Kabari Dulu

Kabari Dulu

Jika ingin mengiris ulu hatiku, kirimi whatsapp
biar aku bisa bersiap-siap.
Bila tak sempat, posting-lah status galau.
Biar aku tahu. Biar aku maklum.

Saat  pisaumu mengirisku dulu
aku hanya terdiam
Bukan karena tak mampu melawan
Hanya tak mampu menalar

Lalu kau membela, bukan aku yang menyakitimu
Ekspektasi dan harapan besarmu itu
Juga asumsi-asumsimu
Dan terkaanmu tentangku.

Ya, kutahu. Mohon tetap kabari dulu
Sebab, rasaku padamu dibangun
atas dasar harapan baik dan sangkaan pelik
bukan atas praduga bahwa bisa jadi dirimu tiba-tiba mencekik


(2024)

Joko Pinurbo - di Antara Kata dan Kenangan

Dalam suatu perjalanan dari kota Batu, Malang, istri saya bercerita bahwa saya dulu sarkas. Mulut saya tajam. Pilihan kata saya menghujam.
 
Ada saja kata atau kalimat yang bisa mengiris hati orang lain. Piawai betul saya melakukan itu, katanya.
 
"Untung dulu sampeyan lumayan pintar" ucapnya sambil tersenyum.
 
Geli sekali mendengar cerita itu. Entah apa dulu penyebab saya begitu sarkas. Suka berbicara tajam itu. Rasanya, faktor latihan yang tak sadar.
 
Hasilnya, saya selalu mampu menemukan kata-kata yang bisa menusuk hati orang. Kian lama, kian tajam.
 
Lalu, di suatu momen yang tak pernah saya sangka, saya menggunakan kekurangan (keahlian kah?) terbaik itu tanpa sengaja.
 
Dalam suatu percakapan santai, saya membantai seorang rekan kerja. Ia terdiam untuk lantas tak lagi berbicara selama berbulan-bulan. Sesal saya dibuatnya. Malam-malam saya terusik selama beberapa hari.
 
Momen itu menjadi titik balik. Saya pun mencoba mengubah pendekatan. Perlahan saya mengurangi berbicara. Memperbanyak berpikir tentang dampak sebelum berbicara. Tak mudah. Sekarang pun, keahlian itu kadang tiba-tiba muncul dan saya terpeleset.
 
Entah kebetulan apa, saya pun hari ini membaca obituari indah gubahan Akmal Nasery Basral di Kompas tentang Almarhum Joko Pinurbo. Ia menulis:
 
“Dulu saya bersikap keras terhadap para penulis pemula. Karya mereka saya kritik tajam dengan maksud agar mereka menghasilkan karya yang lebih baik lagi sesudahnya. Tetapi yang terjadi, sebagian besar dari yang saya kritik itu malah tidak pernah menulis lagi,” katanya sembari kembali mengisap rokok dalam-dalam. “Saya lalu mengubah pendekatan dalam melakukan kritik agar para penulis muda tetap berkarya. Peningkatan kualitas bisa dilakukan bertahap tanpa harus memadamkan energi kreatif mereka.”
 


Saya jadi paham. Betapa kata dan kalimat bisa menjadi kekuatan yang bisa menghidupkan asa atau malah memadamkannya. Ia bisa menjadi nyala sekaligus angin yang mematikannya.

Dan kata-kata itu semua akan menjadi kenangan bagi orang lain:

Kenangan
Joko Pinurbo
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang cukurmu. Ia memangkas
rambutmu dengan sangat hati-hati
agar gunting cukurnya tidak melukai keluguanmu.
 
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang baksomu. Ia membuat
baksomu dengan sepenuh hati seakan-akan kau
mau menikmati jamuan terakhirmu.
 
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang fotomu. Ia memotretmu
dengan sangat cermat dan teliti agar mendapatkan
gambar terbaik tentang bukan-dirimu.
 
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.