Setiap
September menyapa, ingatan saya selalu melesat jauh ke bulan September 2017.
Hampir bertepatan dengan 4 tahun lalu. Saat itu, saya menjalani masa orientasi
di Program Pascasarjana UMM. Ada rasa senang. Ada rasa gugup. Ada rasa
khawatir. Ada rasa minder. Sudah 11 tahun berlalu sejak saya terakhir kali
merasakan bangku kuliah pada program S1.
Bagaimana bila
saya tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik?
Bagaimana bila
saya putus kuliah di tengah jalan?
Agar semua
pertanyaan penuh keraguan nan negatif itu tidak menghambat, saya pun mengikuti acara dengan rasa
penasaran khas anak kecil. Mendengarkan dan mencatat apa pun yang disampaikan
para pemateri.
Ada dua materi
yang sangat berkesan dan menjadi bekal selama kuliah. Pertama, saya tulis di
sini: Jadilah Pemimpi atau Jadilah Pengeluh.
Kedua, materi
yang disampaikan Pak Ikhsanul In’am, Wadir 1 Direktorat Program Pascasarjana
UMM saat itu. Beliau bercerita tentang salah seorang teman kuliah beliau, yang
sangat pintar. Jenius sekali. Sayangnya, dia egois. Informasi dari dosen yang
disampaikan melalui mahasiswa jenius ini tidak pernah sampai ke telinga teman-temannya
yang lain. Dia konsumsi semua informasi penting sendiri. Dia tidak mau berbagi.
Akhirnya, Pak In’am dan teman-temannya kesulitan mengikuti kuliah di awal
semester.
Sikap itu
membuat teman-teman sekelasnya kehilangan simpati dan empati.
Pada semester
berikutnya, teman beliau ini selalu ketinggalan informasi karena dia dikucilkan
dari pergaulan. Setiap ada informasi tentang urusan akademik, teman yang cerdas
ini tidak punya akses. Akhirnya, dia mengalami kesulitan yang bertumpuk-tumpuk,
kesulitan akademik dan kesulitan sosial. Pada semester tiga, si mahasiswa
jenius ini drop-out.
Di akhir
sambutan, Pak In’am berpesan agar kami menjaga persahabatan. Agar tidak egois.
Agar saling membantu selama proses studi di UMM ini.
Saran itu
menjadi bekal kami menempuh masa-masa terberat kuliah. Tak terhitung kami
bergantian tumbang karena sakit. Tipes. Demam. Tak terhitung kami harus menyeka
air mata. Tak terhitung kami harus saling menjaga. Hubungan baik dan dukungan
sahabat begitu berarti.
Pada September
2021 ini, akhirnya sebagian besar kami lulus. Yang terpenting dalam perjalanan
kuliah itu, silaturahmi kami terjaga. Saat ada teman yang kesulitan, kami turun
tangan membantu. Dan itu tak lepas dari cerita dan pesan itu.
Dari pesan itu,
ada beberapa hikmah yang kami ambil. Pertama, persahabatan, nilai-nilai karakter,
dan akhlak itu lebih penting daripada ilmu. Kaidahnya: adab sebelum ilmu.
Kedua, utamakan hubungan baik karena hubungan yang baik akan memudahkan
penyelesaian segala urusan.
Setelah lulus,
kami jadi sadar betul tentang pentingnya menjaga hubungan baik. Tentang akhlak
dan tentang adab. Tentang takzim pada guru.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
































Subscribe to:
Post Comments (Atom)