jangan pernah jatuh hati
saat hujan datang
sebab kelak saat dia pergi
hujan akan hadir sebagai siksaan;
tanah cokelat kerontang
daun-daun yang meranggas
diubahnya jadi hijau,
tumbuh dan bersemi.
sementara bagimu,
hujan akan menghanyutkan senyum & derai tawa,
menghapus harapan,
dan menyeretmu dalam kegelapan.
dan engkau akan bertanya-tanya,
"hujan mengapa hanya senyumku yang kau bawa,
bukan rindu yang menyiksa,
bukan harapku yang tak kunjung reda?"
hujan, hujan
Ternyata, Adab Memang Lebih Penting
Setiap
September menyapa, ingatan saya selalu melesat jauh ke bulan September 2017.
Hampir bertepatan dengan 4 tahun lalu. Saat itu, saya menjalani masa orientasi
di Program Pascasarjana UMM. Ada rasa senang. Ada rasa gugup. Ada rasa
khawatir. Ada rasa minder. Sudah 11 tahun berlalu sejak saya terakhir kali
merasakan bangku kuliah pada program S1.
Bagaimana bila
saya tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik?
Bagaimana bila
saya putus kuliah di tengah jalan?
Agar semua
pertanyaan penuh keraguan nan negatif itu tidak menghambat, saya pun mengikuti acara dengan rasa
penasaran khas anak kecil. Mendengarkan dan mencatat apa pun yang disampaikan
para pemateri.
Ada dua materi
yang sangat berkesan dan menjadi bekal selama kuliah. Pertama, saya tulis di
sini: Jadilah Pemimpi atau Jadilah Pengeluh.
Kedua, materi
yang disampaikan Pak Ikhsanul In’am, Wadir 1 Direktorat Program Pascasarjana
UMM saat itu. Beliau bercerita tentang salah seorang teman kuliah beliau, yang
sangat pintar. Jenius sekali. Sayangnya, dia egois. Informasi dari dosen yang
disampaikan melalui mahasiswa jenius ini tidak pernah sampai ke telinga teman-temannya
yang lain. Dia konsumsi semua informasi penting sendiri. Dia tidak mau berbagi.
Akhirnya, Pak In’am dan teman-temannya kesulitan mengikuti kuliah di awal
semester.
Sikap itu
membuat teman-teman sekelasnya kehilangan simpati dan empati.
Pada semester
berikutnya, teman beliau ini selalu ketinggalan informasi karena dia dikucilkan
dari pergaulan. Setiap ada informasi tentang urusan akademik, teman yang cerdas
ini tidak punya akses. Akhirnya, dia mengalami kesulitan yang bertumpuk-tumpuk,
kesulitan akademik dan kesulitan sosial. Pada semester tiga, si mahasiswa
jenius ini drop-out.
Di akhir
sambutan, Pak In’am berpesan agar kami menjaga persahabatan. Agar tidak egois.
Agar saling membantu selama proses studi di UMM ini.
Saran itu
menjadi bekal kami menempuh masa-masa terberat kuliah. Tak terhitung kami
bergantian tumbang karena sakit. Tipes. Demam. Tak terhitung kami harus menyeka
air mata. Tak terhitung kami harus saling menjaga. Hubungan baik dan dukungan
sahabat begitu berarti.
Pada September
2021 ini, akhirnya sebagian besar kami lulus. Yang terpenting dalam perjalanan
kuliah itu, silaturahmi kami terjaga. Saat ada teman yang kesulitan, kami turun
tangan membantu. Dan itu tak lepas dari cerita dan pesan itu.
Dari pesan itu,
ada beberapa hikmah yang kami ambil. Pertama, persahabatan, nilai-nilai karakter,
dan akhlak itu lebih penting daripada ilmu. Kaidahnya: adab sebelum ilmu.
Kedua, utamakan hubungan baik karena hubungan yang baik akan memudahkan
penyelesaian segala urusan.
Setelah lulus,
kami jadi sadar betul tentang pentingnya menjaga hubungan baik. Tentang akhlak
dan tentang adab. Tentang takzim pada guru.
Karena Satu Kesalahan, Lenyap Seribu Kebaikan
Hari Ahad kemarin, secara kebetulan saya diminta menjadi MC untuk suatu acara keluarga. Temanya: Tindaklanjut acara pertunangan dan penetapan tanggal pernikahan.
Sebagai orang yang belum pernah menjadi MC acara keluarga, saya siapkan naskah. Saya tulis semua detail dan saya coba hafalkan.
Acara berlangsung lancar. Semua pihak bahagia dan tersenyum puas.
Setelah acara, ada yang mengingatkan saya. "Sampeyan salah membaca mukaddimah. Mestinya sekali, tapi ini dua kali. Dan tak hanya itu, sampeyan salah menyebut nama daerah, mestinya Gurah. Sampeyan menyebutnya Galuh."
Mood saya agak berantakan setelah itu.
"Mengapa orang lebih ingat satu atau dua kesalahan? Kenapa tidak mengingat acara yang berjalan lancar dan semua tamu yang gayeng saja?" pikir saya.
Lalu, saya ingat suatu cerita dari Majalah Intisari. Kira-kira seperti di bawah ini:
Seorang guru menuliskan rangkaian perkalian di bawah ini di papan tulis:
1. 5 x 1 = 5
2. 5 x 2 = 10
3. 5 x 3 = 15
4. 5 x 4 = 20
5. 5 x 5 = 20
6. 5 x 6 = 30
7. 5 x 7 = 35
8. 5 x 8 = 40
9. 5 x 9 = 45
10. 5 x 10 = 50
Belum sempat sang guru duduk, para murid tertawa kecil.
“Mengapa kalian tertawa?” tanya sang guru sambil membalik badan.
“Yang nomor lima salaaaahhh, Buuu!" jawab mereka serentak. Lalu, para murid tertawa terbahak-bahak.
Setelah tawa mereka reda, sang guru menjelaskan sambil tersenyum.
“Saya sengaja menulis seperti itu agar kalian bisa belajar sesuatu selain perkalian." Sang guru terdiam sebentar dan menebarkan pandangan. "Begitulah dunia ini akan memperlakukan kita. Dari daftar perkalian itu, saya benar sembilan kali. Namun, tak ada satu pun dari kalian yang memberikan selamat dan mengapresiasi."
Para murid terdiam.
"Pada satu kesalahan nomor 5 itu, kalian tertawa." Sang guru kembali menebarkan pandangannya. "Dalam hidup ini, anak-anakku, jarang sekali ada apresiasi atas hal-hal yang baik yang kita lakukan ribuan kali. Dalam hidup, kita dikritisi, bahkan untuk kesalahan kecil yang kita perbuat."
"Semoga anak-anakku. Kalian belajar hari ini. Untuk lebih mengapresiasi orang lain. Melihat sisi-sisi yang baik dan mengapresiasinya. Bila ada orang yang mengkritisi kalian, tersenyumlah saja. Karena memang begitulah dunia.”
Setelah mengingat cerita ini, saya pun tersenyum.
Photo by Ali Inay on Unsplash |