Guruku adalah Anakku (Bagian II)

Guruku adalah Anakku (Bagian II)

Aduh! Gawat! Anakku kini sudah berumur hampir sembilan bulan. Anehnya dia belum bisa merangkak dan bahkan belum bisa duduk sendiri. Dalam beberapa kesempatan, dia tidak pernah mau belajar. Dan inginnya, ia langsung berdiri dan berlari seperti halnya orang yang sudah lebih besar darinya.



Aku hanya bisa terdiam saat ditanya anakku sudah bisa apa. Terus terang, aku agak malu karena anak seumurnya sudah bisa merangkak dan bahkan ada yang sudah belajar berdiri.



Dan anakku….


Dia hanya bisa bermimpi berdiri.



“Aduh gimana ini mas?”


Emboh


“Anak lain sudah bisa jalan”


“Ya, sudah. Yang penting anak kita sehat" sergahku segera untuk menyudahi siaran berita istriku tentang bagaimana nasib anakku.


****


Pagi ini, anakku belajar mengangkat tubuhnya seperti halnya orang yang sedang push-up. Dia terlihat berusaha sangat keras. Sebentar-sebentar, ia menjatuhkan tubuhnya. Sepertinya dia kelelahan. Sebentar kemudian, dia bangun kembali.



Sesaat kemudian dia melihatku dan tersenyum. Kemudian, salah satu jurus andalannya keluar. Wajah melas. Tatapannya meluluhkan hatiku, Dan ku gendong dia. Ku bawa ke sana, ke mari. Aku sangat menyayanginya. Sebagai anakku. Sebagai buah cintaku. Sebagai amanat dari Tuhanku.



Dan sesaat itu aku sadar bahwa aku tidak benar-benar mencintai anakku dengan setulus-tulusnya. Tuntutan dan perbandingan membuatku buta akan kemampuan aslinya. Keinginan memiliki anak yang tumbuh sempurna tanpa kekurangan membuatku tak bisa berpikir jernih. Selama aku ingin sempurna dan menuntut, selama itu pula aku tidak akan pernah menyayangi seseorang dengan seutuhnya dan seikhlasnya.



Aku terdiam kemudian. Teringat sebuah kalimat bijak “kesempurnaan seorang manusia adalah usaha terbaiknya.” Anakku sudah menunjukkan usaha terbaiknya, tapi aku masih menuntutnya. Allah pun tidak memintanya tumbuh begitu, padahal Allah yang menciptakannya. Lalu, mengapa aku melebihi Allah?



Hah, anakku, engkau benar-benar banyak mengajariku. Entah apa lagi yang akan kau ajarkan tentang cinta dan kehidupan, aku akan selalu siap belajar. Belajar hidup dan mencintai dengan tulus dan ikhlas tanpa menuntut dan memperbandingkan.

Guruku adalah Anakku

Guruku adalah Anakku

Banyak yang bilang, kita harus mengajari anak kita tentang cara hidup. Dan saya mengalami sebaliknya: anak saya itu banyak mengajari saya tentang cara hidup.

Pertama, hanya perlu tersenyum untuk membahagiakan orang lain. Setiap ada yang menyapa, anak saya langsung memberikan senyum terbaiknya. Hampir, di setiap ada acara kumpul-kumpul, dia menjadi pusat perhatian dan pusat kebahagiaan orang-orang. Di sekitar rumah saya sekarang, anak saya lebih populer dari ayahnya. Banyak yang tahu saya dari anak saya itu. Saya diajari bahwa tidak butuh banyak uang untuk membahagiakan orang lain, hanya perlu tersenyum tulus. Dan orang lain pun akan bahagia.

Kedua, kita hanya perlu hidup hari ini. Anak saya tidak pernah mengingat masa lalu dan mencemaskan masa depan. Dia tidak pernah takut saya akan meninggalkannya menjadi yatim piatu seperti ayah kandung saya meninggalkan saya. Kebanyakan kita mengingat hari kemarin dan mencemaskan esok hari sehingga kita tidak bisa menikmati hari ini. Kita dirantai masa lalu, dan diseret masa depan. Bahagia akhirnya sirna bersama fajar. Untuk bahagia, kata senyumnya, kita perlu melupakan kemarin dan berhenti mencemaskan masa depan. Kita hanya perlu hidup terbaik hari ini. Hari ini saja kita hidup dengan cara terbaik.

Ketiga, berhentilah melihat seseorang dari penampilannya. Seperti yang saya ceritakan tentang senyumnya, dia tidak pernah memilih orang yang dia beri senyum. Tetangga saya, namanya cak Teong, memiliki cacat permanen di sekitar kaki. Banyak yang takut dengan cak Teong dan berprasangka buruk. Setiap pagi, cak Teong selalu diberi senyum menarik oleh anak saya itu. Pada suatu saat, dua hari dia tidak bertemu dengan anak saya, dan dia ke rumah beberapa kali untuk mengetahui kondisi anak saya.

Keempat, jangan pernah menyalahkan orang lain dan cepatlah maafkan orang lain. Karena kelalaian saya, anak saya yang sudah mulai lincah dan selalu bereksperimen dengan sekitar, terguling dan terjatuh. Dia menangis. Ibunya panik dan mulai menyalahkan saya. Sejenak kemudian, anak tersenyum manis kembali. Dia tidak menyalahkan saya atas kelalaian saya dan memaafkan saya saat itu juga. Dia hanya tersenyum. Dan senyumnya mengatakan “Ayah, jaga aku dengan sepenuh hatimu. Dan aku akan senyum dengan sepenuh hatiku.” Dan di lubuk sanubari, saya akan menjaganya sebagai amanah Tuhan dengan sebaik mungkin, bukan sebagai milik saya. Ia mungkin tahu, saya sudah menjaganya dengan maksimal.

Kelima, jangan pernah menuntut seseorang. Sebagai kepala keluarga, saya harus bekerja. Pada masa puncak, kadang saya tidak bisa menemani anak saya itu saking sibuknya bekerja. Dan istri saya marah-marah. Sebagai seorang bijak, anak saya itu hanya tersenyum dengan senyuman terbaiknya. Dan mungkin Anda sudah tahu apa yang saya lakukan, saya matikan komputer untuk bermain-main dengannya. Itulah masa indah dengan penuh canda tawa. Dan dia mengajari saya, tidak perlulah kita menuntut seseorang, kita hanya perlu menariknya dengan senyuman.

Keenam, tidak ada yang suka dengan pencemberut dan pemarah. Kita pun tidak suka dengan pencemberut dan pemarah. Sayangnya kita sering cemberut dan marah. Teman saya punya seorang anak yang kemampuannya melebihi anak seusianya. Pintar memang. Kelemahannya cuma satu, dia jarang senyum. Dan tidak ada orang yang suka dengan anak itu.

Itulah pelajaran yang diberikan anak saya. Sekarang dia beranjak dewasa, usianya mencapai 9 bulan. Dia memang tidak sempurna. Dia baru bisa duduk dan merangkak, ketinggalan jauh dengan teman-teman seusianya. Tapi saya bangga, di usia sekecil itu dia sudah menjadi bijak dengan senyumnya. Meski belum bisa berkata barang sepatah kata, dia sudah bijak sekali. Atau mungkin, tidak perlu banyak kata untuk menjadi bijak. Mungkin saja!
Maafkan Aku, Teman Baikku

Maafkan Aku, Teman Baikku

Bayangkan situasi ini! Seorang teman saya melakukan kesalahan. Dia tidak dapat melakukan permintaan saya tepat waktu. Titik. Padahal, tepat waktu dalam kasus itu sangat penting. Waktu sangat penting.

Apa respons kita selanjutnya? Silakan pilih.

Respons pertama, kita langsung memarahi teman kita itu, tanpa perlu tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia sudah mencederai janji dan tanggung jawabnya. TITIK. Saat kita memarahinya, dia hanya diam saja. Dan menerima semua yang dikatakan dengan sesunggukan dan tangisan. Dan seperti halnya orang marah lainnya, kita masih saja tetap marah.

Respons kedua, kita tidak mengajaknya bicara. Kita anggap dia sudah mencederai janji, dan itu alasan yang cukup untuk mendiamkan seseorang. Kita marah dan mendiamkan orang itu sebagai sinyal akan kemarahan kita,

Respons ketiga, kita bertanya apa yang terjadi. Kita dengarkan saja semuanya dengan dua telinga terbuka. Artinya, kita mendengarkan tanpa memberi prasangka apa pun. Lalu, kita putuskan apa kita perlu marah atau tidak.

Apa respons Anda kira-kira? Anggaplah respons otomatis saya, dan inilah respons yang paling mudah, yaitu langsung memarahi. Selang beberapa saat, ada kabar bahwa nenek teman saya itu sedang sakit dan nggak bisa bangun dari tempat tidur. Untuk memenuhi janjinya itu, dia ngebut dari rumah neneknya ke rumahnya sendiri. Tapi peristiwa tidak beruntung terjadi lagi. Komputernya hang dan error. Dia gupuh dan terdesak. Ia menelepon teman-temanya untuk minta bantuan. Tapi tidak ada orang. Ia kemudian lari ke warung internet untuk berusaha memenuhi janjinya.

Di tengah perjalan yang penuh dengan depresi itu, ia mendapat telepon yang bernada “marah” dari orang lain. Dan rentetan kejadian itu membuatnya sangat terpukul. Menangis dia kemudian.

Saya gimana? Saya langsung terpukul mendengar kabar itu. Saya marah-marah pada orang yang sudah berusaha keras memenuhi janji. Saya hanya bisa berandai-andai kalau saya menggunakan dua telinga saya lebih dulu, sebelum menggunakan mulut. Mungkin itu yang ingin dikatakan Allah saat merancang dua telinga dan satu mulut, agar kita mau mendengarkan dulu. Dengarkan dulu.

Saya pernah merasakan kejadian pedih pada satu saat. Saya menyanggupi melakukan sesuatu. Pada beberapa saat sebelumnya, saya harus menemani istri saya kontrol kandungannya. Pada saat kontrol, terjadilah sesuatu yang tidak pernah saya harapkan. Dokter berkata dengan nada yang sangat serius bahwa istri saya harus dioperasi sesar agar bisa melahirkan anak yang dikandungnya. Anak saya ternyata tidak mau turun ke tempat dia harusnya bisa dilahirkan.

Saya jauh dari orang tua. Hidup di perantauan. Tak tahu harus bagaimana, kami sangat terpukul. Terpukul sekali. Semua jalan yang kami lalui tampak suram. Dan di sepanjang jalan, kami berdua menangis. Menangis sesunggukan. Di jalan itu, saya teringat bagaimana jika sesuatu buruk menimpa istri saya itu, padahal saya tidak pernah membahagiakannya. Belum saat itu, saya juga mengingat tabungan kami yang tidak hanya menipis, tapi tidak ada sama sekali. Untuk rumah kontrakan saja, kami berhutang.

Jika ada yang bisa saya andalkan, itu hanya Allah. Karena saya tahu, Allah selalu memberi jalan magis nan tak terduga. Meski begitu, saya tetap terpukul. Tetap menangis sambil memeluk erat tubuh istri saya yang terasa dingin karena ketakutan. Malam itu, saya benar-benar tidak bisa memincingkan mata barang sedetik pun.

Saya tidak bisa melakukan apa-apa malam itu. Saya harus menemani istri saya. Itu yang paling penting. Menenangkannya sepanjang malam. Dan memeluk erat tubuhnya yang berat karena hamil.

Saya teringat janji saya. Saya harus menyelesaikannya keesokan paginya. Dan saya tidak bisa. Hampir tidak bisa. Saat saya memberi tahu ketidakbisaan saya dengan SMS, teman saya itu langsung membalas dengan nada ketus. Intinya, kenapa kok menyanggupi sesuatu yang saya batalkan. Hancur hati saya. Malam itu, saya ingin pendengar dan peneguh hati agar hati saya kuat. Dan tanpa memikirkan bagaimana keadaan saya, dia langsung mengirimkan SMS dengan nada ketus. Bagi saya, itu tidak berperasaan.

Keesokan harinya, orangnya masih marah-marah. Dan saat itu saya tersenyum dan menangis di dalam hati. Andai dia mau mendengar apa yang terjadi, dan mendengarnya dengan penuh perasaan dan empati. Andai dia menggunakan dua telinga dan hatinya. Tapi saya tahu, kita tidak bisa berharap kepada manusia. Kita hanya perlu berharap pada Allah yang mencipta berjuta laksa kasih.

Saat itu, saya diajari satu hal. Bahwa saat kita marah, gunakan kedua telinga dan hati. Mungkin orang yang kita marahi sudah berusaha dengan sangat maksimal, meski hasilnya tidak memuaskan kita. Mungkin ada sesuatu alasan yang sangat kuat yang menghalanginya tidak bisa melakukan sesuatu. Allah, yang maha sempurna, memahami ketidaksempurnaan manusia itu. Oleh karenanya, kita diajari bahwa amal tergantung pada niatnya, tidak tergantung pada hasilnya. Allah melihat proses dan niat awal dan tak henti-hentinya berprasangka baik kepada seluruh makhluknya. Lalu mengapa kita sebagai manusia melebihi Allah? Allah menghargai makhluknya yang sudah berusaha keras dan ikhlas dan tidak melihat hasil dari sebuah perbuatan. Bukankah hasil hanya Allah yang menentukan?

Saya lupa kejadian ini, dan saya menyesal telah memarahinya. Dia mungkin sedang sedih sekali saat ini. Dan saya menambah kesedihannya. Saya camkan lagi dalam hati, saat kita marah, ada dua hal yang akan terjadi: Kita menambah kesedihan seseorang jika orang itu bersedih atau kita merusak kebahagiaan saat orang itu sedang sangat bahagia. Mungkin saat kita marah pada seseorang, pada saat itu juga orang yang kita marahi mendapatkan apa yang ia impikan selama bertahun-tahun, dan dia sedih karenanya. Jika itu terjadi, apa kita masih manusia?

Banyak di dunia ini yang tidak bisa kita kendalikan. Dan manusia terlalu lemah untuk mengendalikan semuanya. Namun, kita bisa mengendalikan kemarahan. Menggunakan dua telinga dan hati. Mendengar dua kali, sebelum berbicara sekali. Apalagi kalau yang kita bicarakan bernada kemarahan.

Ya Allah, maafkan segala khilaf hamba. Berikanlah hamba kemampuan untuk melihat yang terbaik dari manusia, bukan yang terburuk. Melihat usaha, bukan hasil. Berikanlah hamba kemampuan untuk ikhlas menjalani hidup dan berbagi kasih sayang-Mu. Berikanlah hamba kekuatan untuk mengendalikan amarah. Amin-Amin-Amin.

Bagi temanku, maafkanlah aku, menambah kesedihan di atas kesedihanmu. Semoga engkau akan menjadi bunga mawar nan harum merebak di surga Firdaus, dengan segenap kesabaran dan keikhlasanmu. Allah pun tahu, kesalahan itu bukan salahmu; ada beberapa hal di dunia yang tidak bisa dikendalikan. Dan Allah sudah mencatat itu sebagai amal baikmu. Terima kasih sudah menjadi teman baik, dan aku tahu engkau akan selalu begitu.

The Confession of Narsisus....

The Confession of Narsisus....

Dunia kini sedang dihadapkan pada situasi tanpa kepastian. Kita semua cemas tak terperi. Wajah buruk ekonomi kapitalis yang digadang-gadang akan menjadi invisible hand yang membawa kemakmuran ternyata membawa kita pada lubang kehancuran. Dan kita pun lesu dibuatnya. Kebanyakan kita (termasuk saya) bukan orang kaya yang kehilangan nilai saham yang kita miliki, tapi tetap saja kita ketar-ketir terbayang bagaimana dampak buruk krismon 1997-1998. Situasi seperti sekarang juga rawan.

Untung, fundamental ekonomi kita kuat sehingga kita bisa menahan meski agak sulit laju dampak krisis ekonomi global yang diprediksi akan menyebabkan dunia mengalami resesi.

Para pemimpin dunia pun berkumpul dalam forum G-20 untuk mencari penyebab utama krisis terparah semenjak resesi tahun 1930-an. Tapi kita terlalu banyak berharap, karena jangankan jalan keluar, harga saham Nasdaq, S&P 500, dan Dow Jones ambruk bersamaan dengan ditutupnya forum G20.

***
Bagaimana pendapat Anda tentang tulisan saya di atas? Jelek kan? Kalo Anda senyum berarti benar?

Tujuan saya menulis di atas adalah untuk menunjukkan betapa saya ingin dipuji atas pengetahuan dangkal ekonomi saya. Dulu, saat SMA saya memang jurusan IPS yang sangat concerned terhadap pemikiran ekonomi, mulai dari Adam Smith, Thomas Robert Maltus, Ricardo, Keynes, dan orang-orang cerdas lainnya. Tapi jangan bayangkan saya seperti Anda yang lulusan ekonomi sekarang, dulu meski saya hafal tentang teori ekonomi klasik, saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan IHSG. Saya hanya tahu IHSG dari siaran TV. Dan saya bingung apa maksudnya. Saya sudah nanya ke guru ekonomi saya, tapi tetap saja saya bingung. Intinya, pengetahuan ekonomi saya dulu berdasarkan buku ekonomi tahun 1985 padahal saya belajar di SMA pada tahun 2001.

Itulah wajah pembelajaran menulis saya. Saya ingin dipandang sebagai orang keren yang mengetahui masalah ekonomi dan kekinian yang menimpa dunia. Padahal saya tidak tahu apa-apa. Saya kadang menulis dengan istilah keren yang tidak diketahui oleh teman saya hanya untuk mengesankan betapa luas pengetahuan saya.

Sesekali saya berbicara tentang film. Saya bilang tidak ada film yang seratus persen tanpa cacat. Saya bicara tentang kekurangan film matriks yang tidak jelas jluntrungannya. Saya bicara tentang Da Vinci Code yang tidak semenegangkan di bukunya. Tentang ayat-ayat cinta yang jauh dari bayangan saya saat membacanya. Dan anehnya, sampai sekarang pun saya belum sempat nonton Laskar Pelangi? Entah apa kata dunia melihat nasib saya :((. Dan itulah bahan ejekan yang ditujukan beberapa teman.

Itulah saya. Dan mungkin juga Anda. Kita kadang melakukan sesuatu hanya agar ingin dipuji. Menulis ‘hikmah’ agar dianggap bijaksana. Menulis semi biografi agar dianggap hebat. Menulis kisah cinta dengan istri agar dianggap sayang keluarga. Menulis di koran agar dianggap penulis dan pemikir handal. Jangan tersinggung kalau Anda tidak merasa begitu. Karena kalau Anda tersinggung, maka.....

Kadang narsisme berselubung kuat di hati kita. Indikasinya: kita tersenyum simpul saat ada yang memuji. Dan sedikit marah saat ada yang mengkritik.

Saat itu mungkin Tuhan juga tersenyum, melihat kita yang kecil ini memakai baju yang kebesaran hanya agar dianggap “besar." Padahal, baju itu bernama kesombongan. Dan sombong berarti mencuri baju Tuhan, karena hanya Tuhan yang boleh sombong. Dan orang yang mencuri akan...

Alah...Itu sekedar pengakuan saya. Pengakuan kecil saya hari ini.
Sayang, berapa besarkah cintaku untukmu?

Sayang, berapa besarkah cintaku untukmu?

Di bawah ini adalah kutipan berita yang aku salin langsung dari Kompas 10/8/2008.
BEIJING, SABTU - Seorang perempuan sadar dari koma selama 30 tahun berkat cinta yang tak tergoyahkan dan perawatan telaten suaminya di E’zhou, provinsi Hubei.
Para dokter percaya cinta Chen Dulin, yang baru-baru ini terpilih sebagai salah seorang suami teladan di provinsi tersebut, telah menolong Zhao Guihua sadar dari koma panjangnya.
Paru-paru, jantung dan tekanan darah Zhao stabil setelah ia menjalani pemeriksaan menyeluruh.
Zhao jatuh koma setelah satu kecelakaan tiga dasawarsa lalu, tapi Chen tak pernah putus asa buat istrinya dan merawatnya di rumah setelah sang istri menjalani dua operasi.
Sejak itu, Chen telah telah menggunakan alat penyemprot dan pipa plastik untuk memasukkan susu, kue dari telur dan makanan cair lain ke dalam perut Zhao.
Kini, Chen, yang sudah berusia 77 tahun, tetap mengutarakan cinta kepada istrinya setiap hari.
Di sisi dunia lain, Dina, nama akrab saudaraku yang tinggal di Jombang, juga mencintai suaminya dengan cinta yang sama. Berikut penggalan cerita lengkapnya:

Seakan ditakdirkan bersama, Dina dan Jun sudah merasakan ada jalinan benang cinta yang menyatukan hati mereka berdua. Tepatnya SMA kelas dua, perasaan cinta bersemai. Keduanya sebenarnya memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Namun, perbedaan itu pula yang membuat keduanya mampu saling melengkapi.

Dina ceria, populer dan suka bicara, sedang Jun pendiam, pemikir dan lebih suka tidak sendirian. Sejak saat itu, hubungan itu tetap terjaga. Bahkan saat keduanya harus terpisah, karena Dina harus kuliah di Solo sedang Jun di ITS Surabaya, keduanya tetap menjalin hubungan. Keduanya tetap setia.

Dalam keterpisahan itu, keduanya bisa saja memiliki cinta idaman lain. Tapi keduanya memutuskan untuk tetap memelihara benang yang sudah mereka rajut dengan susah payah. Keduanya mungkin pernah berpikiran tentang orang lain, seperti halnya saat kita pacaran.

Empat tahun berlalu, Jun dan Dina lulus dari kuliah. Dina mengambil spesialisasi sedang Jun menapaki karier di maskapai penerbangan nusantara, Garuda. Dua tahun setelah keduanya lulus dari kuliah, mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, pernikahan.

Awalnya, mereka agak ragu. Ragu seperti halnya saat sedang berencana ke luar kota. Setelah memantapkan langkah, keduanya pun resmi menikah Juni 2008 lalu. Diselenggarakan dengan meriah dan ramai, cakrawala indah membentang di luar sana, menunggu mereka. Maklum, dengan karier di maskapai penerbangan dan Dina sebagai seorang apoteker, tampaknya tidak ada yang bisa merebut kebahagiaan dari tangan mereka.

Setelah merenggut manis berdua dalam temaram senja yang tiada terkatakan indahnya, tibalah saatnya mereka berdua harus kembali ke dunia nyata. Di situlah pertempuran dan pembuktian cinta akan diuji.

Juli mereka kembali ke Jakarta setelah masa cuti berakhir. Dengan sejuta harap dan do’a keduanya berangkat. Melangkah dengan langkah gontai mesra.

Tiba-tiba, pada satu hari di Agustus lalu, Dina mendapatkan telepon. Jun, suaminya, kekasihnya, bahkan nyawanya, tergeletak pingsan tak bisa sadar. Di Bekasi, setelah rapat, Jun tiba-tiba merasakan pusing luar biasa yang tak bisa dia tahan sakitnya.

Dina pun bergegas ke sana. Lupa bekal dan lupa apa-apa. Setelah masuk ke ICU di RS Setempat, Jun dirujuk ke RS Internasional di kawasan Salemba. Dua hari pertama merupakan hari yang berat bagi Dina. Pertama, dia harus membayar tagihan RS untuk dua hari pertama karena dia belum sempat klaim asuransi kecelakaan kerja ke perusahaan tempat Jun bekerja. Untuk dua hari pertama tersebut, dia harus membayar kurang lebih dua puluh empat juta untuk biaya kamar saja karena Jun dirawat di ICCU.

Kedua, dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta. Dia harus sendirian mengurus segalanya. Tapi dia terus bersabar dan bersabar menunggu kabar akan kondisi suaminya. Setelah melakukan beberapa kali pemeriksaan, hasilnya Jun, suaminya, mengidap penyakit di otak kecilnya. Menurut referensi kedokteran, ada lima penyakit serupa di Dunia ini. Dan kelimanya tak kuat menahan, meninggal. Bayangan kematian terus menghantui. Dan tidak ada hantu yang lebih menakutkan ketimbang kematian, bukan?

Dan baru saja mereka merasakan indahnya hidup berdua. Baru saja. Dua bulan lalu. Bahkan foto pernikahan mereka belum selesai ditataletak.

Sesunggukan. Harapan tulus. Do’a semua orang. Kunjungan keluarga. Dan bahkan senyum perawat menjadi obat tersendiri bagi Dina. Dia terus bertahan untuk suami yang sudah lama dinantikannya.

Suami itu sudah diharapkannya semenjak dulu, seperti harapan putri tidur akan pangeran berkuda yang membawa pedang mengkilat untuk menyelamatkan nyawanya. Dan kini, pangeran itu sakit luar biasa. Bahkan tidak bisa membuka mata. Baru saja nostalgia itu berdendang, dia harus menerima pukulan telak berikutnya. Semua dokter dan pihak rumah sakit seakan putus asa.

“Harapannya sudah tipis”

Kata-kata itu seakan muncul dari wajah semua petugas RS karena semakin hari kondisi Jun juga tak beranjak naik. “Bisa jadi, Jun mengalami pendarahan hebat di kepalanya” kata seorang dokter.

Dan bisa dibayangkan, otak kecil adalah pusat proses data dan informasi. Dan CPU manusia itu tiba-tiba terkena guncangan hebat.

Kedua, sesaat setelah pingsan, konon Jun muntah, tapi muntahnya tidak keluar. Selain itu, konon saat dilakukan pemasangan selang ke jantung, dan parahnya terjadi infeksi. Saluran nafasnya juga mulai terganggu.
Semua orang hanya bisa pasrah. Tapi tidak dengan Dina. Tidak dengan orangtuanya.

Dina terpaku dalam pasrah dan putus asa. Dia juga tidak tahu harus berbuat apa.

***

Tapi kini, Jun bisa sembuh setelah tak sadar selama dua bulan. Beberapa minggu lalu, aku dan keluarga menyambanginya. Dan aku tak kuat menahan perasaan haru. Kondisinya sudah berangsur pulih meski tidak seratus persen. Dia kini berusaha belajar bicara. Sepertinya, dia ingin mengatakan rasa cinta kepada Dina.

***

Kami semua bahagia.

***

Di belahan dunia lain, salah satu kolegaku ingin beristri lagi, karena dia jatuh cinta dengan orang lain.

***

Di belahan lainnya, sahabatku yang sudah lama pacaran, baru bulan lalu melamar pacarnya langsung dinikahkan. Sekarang, mereka merenda harapan. Mudah-mudahan mereka bisa bahagia.

***

Di belahan lainnya, sahabatku lainnya sedang berjuang untuk meminta do’a restu dari orang tua kekasihnya yang tidak menyetujui hubungan mereka. Kita do’akan semoga dia cepat direstui. Amin..........................xxxxx.

***

Di sini, aku sendiri merenung. Seberapa besarkah aku mencintai istriku, orang yang sudah rela menderita berbagi derita. Mudah-mudahan aku mencintainya seperti cinta Muhammad kepada Khadijah, meski itu sulit.

Dan aku bertanya, pada siapa pun yang membaca tulisan ini, seberapa besar rasa cinta Anda pada pasangan Anda?

Kalau kecil, mari kita sama berkaca. Jangan-jangan Anda seperti saya. Meski sudah berpasangan, tetap melirik kanan kiri.....Hii hii hii
Maju dengan Kritik?

Maju dengan Kritik?

“Kamu itu sering salah di sini, dalam melakukan ini dan itu. Kamu itu harus lebih banyak belajar” bentak salah satu pejabat teras di salah satu kantor yang pernah saya kunjungi di depan karyawan lain.

“Kamu kok sangat ceroboh sekali sih. Sebenarnya, kamu mampu melakukan yang lebih baik, tapi kenapa selalu kecerobohan yang kamu lakukan” desak pejabat lainnya di depan karyawan lain.

Saya pun terdiam. Keheranan melingkupi saya karena orang yang memarahi karyawan itu dikenal sebagai orang yang sangat bijaksana, sudah melanglang buana, beribadah dengan sangat khusu’, sudah menunaikan rukun islam kelima. Pokoknya, garam dan gula hidup sudah pernah dia kecap.

Saya pernah merasakan hal yang sama. Saya pernah melakukan satu kesalahan yang terus diungkit oleh supervisor saya. Parahnya, saya dibentak di depan karyawan lain dan di forum umum.

Saya sakit hati karena kejadian tersebut sudah dilakukan beberapa kali. Batas kesabaran saya kini mulai menepi. Amarahnya menggelegak dan saya tidak bisa terus diam diperlakukan seperti itu. Bagaimana pun, manusia adalah manusia. Ada saatnya dia benar-benar tidak ingin terus diinjak meski orang yang memarahi mungkin ingin melihat saya maju. Tapi saya tidak tahan diperlakukan seperti itu.

Keluarlah saya dari lingkungan orang itu. Saya berhenti bekerja. Dan saya merasa tempat kerja memenjarakan saya, karena saya tidak lebih dianggap sebagai tahanan yang harus patuh pada sipir.

Kejadian ini juga pernah saya lihat di sebuah pusat perbelanjaan. Gara-gara salah satu karyawan salah melakukan pembukuan, karyawan tersebut dimarahi dan dibentak habis-habisan di depan semua pembeli supermarket yang kebetulan ketika itu sedang ramai.

Saya dapat merasakan perasaan karyawan tersebut. Kesalahan tak semestinya dibicarakan kepada orang lain, karena tidak akan menimbulkan perbaikan dan peningkatan tapi hanya balas dendam yang berkelanjutan.

Kemarahan di depan orang lain ini juga sering terjadi di sekolah-sekolah dan asrama-asrama. Si guru yang merasa memiliki kekuasaan penuh dan mutlak bisa dengan mudah menghukum siswanya yang melakukan pelanggaran. Siswa bersangkutan akhirnya sering ditegur di depan kelas dengan harapan memberi efek jera.

Akhirnya, bukan jera yang dirasakan tapi malah dendam kepada si guru. Murid yang lainnya juga tidak jera melakukan kesalahan, tapi menunggu saat yang tepat melakukan pembalasan. Kelak saat murid-murid ini menjadi guru, mereka akan membalas dengan berlaku yang sama kepada murid-muridnya.

Begitulah perbuatan kita memarahi dan menegur orang di depan orang lain. Tidak menyelesaikan masalah, hanya membuat dendam. Anehnya, saat kita berkuasa, kita sering melakukan hal yang sama. Dan yang lebih aneh lagi, kita menganggap tindakan itu dan kita sendiri benar.

Mungkin saat marah, kita perlu diam sejenak dan berpikir jika kita melakukan kesalahan apa yang kita ingin orang lain lakukan kepada kita. Marah di depan umum atau mengajak serta orang tersebut di tempat sepi dan memberinya kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut tersebut?

Aduh........jika ada yang saya kenal membaca tulisan ini dan saya pernah marah di depan orang, maafkan saya. Saya tidak tahu apa saya bisa hidup untuk meminta maaf kepada Anda nantinya. (I learn this today)
It’s me. I’m back

It’s me. I’m back

Lama tidak menulis membuat tanganku agak kelu semua. Serasa sudah lama sekali dan dunia tulis menulis kini menjadi sangat asing. Inspirasi terasa terus menjauh. Kini, aku kebanyakan mengutarakan kembali perkataan orang dengan kata-kataku sendiri. Memang terkesan tidak kreatif. Tapi itulah aku kini penyuara pikiran orang. Atau bahasa Indonesia sederhananya 'penerjemah.’ Itulah alasannya aku menjauh dari dunia tulis menulis selama kira-kira satu tahun ini. Sangat lama untuk ukuran orang yang saat masih jatuh cinta dulu bisa menulis sepuluh lembar surat hanya untuk menanyakan kabar kekasihnya (?). Mungkin, karena alasan yang sama sekarang aku harus kembali menulis.Apa aku sedang jatuh cinta lagi? Iya. Aku jatuh cinta lagi, tepatnya kepada seorang yang baru muncul tapi bisa menghancurluluhlantakberantakan hatiku saat dia sakit. Ia adalah anakku. Namanya Kafka Abdurrahman Haryadi (Maaf kalo terlalu panjang ya nak. Senyumnya bisa menguapkan kelelahan yang terasa sehabis pulang kerja. Tawanya bisa mengawang, membuatku terbang dalam berjuta keindahan dan kenikmatan menjadi ayah. Dan aku hanya bisa bahagia melihat setiap titik perkembangannya. Untuk itulah aku kembali kini. Untuk menulis sesuatu untuk anakku. Tapi ini bukan berarti cintaku untuk istri berkurang. Cintaku kepadanya masih seperti dulu. Masih segar harum mewangi meski ia baru habis masak, belepotan bau kompor dan terasi. Meski kadang, energi orang yang sudah menikah lebih banyak disalurkan untuk mencari sesuap nasi untuk menyambung hari esok dari pada menulis surat cinta, aku tetap mencintainya semesra angin malam yang menghabiskan waktunya untuk menggoda rembulan.
Catatan kecil

Catatan kecil

Blog ini hanyalah tumpahan ide dan cerita yang mengawang dan melayang. Bergentayangan dan kadang membuat bimbang. Daripada membuat galau, lalu dicatatkanlah dia di sini. Ya, hanya sekadar catatan-catatan kecil. Mungkin berguna suatu waktu, pada suatu saat yang belum kita tahu.