jangan pernah jatuh hati saat hujan datang

jangan pernah jatuh hati
saat hujan datang
sebab kelak saat dia pergi
hujan akan hadir sebagai siksaan;

tanah cokelat kerontang
daun-daun yang meranggas
diubahnya jadi hijau,
tumbuh dan bersemi.

sementara bagimu, 
hujan akan menghanyutkan senyum & derai tawa,
menghapus harapan,
dan menyeretmu dalam kegelapan.

dan engkau akan bertanya-tanya,
"hujan mengapa hanya senyumku yang kau bawa,
bukan rindu yang menyiksa,
bukan harapku yang tak kunjung reda?"

hujan, hujan


Photo by <a href="https://unsplash.com/@colefarlow?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Cole Farlow</a> on <a href="https://unsplash.com/s/photos/rain?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>
Photo by Cole Farlow on Unsplash


Ternyata, Adab Memang Lebih Penting

Setiap September menyapa, ingatan saya selalu melesat jauh ke bulan September 2017. Hampir bertepatan dengan 4 tahun lalu. Saat itu, saya menjalani masa orientasi di Program Pascasarjana UMM. Ada rasa senang. Ada rasa gugup. Ada rasa khawatir. Ada rasa minder. Sudah 11 tahun berlalu sejak saya terakhir kali merasakan bangku kuliah pada program S1.
 
Bagaimana bila saya tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik?
Bagaimana bila saya putus kuliah di tengah jalan?
 
Agar semua pertanyaan penuh keraguan nan negatif itu tidak menghambat, saya pun mengikuti acara dengan rasa penasaran khas anak kecil. Mendengarkan dan mencatat apa pun yang disampaikan para pemateri.
 
Ada dua materi yang sangat berkesan dan menjadi bekal selama kuliah. Pertama, saya tulis di sini: Jadilah Pemimpi atau Jadilah Pengeluh.
 
Kedua, materi yang disampaikan Pak Ikhsanul In’am, Wadir 1 Direktorat Program Pascasarjana UMM saat itu. Beliau bercerita tentang salah seorang teman kuliah beliau, yang sangat pintar. Jenius sekali. Sayangnya, dia egois. Informasi dari dosen yang disampaikan melalui mahasiswa jenius ini tidak pernah sampai ke telinga teman-temannya yang lain. Dia konsumsi semua informasi penting sendiri. Dia tidak mau berbagi. Akhirnya, Pak In’am dan teman-temannya kesulitan mengikuti kuliah di awal semester.
 
Sikap itu membuat teman-teman sekelasnya kehilangan simpati dan empati.
 
Pada semester berikutnya, teman beliau ini selalu ketinggalan informasi karena dia dikucilkan dari pergaulan. Setiap ada informasi tentang urusan akademik, teman yang cerdas ini tidak punya akses. Akhirnya, dia mengalami kesulitan yang bertumpuk-tumpuk, kesulitan akademik dan kesulitan sosial. Pada semester tiga, si mahasiswa jenius ini drop-out.
 
Di akhir sambutan, Pak In’am berpesan agar kami menjaga persahabatan. Agar tidak egois. Agar saling membantu selama proses studi di UMM ini.
 
Saran itu menjadi bekal kami menempuh masa-masa terberat kuliah. Tak terhitung kami bergantian tumbang karena sakit. Tipes. Demam. Tak terhitung kami harus menyeka air mata. Tak terhitung kami harus saling menjaga. Hubungan baik dan dukungan sahabat begitu berarti.
 
Pada September 2021 ini, akhirnya sebagian besar kami lulus. Yang terpenting dalam perjalanan kuliah itu, silaturahmi kami terjaga. Saat ada teman yang kesulitan, kami turun tangan membantu. Dan itu tak lepas dari cerita dan pesan itu.
 
Dari pesan itu, ada beberapa hikmah yang kami ambil. Pertama, persahabatan, nilai-nilai karakter, dan akhlak itu lebih penting daripada ilmu. Kaidahnya: adab sebelum ilmu. Kedua, utamakan hubungan baik karena hubungan yang baik akan memudahkan penyelesaian segala urusan.
 
Setelah lulus, kami jadi sadar betul tentang pentingnya menjaga hubungan baik. Tentang akhlak dan tentang adab. Tentang takzim pada guru.
 



 

Karena Satu Kesalahan, Lenyap Seribu Kebaikan

Hari Ahad kemarin, secara kebetulan saya diminta menjadi MC untuk suatu acara keluarga. Temanya: Tindaklanjut acara pertunangan dan penetapan tanggal pernikahan.

Sebagai orang yang belum pernah menjadi MC acara keluarga, saya siapkan naskah. Saya tulis semua detail dan saya coba hafalkan.

Acara berlangsung lancar. Semua pihak bahagia dan tersenyum puas.

Setelah acara, ada yang mengingatkan saya. "Sampeyan salah membaca mukaddimah. Mestinya sekali, tapi ini dua kali. Dan tak hanya itu, sampeyan salah menyebut nama daerah, mestinya Gurah. Sampeyan menyebutnya Galuh."

Mood saya agak berantakan setelah itu. 

"Mengapa orang lebih ingat satu atau dua kesalahan? Kenapa tidak mengingat acara yang berjalan lancar dan semua tamu yang gayeng saja?" pikir saya.

Lalu, saya ingat suatu cerita dari Majalah Intisari. Kira-kira seperti di bawah ini:

Seorang guru menuliskan rangkaian perkalian di bawah ini di papan tulis:

1. 5 x 1 = 5
2. 5 x 2 = 10
3. 5 x 3 = 15
4. 5 x 4 = 20
5. 5 x 5 = 20
6. 5 x 6 = 30
7. 5 x 7 = 35
8. 5 x 8 = 40
9. 5 x 9 = 45
10. 5 x 10 = 50

Belum sempat sang guru duduk, para murid tertawa kecil.

“Mengapa kalian tertawa?” tanya sang guru sambil membalik badan.

“Yang nomor lima salaaaahhh, Buuu!" jawab mereka serentak. Lalu, para murid tertawa terbahak-bahak.

Setelah tawa mereka reda, sang guru menjelaskan sambil tersenyum. 

“Saya sengaja menulis seperti itu agar kalian bisa belajar sesuatu selain perkalian." Sang guru terdiam sebentar dan menebarkan pandangan. "Begitulah dunia ini akan memperlakukan kita. Dari daftar perkalian itu, saya benar sembilan kali. Namun, tak ada satu pun dari kalian yang memberikan selamat dan mengapresiasi."

Para murid terdiam.

"Pada satu kesalahan nomor 5 itu, kalian tertawa." Sang guru kembali menebarkan pandangannya. "Dalam hidup ini, anak-anakku, jarang sekali ada apresiasi atas hal-hal yang baik yang kita lakukan ribuan kali. Dalam hidup, kita dikritisi, bahkan untuk kesalahan kecil yang kita perbuat."

"Semoga anak-anakku. Kalian belajar hari ini. Untuk lebih mengapresiasi orang lain. Melihat sisi-sisi yang baik dan mengapresiasinya. Bila ada orang yang mengkritisi kalian, tersenyumlah saja. Karena memang begitulah dunia.”

Setelah mengingat cerita ini, saya pun tersenyum. 


Photo by Ali Inay on Unsplash