Surat Terbuka dari Muslim Cicak

Saudara muslimku yang kucintai,

Beberapa hari ini hatiku sedih tak terperi. Salah seorang teman membagikan tautan. Berita yang mengecam sikapku dan sebagian besar orang-orang sepertiku ini. Isi awalnya hanya tentang semut vs cicak dalam kisah saat Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud.

Semut dikisahkan membawa air sambil tersuruk-suruk untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Saat terpontang-panting, hewan lainnya menertawakan upaya semut yang sia-sia itu.

“Setidaknya Allah tahu kepada siapa aku berpihak?” balas semut dengan sengit.

Di sisi lain, saat makhluk lain bergotong royong memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim, si cicak malah meniup api. Dia membela raja Namrud. Jadilah dia makhluk terkutuk. Sebab, dia membela kemungkaran. Di akhir postingan itu, si penulis berujar dengan lantang: Apakah kamu muslim cicak itu, yang diam ketika agamanya dinista?

Ya, akulah yang dibidik itu. Akulah muslim cicak yang dimaksud itu. Dan mungkin sebagian kita, yang menolak untuk ikut serta dalam perdebatan tentang Ahok dan Al Quran: Almaidah 51. Salah seorang teman lain tak kalah bersemangat berujar, kamu itu “bagusnya mati saja, kok tidak punya ghirrah dalam membela agama”.

Tajam sekali, bukan? Rasa-rasanya tudingan itu menusuk tepat ke inti ulu hati. Sesudah dijadikan cicak, disuruh mati pula.

Saudaraku, bila dipikir-pikir, ujung masalah ini sederhana. Ahok yang memicunya. Dia menyinggung perasaan sebagian muslim. Intinya, dia lalu dianggap menistakan agama. Menistakan Alquran. Oke, Ahok salah di sini. Menggugat keyakinan dan kepercayaan orang lain. Beberapa orang melaporkan Ahok kepada pihak kepolisian. Ahok lalu minta maaf. Polisi berjanji untuk tetap menyelidiki dan mengusut masalah ini.

Dan, kukira masalahnya akan tuntas di sini. Ternyata respons kita sedikit berbeda-beda saat menunggu penuntasan kasus ini.

Ada sebagian saudara kita yang menganggap Ahok kebal hukum. Dilindungi penguasa. Perlulah ditempuh upaya ekstra. Perlu semangat lebih (baca: ghirrah) untuk menegakkan hukum. Membela agama. Membela Alquran. Dirancanglah demo, yang puncaknya pada tanggal 4 November esok hari. Langkah ini bagus sekali. Konstitusional dan menjunjung tinggi hukum. Pada titik ini, kita harus salut pada saudara kita ini. Tidak anarkis dan tetap menggunakan jalur yang disediakan sistem demokrasi.

Ada sebagian saudara kita lagi yang membela Ahok. Islam, bagi sebagian saudara kita ini, harus teduh dan mendamaikan. Harus melindungi minoritas. Harus menjaga kebhinekaan. Lagian, Ahok juga sudah meminta maaf, dan polisi sudah bergerak untuk memproses. Bila perlu waktu, wajar. Polisi tidak boleh gegabah, bukan? Pada mereka, kita perlu memuji sikap tenang dan damainya.

Ada sebagian lagi, seperti aku ini dan sebagian besar kita, hanya aktif membaca dan mengikuti perkembangan berita. Mengikuti perang twit, perang opini, perang meme. Melihat kasus ini dari kejauhan. Dan bersabar melihat muara dari kasus hukum ini. Di sela-sela itu, kami-kami ini berdoa mudah-mudahan saudara muslim kami yang SEMANGAT dan yang DAMAI tidak saling mencaci. Tidak saling membenci. Tidak saling memutus tali silaturahmi.

Bila dipikir-pikir, kita ini mirip-mirip saja sebenarnya. Hanya berbeda cara ekspresinya. Cara pengungkapannya. Kita seakan berbeda dalam segala, tetapi sebenarnya kita satu dalam cinta. Cinta agama kita. Alquran kita. Negara kita.

Saudara muslimku yang kucintai,

Sejatinya, aku ini tidak bisa seperti kalian, yang semangat atau pun yang damai. Aku hanya bisa ber-Islam secara sederhana. Menyapa tetangga, lalu tersenyum ramah. Menyambanginya bila sedang sakit. Bersilaturahim. Berkumpul dan saling bergurau untuk merekatkan persaudaraan.

Dalam urusan dakwah, aku hanya bisa mengingatkan bapak, ibu, atau adik-adik yang menyalakan sein kiri entah ternyata lurus terus atau malah belok kanan. Ilmuku hanya cukup untuk itu. Tidak cukup untuk hal lainnya. Maafkan bila Islamku hanya sesederhana itu.

Bila kulihat masalah keumatan yang paling pelik, mungkin itu hanya urusan sandal yang tak pernah tertata rapi di masjid. Ada sebagian kecil yang tertata rapi menghadap ke masjid memang. Tak sedikit yang miring, ada yang terbalik, ada yang terpisah dengan pasangannya, dan ada yang terinjak-injak. Sedih rasanya jika kemudian ada yang mengolok-olok: katanya agama terbaik, urusan sandal saja kok masih belum rapi? Dan aku belum bisa apa-apa untuk mengatasi itu. Mengatasi masalah sandal yang tak karu-karuan itu. Tak sebanding dengan upaya kalian.

Besok saudaraku, engkau akan berangkat berdemo. Hati-hatilah di jalan. Waspadai penyusup. Marilah kita berdoa bersama-sama agar demo berjalan damai dan santun. Mari kita doakan para ulama yang mengawal diberi kekuatan dan kemampuan mengendalikan semuanya.

Apa kata orang di luar sana bila sekali lagi umat Islam dianggap sebagai biang perpecahan, biang kerusakan, biang kerusuhan? Malulah kita.

Bila boleh, doakan kami juga para muslim yang sering dianggap muslim cicak ini diberi kemampuan untuk menggerakkan aksi menata lima sandal sebelum sholat Jumat. Ya, semacam kita bagi-bagi tugas. Engkau membela Alquran di sana dengan aksi damai, kami membela Alquran di sini dengan menata lima sandal sebelum sholat Jumat.

Bila boleh nitip aksi, tolong tata lima sandal juga di Istiqlal sebelum sholat Jumat ya. Ku dengar, di sana ada Aa Gym juga. Beliaulah yang dulu sering menyarankan kami-kami ini menata sandal di masjid. Salam takzim kepada beliau.

Jadi, saudaraku, besok 4 November, Mari Kita Dukung dan Mendoakan #AksiDamai#JakartakuDamai, dan jangan lupa #Nata5Sandal
Dari saudaramu

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »