Puisi Motion - Octavio Paz - Terjemahan dan Analisis

Di bawah ini adalah puisi asli Octavio Paz yang berjudul Motion serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Versi bahasa Indonesianya sendiri saya salin dari blog toko-sepatu, yang digubah oleh Dedy Tri Riyadi.

Motion
Gerak
If you are the amber mare
   I am the road of blood
If you are the first snow
   I am he who lights the hearth of   dawn
If you are the tower of night
   I am the spike burning in your mind
If you are the morning tide
   I am the first bird's cry
If you are the basket of oranges
   I am the knife of the sun
If you are the stone altar
   I am the sacrilegious hand
If you are the sleeping land
   I am the green cane
If you are the wind's leap
   I am the buried fire
If you are the water's mouth
   I am the mouth of moss
If you are the forest of the clouds
   I am the axe that parts it
If you are the profaned city
   I am the rain of consecration
If you are the yellow mountain
   I am the red arms of lichen
If you are the rising sun
   I am the road of blood
Kalau kau gurat waktu batu ambar
    Aku urat darah menyebar
Kalau kau bulir salju mula-mula
    Aku pelita hati pagi tiba
Kalau kau menara malam
    Aku onak menyala dalam pikiran
Kalau kau pagi berombak
    Aku burung pertama berteriak
Kalau kau sekeranjang jeruk
    Aku pisau mentari menusuk
Kalau kau altar batu
    Aku tetangan tabu
Kalau kau daratan terlena
    Aku tebu hijau sempurna
Kalau kau laluan angin
    Aku api terkubur dingin
Kalau kau mulut air
    Aku lumut bau anyir
Kalau kau hutan dalam kabut
    Aku kapak membelah runut
Kalau kau kota berpolusi
    Aku air limbah dan lindi
Kalau kau kuning batu gamping
    Aku tangan merah lumut kering
Kalau kau matahari naik
    Aku darah menakik


Tak banyak yang bisa disampaikan terkait puisi ini. Bahasanya sangat puitis di satu sisi, kadang sangat kasar di sisi lainnya. “ I am the spike burning in your mind” misalnya. Atau “road of blood”. Kata-kata ini lalu dikombinasikan dengan kata-kata halus seperti “first bird’s cry”.

So, ada semacam riuh-rendah dalam puisi ini. Kadang dia terbang tinggi, kadang dia turun rendah sekali. Kadang dia berbicara tentang kesucian, kadang tentang hal-hal yang kotor. Dan bila menengok versi bahasa Inggrisnya, kalimat kondisional yang dipakai pun versi pertama. Versi yang mengotomatiskan klausa kedua alias klausa indenpendennya.

Ya, “semacam bila kau cantik, aku ganteng” begitu. Sesuatu yang otomatis terbentuk. Bukan lagi "akan" terbentuk.
Source: RocketNews24

Di dalam puisi ini, si aku alias I selalu menjadi kebalikan dari you. Bila si kau menjadi jeruk, si aku menjadi pisau. Apa pun yang dilakukan kau, si aku lantas menjadi sebaliknya. Bahkan menjadi penghancurnya.

Mungkin si aku dan kau ini bermusuhan. Jadi, dia selalu ingin menjadi kebalikan dari apa pun yang dilakukan si kamu. Jadi, ada saja yang dilakukannya untuk menyakiti si kamu. Ada saja yang dia lakukan untuk menjadi sebaliknya. Jadi, si aku bukannya melengkapi atau menyempurnakan, tetapi dia menghancurkan.

Mungkin ini terkait kebencian yang menjalar dan dipendam di dalam hati si aku. Kebencian yang berkelindan dengan dendam yang lantas memicunya untuk terus bergerak (motion) untuk menjadi sisi yang berkebalikan dari si kau.

Atau mungkin saja puisi ini hendak mengatakan bahwa akan selalu ada sisi sebaliknya dari apa pun yang kita lakukan. Bila kita berbuat baik, akan selalu ada orang yang mencemooh. Bila kita naik, akan selalu ada orang yang berupaya menjatuhkan. Bila kita jatuh, akan selalu ada orang yang membangunkan.


Selalu ada sisi sebaliknya dari apa pun yang kita lakukan.
Surat Terbuka dari Muslim Cicak

Surat Terbuka dari Muslim Cicak

Saudara muslimku yang kucintai,

Beberapa hari ini hatiku sedih tak terperi. Salah seorang teman membagikan tautan. Berita yang mengecam sikapku dan sebagian besar orang-orang sepertiku ini. Isi awalnya hanya tentang semut vs cicak dalam kisah saat Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud.

Semut dikisahkan membawa air sambil tersuruk-suruk untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Saat terpontang-panting, hewan lainnya menertawakan upaya semut yang sia-sia itu.

“Setidaknya Allah tahu kepada siapa aku berpihak?” balas semut dengan sengit.

Di sisi lain, saat makhluk lain bergotong royong memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim, si cicak malah meniup api. Dia membela raja Namrud. Jadilah dia makhluk terkutuk. Sebab, dia membela kemungkaran. Di akhir postingan itu, si penulis berujar dengan lantang: Apakah kamu muslim cicak itu, yang diam ketika agamanya dinista?

Ya, akulah yang dibidik itu. Akulah muslim cicak yang dimaksud itu. Dan mungkin sebagian kita, yang menolak untuk ikut serta dalam perdebatan tentang Ahok dan Al Quran: Almaidah 51. Salah seorang teman lain tak kalah bersemangat berujar, kamu itu “bagusnya mati saja, kok tidak punya ghirrah dalam membela agama”.

Tajam sekali, bukan? Rasa-rasanya tudingan itu menusuk tepat ke inti ulu hati. Sesudah dijadikan cicak, disuruh mati pula.

Saudaraku, bila dipikir-pikir, ujung masalah ini sederhana. Ahok yang memicunya. Dia menyinggung perasaan sebagian muslim. Intinya, dia lalu dianggap menistakan agama. Menistakan Alquran. Oke, Ahok salah di sini. Menggugat keyakinan dan kepercayaan orang lain. Beberapa orang melaporkan Ahok kepada pihak kepolisian. Ahok lalu minta maaf. Polisi berjanji untuk tetap menyelidiki dan mengusut masalah ini.

Dan, kukira masalahnya akan tuntas di sini. Ternyata respons kita sedikit berbeda-beda saat menunggu penuntasan kasus ini.

Ada sebagian saudara kita yang menganggap Ahok kebal hukum. Dilindungi penguasa. Perlulah ditempuh upaya ekstra. Perlu semangat lebih (baca: ghirrah) untuk menegakkan hukum. Membela agama. Membela Alquran. Dirancanglah demo, yang puncaknya pada tanggal 4 November esok hari. Langkah ini bagus sekali. Konstitusional dan menjunjung tinggi hukum. Pada titik ini, kita harus salut pada saudara kita ini. Tidak anarkis dan tetap menggunakan jalur yang disediakan sistem demokrasi.

Ada sebagian saudara kita lagi yang membela Ahok. Islam, bagi sebagian saudara kita ini, harus teduh dan mendamaikan. Harus melindungi minoritas. Harus menjaga kebhinekaan. Lagian, Ahok juga sudah meminta maaf, dan polisi sudah bergerak untuk memproses. Bila perlu waktu, wajar. Polisi tidak boleh gegabah, bukan? Pada mereka, kita perlu memuji sikap tenang dan damainya.

Ada sebagian lagi, seperti aku ini dan sebagian besar kita, hanya aktif membaca dan mengikuti perkembangan berita. Mengikuti perang twit, perang opini, perang meme. Melihat kasus ini dari kejauhan. Dan bersabar melihat muara dari kasus hukum ini. Di sela-sela itu, kami-kami ini berdoa mudah-mudahan saudara muslim kami yang SEMANGAT dan yang DAMAI tidak saling mencaci. Tidak saling membenci. Tidak saling memutus tali silaturahmi.

Bila dipikir-pikir, kita ini mirip-mirip saja sebenarnya. Hanya berbeda cara ekspresinya. Cara pengungkapannya. Kita seakan berbeda dalam segala, tetapi sebenarnya kita satu dalam cinta. Cinta agama kita. Alquran kita. Negara kita.

Saudara muslimku yang kucintai,

Sejatinya, aku ini tidak bisa seperti kalian, yang semangat atau pun yang damai. Aku hanya bisa ber-Islam secara sederhana. Menyapa tetangga, lalu tersenyum ramah. Menyambanginya bila sedang sakit. Bersilaturahim. Berkumpul dan saling bergurau untuk merekatkan persaudaraan.

Dalam urusan dakwah, aku hanya bisa mengingatkan bapak, ibu, atau adik-adik yang menyalakan sein kiri entah ternyata lurus terus atau malah belok kanan. Ilmuku hanya cukup untuk itu. Tidak cukup untuk hal lainnya. Maafkan bila Islamku hanya sesederhana itu.

Bila kulihat masalah keumatan yang paling pelik, mungkin itu hanya urusan sandal yang tak pernah tertata rapi di masjid. Ada sebagian kecil yang tertata rapi menghadap ke masjid memang. Tak sedikit yang miring, ada yang terbalik, ada yang terpisah dengan pasangannya, dan ada yang terinjak-injak. Sedih rasanya jika kemudian ada yang mengolok-olok: katanya agama terbaik, urusan sandal saja kok masih belum rapi? Dan aku belum bisa apa-apa untuk mengatasi itu. Mengatasi masalah sandal yang tak karu-karuan itu. Tak sebanding dengan upaya kalian.

Besok saudaraku, engkau akan berangkat berdemo. Hati-hatilah di jalan. Waspadai penyusup. Marilah kita berdoa bersama-sama agar demo berjalan damai dan santun. Mari kita doakan para ulama yang mengawal diberi kekuatan dan kemampuan mengendalikan semuanya.

Apa kata orang di luar sana bila sekali lagi umat Islam dianggap sebagai biang perpecahan, biang kerusakan, biang kerusuhan? Malulah kita.

Bila boleh, doakan kami juga para muslim yang sering dianggap muslim cicak ini diberi kemampuan untuk menggerakkan aksi menata lima sandal sebelum sholat Jumat. Ya, semacam kita bagi-bagi tugas. Engkau membela Alquran di sana dengan aksi damai, kami membela Alquran di sini dengan menata lima sandal sebelum sholat Jumat.

Bila boleh nitip aksi, tolong tata lima sandal juga di Istiqlal sebelum sholat Jumat ya. Ku dengar, di sana ada Aa Gym juga. Beliaulah yang dulu sering menyarankan kami-kami ini menata sandal di masjid. Salam takzim kepada beliau.

Jadi, saudaraku, besok 4 November, Mari Kita Dukung dan Mendoakan #AksiDamai#JakartakuDamai, dan jangan lupa #Nata5Sandal
Dari saudaramu

Qatar: Balapan Kuda di Kamar Mandi

Seharusnya hari itu aku duduk manis di kursi penumpang sambil menikmati pemandangan Dhoha yang agak lengang. Cuaca cerah, dan jalanan sepi. Betul, Dhoha sedang libur. Jumat dan Sabtu adalah hari libur mereka.
Namun, takdir memilih dan menyeretku ke “profesi dadakan lain” lain. Dimintalah aku menjadi juru bahasa. Menerjemahkan apa pun yang disampaikan guide berwajah tirus dan berkulit cokelat matang asal Bangladesh.
Bagian Dalam Bandara Qatar
Ingin kutolak saja permintaan itu. Menerjemah dan menjadi juru bahasa itu berbeda. Beda ilmunya dan beda praktiknya. Serta beda pendekatannya. Bagi orang yang jarang sekali bertemu dengan orang baru dan gemetar bila diminta berbicara di depan, hatiku ciut. Kaki gemetar. Gigi bergemeretak. Dan hawa dingin tiba-tiba merasuk ke jantung. Betul, aku grogi tingkat dewa.
Ingin lari saja dari kenyataan. Apa mau dikata, perintah Kiai Zainuddin tak bisa kutepis begitu saja. Meskipun baru beberapa jam bertemu, kiai tetaplah kiai. Cangkolang kata orang Probolinggo bila menolak perintah kiai.
Dan begitulah awalnya, aku diminta memimpin rombongan kami, lalu bertemu dengan guide serta sopir bus di pelataran bandara Dhoha yang megah dan canggih itu.
Kami lalu naik bus mikro berkursi 24 orang. Aku di depan menghadap penumpang. Menerjemahkan apa pun yang dikatakan guide yang berbahasa Inggris. Ketika melintasi pasar, dia bercerita tentang apa saja yang menarik dan dijual di pasar itu. Begitu pun ketika kami melintasi gedung modern yang ternyata menjadi markas Al-Jazeera di Qatar. Sebagian kecil takjub dan manggut-manggut terpesona melihat gedung besar itu. Dan sebagian besar biasa saja. Maklum, tahunya hanya Indosiar hehehe, termasuk yang nulis ini.
Kami lalu dibawa melintasi jajaran gedung bertingkat, yang plakatnya bertuliskan universitas-universitas besar dunia yang membuka cabangnya di Dhoha. Waw, luar biasa. Negara kecil ini begitu serius mempersiapkan masa depannya. SDM-nya. Setelah itu, kami dibawa ke residensial mewah, yang menurut guide-nya ditempati penduduk asli Qatar. Ada dua rumah mewah yang berdempetan, dan arsitekturnya persis sama. Warnanya sama-sama cokelat, dan di depannya berdiri megah dua pohon kurma.
“Itu adalah rumah orang kaya Qatar. Istrinya dua. Dibuatkanlah dua rumah yang persis sama dan berdempetan” ucap si guide sambil tersenyum. Ibu-ibu bersorak. Tiga orang bapak-bapak memperlihatkan wajah agak masam. Di kemudian hari baru kutahu, ketiganya membawa serta istri mudanya City Tour ke Dhoha ini. Oalah, itulah kenapa di wajah mereka langsung terlihat pucat.
“Di sini semakin banyak anak, semakin banyak tunjangan. Makanya orang asli Qatar punya lebih dari satu istri, dan banyak anak. Anak dipelihara Negara. Ditanggung negara” tambahnya lagi. Ibu-ibu tambah semakin sumringah. “Jadi ibu-ibu tidak perlu repot mengurus bayinya. Mengurus anaknya. Semuanya ditanggung Negara” ibu-ibu tambah semangat. Sebagian malah berbicara sendiri-sendiri. Tertawa-tawa sendiri.
Bus terus berjalan, lalu melewati arena pacuan kuda. Si guide lalu meneruskan kisahnya tentang kegemaran orang Qatar dalam balap kuda. “Tadi malam baru ada balapan kuda. Ruame di sini” sambungnya. Bus lalu berjalan perlahan, dan kemudian berhenti.
“Ayo ibu-ibu dan bapak-bapak yang mau melihat ruang balapan kuda” ujarku menirukan ucapan si guide dalam bahasa Indonesia. Saat semuanya turun, mata mereka membelalak dan bingung. Aku si interpreter dadakan ini tak kalah bingung setelah melihat sekitar.
“Mana mas ruang balapan kudanya” tanya salah seorang penumpang berkerudung putih, dan berkacamata hitam sambil menatapku heran dan penuh tanda tanya.
Di depan, hanya ada kamar mandi. Oalah, ternyata aku salah dengar, dan si guide ternyata bilang “rest room”, bukan “race room” hahahahaha.
Begitulah bila penerjemah diminta jadi juru bahasa atawa interpreter alias penerjemah lisan. Berabe. Kamar mandi malah diterjemahkan jadi ruang balapan kuda hahahaha.