Saat Mati, Apa Warisanku?

Saat nanti ajal menjemput, apa yang kan kutinggalkan sebagai warisan bagi anak cucu?

Itulah pertanyaan yang tiba-tiba datang berulang di pikiranku. Terngiang-ngiang. Rasa-rasanya pertanyaan itu mengawang di langit-langit kamar, di udara yang kuhirup, pada tetesan hujan yang membasahi kulit.
Warisan

Warisan yang kumaksud tentu bukan tanah, sawah, dan benda-benda lain. Tapi lebih pada benda tak berwujud yang tak lekang zaman. Selalu dapat dibawa. Seperti cerita kebaikan misalnya. Atau teladan yang diikuti oleh anak-anak kita. Atau doa-doa yang dengannya anak dan cucu selalu mendapatkan petunjuk saat tersesat di belantara dunia.

Pertanyaan ini mengingatkanku pada suatu sore yang cerah di gubuk bambu di tengah sawah. Seseorang menyapaku yang sedang tidur-tiduran seusai lelah menyiram tembakau. Kami terlibat percakapan asyik. Tentang tembakau. Tentang semangka yang ditanamnya. Dan dia bercerita mengenal almarhum ayah.

Baginya, ayahku sosok yang sangat hangat. Bersahabat dan suka membantu. Aku hanya bisa mendengarkan tentu. Sosok almarhum ayah hanya bisa kukenal dari cerita-cerita mulut ke mulut. Tak pernah kulihat langsung. Toh itu tak menghalangi ayahku itu untuk mengenalkan dirinya melalui cerita bersambung dari satu orang ke orang lain. Dari satu penuturan ke penuturan lain.

Warisan itu yang minimal ingin kutinggalkan. Tak mungkin aku hidup selamanya. Kematian pasti datang, entah itu kapan. Masalahnya, apakah aku akan meninggalkan kisah-kisah yang sama seperti ayahku itu?

Itu yang menjadi pertanyaanku, dan rasa-rasanya itu harus pula menjadi visi hidup. Meninggalkan "kebaikan" bagi generasi penerus.

Itu pula yang membuatku terus menulis, entah akan ada yang membaca atau tidak. Entah ada yang memahaminya atau tidak. Ya betul, agar ada yang diwariskan.

Mungkin saat kedua anakku sudah besar, mereka tidak akan mendengar kisah tentang ayahnya. Sebab, mungkin mereka melanglang buana. Meretas jalan kehidupan mereka sendiri di atas bumi. Tugasku ya meninggalkan sebanyak mungkin memori atau kenangan baik.

Untuk sementara, itulah yang dapat kupikirkan.

Hiduplah Hari Ini Saja

Hiduplah Hari Ini Saja - Dalam sebuah talkshow radio Jumat pagi kemarin (21 Juli 2017), pengisi acara memilih topik yang sangat bagus. Setidaknya menurutku. Tema yang dipilih adalah "Hiduplah Hari Ini Saja" atau dalam bahasa Inggrisnya "Just Live for Today".

Awalnya, aku tidak mendengar serius siaran pagi kali itu. Sebab, dari topiknya saja sudah bisa tebak. Ini akan biasa-biasa saja. Setiap hari bukannya kita sudah hidup. Kita sudah bernapas, dan melakukan sesuatu. Ada yang bekerja. Ada yang nonton TV. Ada yang juga bercengkerama bersama keluarga. Ada juga yang galau. Tapi bukankah semua orang sudah menjalani hidupnya masing-masing, pikirku.

Namun, lambat laun siaran pagi itu menyadarkanku. Masih banyak orang yang terperangkap masa lalu. Jerat manis atau pahit masa lalu masih membebani langkah. Akhirnya, dia memang hidup secara fisik hari ini (today), tetapi secara jiwa dan emosi dia terperangkap kehidupan kemarin (past).

Ada yang terlalu bangga dengan masa lalu sehingga lalai untuk menciptakan kebanggaan hari ini. Ada yang terlalu emosional dengan kenangan masa lampau sehingga lupa untuk menciptakan kenangan di masa kini. Ada juga yang terlalu takut masa depan sehingga tidak bisa menikmati hari ini.

Ternyata hidup hari ini saja tidak mudah.

Tidak sesederhana kalimatnya. Penerapannya sulit bukan main. Bila berbicara semudah membalik telapak tangan, melakukan apa yang kita bicarakan sesulit membalik telapak kaki. Coba balik telapak kaki sekarang. Bisa?

Sulit memang. Tapi bisa. Caranya kita tiduran sambil mengangkat kaki ke atas menghadap langit, hehe

Namun, terlepas dari kesulitan itu, toh kita harus tetap menjalani hidup hari ini, sembari merancang masa depan. Seberapa pun sulitnya, kita harus tetap belajar. Memaksa diri keluar dari belenggu itu. Bekalnya, ya masa lalu.

Bagaimana caranya? Mungkin ada yang bertanya begitu. Caranya ya ayo kita cari sendiri-sendiri. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk hidup hari ini. Ada yang menerjemah. Ada yang menulis. Ada yang belajar.


Site: QuotesNew.com

Aku sendiri pun sudah mencoba memulainya.

Ya, dengan menulis ini. Sudah lama aku tidak menulis karena terjebak kemalasan akibat merasa "sukses" di masa lalu. Terjerat kisah manis era lampau. Akhirnya, kuputuskan untuk mulai hidup hari ini.

Gimana denganmu? Sudahkah engkau hidup hari ini, kawan?