Qatar: Balapan Kuda di Kamar Mandi

Seharusnya hari itu aku duduk manis di kursi penumpang sambil menikmati pemandangan Dhoha yang agak lengang. Cuaca cerah, dan jalanan sepi. Betul, Dhoha sedang libur. Jumat dan Sabtu adalah hari libur mereka.
Namun, takdir memilih dan menyeretku ke “profesi dadakan lain” lain. Dimintalah aku menjadi juru bahasa. Menerjemahkan apa pun yang disampaikan guide berwajah tirus dan berkulit cokelat matang asal Bangladesh.
Bagian Dalam Bandara Qatar
Ingin kutolak saja permintaan itu. Menerjemah dan menjadi juru bahasa itu berbeda. Beda ilmunya dan beda praktiknya. Serta beda pendekatannya. Bagi orang yang jarang sekali bertemu dengan orang baru dan gemetar bila diminta berbicara di depan, hatiku ciut. Kaki gemetar. Gigi bergemeretak. Dan hawa dingin tiba-tiba merasuk ke jantung. Betul, aku grogi tingkat dewa.
Ingin lari saja dari kenyataan. Apa mau dikata, perintah Kiai Zainuddin tak bisa kutepis begitu saja. Meskipun baru beberapa jam bertemu, kiai tetaplah kiai. Cangkolang kata orang Probolinggo bila menolak perintah kiai.
Dan begitulah awalnya, aku diminta memimpin rombongan kami, lalu bertemu dengan guide serta sopir bus di pelataran bandara Dhoha yang megah dan canggih itu.
Kami lalu naik bus mikro berkursi 24 orang. Aku di depan menghadap penumpang. Menerjemahkan apa pun yang dikatakan guide yang berbahasa Inggris. Ketika melintasi pasar, dia bercerita tentang apa saja yang menarik dan dijual di pasar itu. Begitu pun ketika kami melintasi gedung modern yang ternyata menjadi markas Al-Jazeera di Qatar. Sebagian kecil takjub dan manggut-manggut terpesona melihat gedung besar itu. Dan sebagian besar biasa saja. Maklum, tahunya hanya Indosiar hehehe, termasuk yang nulis ini.
Kami lalu dibawa melintasi jajaran gedung bertingkat, yang plakatnya bertuliskan universitas-universitas besar dunia yang membuka cabangnya di Dhoha. Waw, luar biasa. Negara kecil ini begitu serius mempersiapkan masa depannya. SDM-nya. Setelah itu, kami dibawa ke residensial mewah, yang menurut guide-nya ditempati penduduk asli Qatar. Ada dua rumah mewah yang berdempetan, dan arsitekturnya persis sama. Warnanya sama-sama cokelat, dan di depannya berdiri megah dua pohon kurma.
“Itu adalah rumah orang kaya Qatar. Istrinya dua. Dibuatkanlah dua rumah yang persis sama dan berdempetan” ucap si guide sambil tersenyum. Ibu-ibu bersorak. Tiga orang bapak-bapak memperlihatkan wajah agak masam. Di kemudian hari baru kutahu, ketiganya membawa serta istri mudanya City Tour ke Dhoha ini. Oalah, itulah kenapa di wajah mereka langsung terlihat pucat.
“Di sini semakin banyak anak, semakin banyak tunjangan. Makanya orang asli Qatar punya lebih dari satu istri, dan banyak anak. Anak dipelihara Negara. Ditanggung negara” tambahnya lagi. Ibu-ibu tambah semakin sumringah. “Jadi ibu-ibu tidak perlu repot mengurus bayinya. Mengurus anaknya. Semuanya ditanggung Negara” ibu-ibu tambah semangat. Sebagian malah berbicara sendiri-sendiri. Tertawa-tawa sendiri.
Bus terus berjalan, lalu melewati arena pacuan kuda. Si guide lalu meneruskan kisahnya tentang kegemaran orang Qatar dalam balap kuda. “Tadi malam baru ada balapan kuda. Ruame di sini” sambungnya. Bus lalu berjalan perlahan, dan kemudian berhenti.
“Ayo ibu-ibu dan bapak-bapak yang mau melihat ruang balapan kuda” ujarku menirukan ucapan si guide dalam bahasa Indonesia. Saat semuanya turun, mata mereka membelalak dan bingung. Aku si interpreter dadakan ini tak kalah bingung setelah melihat sekitar.
“Mana mas ruang balapan kudanya” tanya salah seorang penumpang berkerudung putih, dan berkacamata hitam sambil menatapku heran dan penuh tanda tanya.
Di depan, hanya ada kamar mandi. Oalah, ternyata aku salah dengar, dan si guide ternyata bilang “rest room”, bukan “race room” hahahahaha.
Begitulah bila penerjemah diminta jadi juru bahasa atawa interpreter alias penerjemah lisan. Berabe. Kamar mandi malah diterjemahkan jadi ruang balapan kuda hahahaha.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »