Dalam suatu perjalanan dari kota Batu, Malang,
istri saya bercerita bahwa saya dulu sarkas. Mulut saya tajam. Pilihan kata
saya menghujam.
Ada saja kata atau kalimat yang bisa mengiris
hati orang lain. Piawai betul saya melakukan itu, katanya.
"Untung dulu sampeyan lumayan
pintar" ucapnya sambil tersenyum.
Geli sekali mendengar cerita itu. Entah apa
dulu penyebab saya begitu sarkas. Suka berbicara tajam itu. Rasanya, faktor latihan yang tak sadar.
Hasilnya, saya selalu mampu
menemukan kata-kata yang bisa menusuk hati orang. Kian lama, kian tajam.
Lalu, di suatu momen yang tak pernah saya
sangka, saya menggunakan kekurangan (keahlian kah?) terbaik itu tanpa sengaja.
Dalam suatu percakapan santai, saya membantai
seorang rekan kerja. Ia terdiam untuk lantas tak lagi berbicara selama
berbulan-bulan. Sesal
saya dibuatnya. Malam-malam saya terusik selama beberapa hari.
Momen itu menjadi titik balik. Saya pun mencoba mengubah pendekatan. Perlahan saya mengurangi berbicara. Memperbanyak berpikir
tentang dampak sebelum berbicara. Tak mudah. Sekarang pun, keahlian itu kadang
tiba-tiba muncul dan saya terpeleset.
Entah
kebetulan apa, saya pun hari ini membaca obituari indah gubahan Akmal
Nasery Basral di Kompas
tentang Almarhum Joko Pinurbo. Ia menulis:
“Dulu saya bersikap keras terhadap para
penulis pemula. Karya mereka saya kritik tajam dengan maksud agar mereka
menghasilkan karya yang lebih baik lagi sesudahnya. Tetapi yang terjadi,
sebagian besar dari yang saya kritik itu malah tidak pernah menulis lagi,”
katanya sembari kembali mengisap rokok dalam-dalam. “Saya lalu mengubah
pendekatan dalam melakukan kritik agar para penulis muda tetap berkarya.
Peningkatan kualitas bisa dilakukan bertahap tanpa harus memadamkan energi
kreatif mereka.”
Saya jadi
paham. Betapa kata dan kalimat bisa menjadi kekuatan yang bisa menghidupkan asa atau
malah memadamkannya. Ia bisa menjadi nyala sekaligus angin yang mematikannya.
Dan kata-kata itu
semua akan menjadi kenangan bagi orang lain:
Kenangan
Joko Pinurbo
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang cukurmu. Ia memangkas
rambutmu dengan sangat hati-hati
agar gunting cukurnya tidak melukai keluguanmu.
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang baksomu. Ia membuat
baksomu dengan sepenuh hati seakan-akan kau
mau menikmati jamuan terakhirmu.
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang fotomu. Ia memotretmu
dengan sangat cermat dan teliti agar mendapatkan
gambar terbaik tentang bukan-dirimu.
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.