Dari fajar hingga senja menjelang

“Aq sdh plg, izin tadi. Badanq pegel-pegel semua. Alhamdulillah Kira sdh agak mendingan. Tolong belikan obat demam yah yaa” hapeku berkedip sebentar, menunjukkan pesan WA yang dikirimkannya.

Kuraih segera hapeku, yang sejam lalu kuletakkan di sisi kanan meja. Kubaca sambil tersenyum simpul, membayangkannya mengucapkan itu semua secara langsung. Di depanku. Bibirnya lalu bergerak cepat dari satu kata ke kata lain. Suaranya yang manja setiap kali berbicara padaku. Matanya yang berbinar namun terus menjaga tatap dengan lekat-lekat. Seakan bila dia memejamkan mata, aku akan lenyap ditelan entah apa. Ya, itulah yang kubayangkan setiap kali membaca pesannya.

“Nanti aku mampir di apotek di sepanjang jalan. Akan kutahan rasa rindu yang sudah sedari tadi menderaku”

“Lho kenapa?”

“Karena sejak berangkat, rinduku sudah memberat. Menggantung di relung hatiku. Terekam jelas di kedua bola mataku. Sejatinya aku ingin segera pulang. Agar bisa kutuntaskan rinduku, dengan melihat senyummu”

“Masa? J

“Saat kau tersenyum setelah aku pulang dari tempat kerja, kau tahu aku membayangkan senja. Ya, senyummu seperti senja yang temaram saat sejenak kemudian akan ditelan malam. Aku selalu bagian itu. Langka. Memesona.”

“Aku tersipu-sipu. Jangan gitu” balasnya memotong pesan yang kukirim balik.

“Betul, kau tahu aku tak pandai berbohong. Aku selalu suka momen saat kau tersenyum, lalu meraih tanganku, menciumnya dengan penuh takzim. Seperti seusai akad. Kau menciumnya lama seakan tak percaya aku akan berani mempertaruhkan hampir semuanya tuk menikahimu”

“Iya memang” balasmu sambil menggunakan ikon wajah tersipu. Mungkin wajahmu memerah saat kau membacanya. Lalu mungkin kau mengingat kembali bagaimana laki-laki kurus yang bila ditabrak angin selatan akan ambruk itu berani melamarmu. Ya, laki-laki kurus itu mengenyahkan semua rasa takutnya. Dia kesampingkan semua kecemasannya. Demi melihat senja setiap pulang bekerja. Ya, senja pada kedua lipatan pipimu saat kau tersenyum itu.

“Kau tahu, senyum itu memberiku semangat tuk menutup mata malam harinya. Tak lagi kupernah takut tuk menutupnya karena takut mimpi buruk kan menelannya.”

“Di sampingku ada Kira. Aku malu. Sudah ah”

“Kau harus tahu. Aku tak pernah takut lagi tuk tertidur. Sebab kutahu, esok hari kan kulihat lagi senyummu. Merekah bersama fajar yang menguning. Menguar optimisme. Menebar harapan. Boleh kuminta sesuatu?”

“Apa?”

“Seandainya bisa, izinkan aku tuk membungkusnya barang sedetik saja esok hari. Lalu kubawa sebagai bekal bekerja. Cukuplah senyummu menjadi bekal tuk cerahkan hariku sepanjang hari”

“Iya sayang. Jangan lupa tolong belikan juga roti tawar, bayar BPJS, bayar listrik juga ya. Oh ya garam di dapur juga hampir habis. Kalo bisa sekalian mampir ke Indomaret apa Alfamart gitu ya?”

malang, 19 september 2017





   

Puisi Nothing Gold Can Stay oleh Robert Frost - Analisis dan Terjemahannya

Setelah membahas lebih dalam tentang Ozymandias, sekarang kita membahas puisi lain. Ada sedikit kemiripannya sih dengan puisi Ozymandias. Ya, puisi ini juga berkisah tentang kesempurnaan yang tak abadi. Bila puisi Ozymandias bercerita patung seekor Firaun, yang tak lagi lengkap. Yang tersisa hanya dua kaki, dan kepala yang terbenam.

Betul, puisi yang akan kita bahas kali ini adalah Nothing gold can stay.

Yuk kita simak puisi Nothing gold can stay tersebut serta terjemahannya:

Nature's first green is gold,
Her hardest hue to hold.
Her early leaf's a flower; 
But only so an hour.
Then leaf subsides to leaf,
So Eden sank to grief,
So dawn goes down to day
Nothing gold can stay. 
Emas adalah hijau pertama semesta,
Rona terpelik tuk dijaga.
Daun awalnya bunga; 
Tapi sejam kemudian.
Daun demi daun meranggas,
Dan Taman firdaus pun merana,
Fajar pun lenyap ditelan siang
Sempurna takkan bertahan selamanya. 

Puisi ini secara bentuk mirip dengan puisi A Minor Bird, yang bisa dibaca di sini. Baitnya berbentuk koplet dan rimanya terjaga sempurna. Seperti bisa kita baca pada versi bahasa Inggris, puisi ini menggunakan rima AABBCCDD. 



Diksinya pun menawan. Pendek-pendek tapi mengena. Pas sekali. Untuk urusan ini, saya selamanya kagum pada sosok penyair yang hidup selama berkecamuknya perang dunia ini. Kreatif tetapi tetap patuh pada kebiasaan penulisan puisi pada zamannya.

Dan seperti matahari yang selalu terbit dari barat, eh timur, Pak Robert Frost lagi-lagi menggunakan pendekatan naturalisme untuk menyampaikan ide-idenya. Maksud-maksudnya. Curahan hatinya.

Padahal, saat menerjemahkan puisi ini, saya kesulitan mencari kata-kata yang rimanya bisa terjaga tetapi maknanya tetap tersampaikan. Dengan kata lain, saya tak mampu "menerjemahkan puisi ini dengan cantik, dan setia pada makna aslinya". Sungguh saya tak mampu. 

Ya maklumlah, penerjemah sastra kacangan ya :). #Huff

Sekarang kita bahas makna dari puisi ini. Puisi ini dari awalnya hendak menyampaikan tentang indah, sempurna, masa muda, sehat, dan kaya takkan bertahan selamanya. Dia yang awalnya ganteng dan cantik jelita pada akhirnya akan berubah menjadi "buruk rupa" saat usia bertambah. Dia yang awalnya kaya raya dan mampu membeli segalanya akan tiba pada momen ketika tak bisa menggunakan kekayaannya.

Begitulah maknanya menurut saya. Coba kita kuliti satu per satu. Pertama-tama, hijau yang ada di semesta alam adalah emas. Emas adalah elemen yang terkuat. Meskipun terkubur lama, kilaunya tetap bertahan. Terjaga.

Lalu dari early green ini muncullah daun, yang berupa bunga. Indah luar biasa. Wanginya semerbak. Bentuknya menawan. Kuncupnya memikat. Namun, satu jam kemudian helai demi helainya meranggas. Meninggalkan tangkai dan jatuh ke tanah. Taman Firdaus pun merana menyaksikannya.

Tapi begitulah alam, dan hukum-hukum yang mendasari pergerakannya.

So dawn goes down to day
Fajar pun lenyap ditelan siang

Bahkan fajar yang terbentang di ufuk timur, yang menampakkan kemegahan dan keindahan, kebahagiaan dan optimisme, akan lenyap juga pada akhirnya. Ditelan siang. Keindahannya dikalahkan hangat mentari pagi, lalu berganti sengatan sinar matahari.

Ya, nothing gold can stay.

Saya pun mengamininya. Tak ada sempurna yang kan bertahan selamanya. Dan kita harus siap dengan segalanya. Segala konsekuensinya.

Saat kehidupan kita menanjak, kita harus siap turun mendadak. Saat bahagia menjelang, kita harus siap kesedihan kan datang. Saat naik jabatan, kita harus siap ditangkap KPK, eh turun jabatan maksud saya.

Demikian juga sebaliknya. Saat kita ditinggal, akan ada orang yang menggantikan. Saat gundah gulana, ada kebahagiaan yang kan menanti.

Rasa-rasanya, kandungan puisi ini mirip dan ya serupa dengan puisi kematian, yang ditulis Maulana Rumi. Silakan klik di sini.

Puisi Ozymandias karya Percy Bysshe Shelley - Terjemahan dan Analisisnya

Puisi Ozymandias ini adalah puisi paling terkenal karya Percy Bysshe Shelley. Banyak yang menyangsikan ihwal alasan yang melatari popularitasnya. Sebab, dari subjek yang dibahas, puisi ini dibilang tidak membahas sesuatu yang besar.

Yuk kita simak puisi serta terjemahannya.

I met a traveler from an antique land
Who said: “Two vast and trunkless legs of stone
Stand in the desert... Near them, on the sand,
Half sunk, a shattered visage lies, whose frown,
And wrinkled lip, and sneer of cold command,
Tell that its sculptor well those passions read
Which yet survive, stamped on these lifeless things,
The hand that mocked them, and the heart that fed:
Aku bertemu pengembara dari daratan kuno
Yang berkata: “Sepasang kaki batu besar tanpa badan
Berdiri di padang pasir... Di dekatnya, di atas pasir,
Terbenam separuh, wajah hancur terbentang, yang bibirnya berkerut
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,
Bilang pemahatnya, hasrat itu terbaca dengan baik
Masih bertahan, melekat erat pada benda tak bernyawa ini,
Tangan yang mencemooh, dan hati yang menyuapi:

And on the pedestal these words appear:
‘My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and despair!’
Nothing beside remains. Round the decay
Of that colossal wreck, boundless and bare
The lone and level sands stretch far away.”
Dan di tumpuannya kata-kata ini muncul:
‘Namaku adalah Ozymandias, raja dari segala raja
Lihat karyaku, wahai Yang Perkasa, dan putus asa!’
Tidak ada yang tersisa. Di sekeliling reruntuhan 
Kehancuran besar, tak terbatas, dan hampa
Hanya hamparan pasir sejauh mata memandang.”

Puisi ini termasuk sonnet atau soneta, dengan metrik iambic pentameter. Menurut keterangan di Wikipedia, Shelley menulis puisi ini pada tahun 1817, setelah munculnya pengumuman tentang patung yang berhasil diperoleh oleh British Museum. Patung ini sendiri adalah patung penguasa Mesir alias Firaun yang bernama Ramesses II. Dia sendiri adalah Raja Mesir yang memerintah mulai 1279 sebelum Masehi hingga 1213 sebelum masehi.

Patung Ozymandias

Puisi ini sebenarnya memiliki kembaran, yang ditulis oleh Horace Smith. Judulnya pun sama. Mungkin muncul pertanyaan, kok puisi bisa punya kembaran?

Sebab, puisi ini ditulis oleh Shelley sebagai ajakan untuk berkompetisi. Yang diajak untuk berkompetisi siapa lagi kalo bukan sahabatnya yang bernama Horace Smith. Asyik juga ya. Berteman, tetapi bersaing dalam karya. Ya, mirip dengan proses kreatif puisi Road Not Travelled karya Robert Frost.

Apa sih isi dari puisi ini? 

Puisi bercerita tentang pertemuannya dengan seorang petualang yang baru datang dari Mesir. Si petualang lalu bercerita tentang patung manusia. Ada dua kaki namun badannya sudah tidak ada. Wajahnya tersungkur dan terbenam separuh. Dari kriteria wajah: 

Terbenam separuh, wajah hancur terbentang, yang bibirnya berkerut
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,

Bisa disimpulkan bahwa wajahnya menyiratkan wajah seorang raja. Seorang penguasa. Dan pemahat patung raksasa itu berhasil menyampaikan maksud sang raja. Si raja itu sendiri memiliki dua sifat yang saling bertentangan. Buruk di mulut, tetapi hatinya mulia. Tangan yang mengejek, dan hati yang memberi makan:

Di tumpuan patung itu terdapat sebuah prasasti, yang bertuliskan:
‘My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and despair!’

Namun, itu bertentangan dengan yang sekarang tersisa. Sebab, tak ada lagi sisa kejayaan. Yang ada hanya reruntuhan. Sisa kehancuran maha besar, yang tak terbatas, dan terlihat hampa. Tak ada lagi kerajaan. Tak ada lagi karya, sebagaimana terpahat pada tumpuan yang menjadi prasasti tersebut. Dan karya yang tersisa kini hanyalah hamparan pasir yang membentang sejauh mata memandang.

Bagi saya, puisi ini mengingatkan pembacanya untuk tidak terlalu sombong. Seberapa pun besar dan megah karya yang kita hasilkan, bisa-bisa waktu akan merusaknya. Menghancurkannya perlahan. Akhirnya, karya kita hanya terpendam ke dalam tumpukan pasir. Pada akhirnya, kesombongan akan memakan karya kita menjadi omong kosong semata.