi hits.

Undangan pernikahan, surat cinta, rayuan, sinetron, film, dan semua jenis medium hampir pernah mengutip puisi ini. Kekuatan kesederhanaan mungkin jadi inti utama dari puisi ini. Kesederhanaan yang dibalut ketulusan memang akan selalu menjadi kekuatan yang menggetarkan.

Mengutip kalimat yang disampaikan Leonardo da Vinci, Simplicity is the Ultimate Sophistication. Bila diterjemahkan secara bebas, kesederhanaan adalah kecanggihan paripurna. Kesederhanaan adalah pencapaian teragung dan paling sempurna dari seorang seniman.

Apakah isi atau makna yang coba disampaikan oleh guru besar bahasa Inggris UI ini sesederhana bentuk fisik alias wadak puisinya. Rasa-rasanya tidak. Entah sudah berapa orang yang menafsirkannya, tapi tak ada yang betul-betul mencapai kesimpulan yang sama. Ya, karena beda perspektif. Beda pengalaman hidup. Tak serupa lika-liku yang pernah ditempuh. Mungkin itu juga yang menjadikan puisi ini tak lekang dimakan zaman. Setiap orang memiliki penafsirannya sendiri-sendiri.
Source: http://bit.ly/2gvPwGb

Ada yang menganggap puisi ini tentang cinta tulus. Cinta yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata. Hanya perlu ditunjukkan dengan perbuatan dan tindakan mencinta. Itulah cinta yang sederhana. Cinta yang terpancar dari tatapan mata, degup jantung, sirat pikiran, dan serangkaian tindakan.

Ada juga yang berpendapat: puisi ini tentang cinta tak sampai. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tak sempat tersampaikan meskipun si pecinta sudah berusaha mati-matian mengungkapkan cintanya. Puisi ini tentang cinta yang tak sempat tersampaikan.

Ada yang bilang cinta sederhana seperti yang disampaikan di puisi ini hampir mustahil dilakukan. Karena cinta yang sesederhana "cinta kayu kepada api yang menjadikannya abu" hampir tidak bisa dilakukan oleh manusia. Manusia tidak pernah sederhana dalam mencintai. Dibumbui cintanya itu dengan sekian harapan. Sekian keinginan. Harapan memiliki. Keinginan untuk menjadi satu-satunya cinta.

Meskipun tidak sama persis, entah mengapa puisi ini mengingatkan pada buku Hujan yang ditulis Tere Liye. Resensinya bisa dibaca di sini. Cinta yang dimiliki kedua insan di buku tersebut diwujudkan dalam berusaha maksimal menggapai masa depan. Bukan hanya lewat rayu-rayuan tetapi lewat tindakan nyata.

Hmmm, ingin rasanya bisa mencinta seperti yang disampaikan puisi "Aku ingin" ini. Mencinta dengan sederhana saja. Tak perlu muluk-muluk. Tapi rasa-rasanya itu mustahil.

Atau mungkin saja kita bisa mencintai secara sederhana. Tinggal kita mau apa tidak untuk belajar menerapkannya.


Puisi Stopping by Woods on a Snowy Evening - Robert Frost - Terjemahan dan Analisis

Berikut terjemahan menawan yang digubah oleh Hendra Gunawan, yang lengkapnya bisa diklik di sini.

STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING 
BERHENTI DI TEPI HUTAN KALA SENJA BERSALJU
Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.
Siapa pemilik hutan ini sepertinya kutahu.
Ia berumah jauh di desa sebelah sana itu;
Tak akan terlihat olehnya aku singgah sebentar
Memandangi hutannya penuh ditutupi salju.
My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.
Kuda kecilku pasti terheran-heran
Mengapa berhenti jauh dari perkampungan
Di antara hutan terpencil dan danau beku
Adalah senja terkelam di sepanjang tahun.
He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.
Kudaku kelonengkan bel mungilnya
Mungkin bertanya ia adakah yang tak biasa.
Suara lain terdengar hanyalah sayup sapuan
Dari angin lembut dan guguran salju di udara.
The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep. 
Hutan ini alangkah menawan, dalam, dan gelap.
Sayang aku ada janji yang tak boleh tersilap,
Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelap,
Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelap.




Puisi ini menggunakan rima AABA, kecuali untuk bait atau stanza terakhir. Stanza terakhirnya menggunakan AAAA. Tak paham saya mengapa bait terakhir itu tidak seperti tiga bait sebelumnya. Mungkin dia kesulitan mencari kata dengan huruf akhir yang serupa. Atau, mungkin bisa saja dia, Pak Robert Frost ini, keluar dari pakem puisinya sendiri, semacam mencari jalan lain. Ya, betul, seperti puisinya yang sangat terkenal itu, the road not taken. Baca di sini kalo belum sempat baca.

Seperti laiknya zaman itu, nuansa alam masih setia menghiasi puisi-puisinya. Mirip puisinya tentang A Minor Bird. Mungkin pada zaman itu, alam masih sangat hijau. Masih sangat rimbun. Masih penuh misteri. Saat memasuki hutan, yang terlihat masih sebentang misteri yang belum terpecah. Belum sempat diketahui.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan lagi. Mirip seperti the road not taken, yang sudah saya singgung di atas. Bedanya: kalau di puisi the road not taken, si aku sedang menempuh perjalanan sementara di puisi ini si aku “berhenti di tepi hutan kala senja bersalju”.
 
Source: http://travelingted.com/
Seperti biasanya, dia terpukau melihat alam sekitar. Mengamati kudanya yang keheranan. Lalu bertanya dengan membunyikan lonceng yang dikenakan. Hutan itu begitu memukau. Dalam, gelap, tetapi memukau. Sayang seribu sayang, dia tak boleh beristirahat terlalu lama. Sebab, ada janji yang harus ditunaikannya.

Puisi ini seakan mengajak saya, pembacanya, untuk tetap fokus pada tujuan perjalanan, yaitu janji yang harus ditunaikan. Kadang, entah diakui atau tidak, kita terpikat sesuatu atau seseorang selama perjalanan. Akhirnya, kita berpaling. Tidak lagi bergerak dengan penuh tekad menuju tujuan yang sudah ditetapkan. Pada janji yang sudah kadung disampaikan.

Ah, kadang setia pada tujuan memang tak pernah semudah saat diucapkan.