Pagi itu langit begitu cerah. Sinar matahari menerobos
masuk ke sela-sela pepohonan di Gili Nanggu tanpa satu penghalang pun. Kira-kira sudut matahari mencapai
40-an derajat, ketika kami memutuskan terjun guna melihat langsung segerombolan
ikan aneka warna dan ukuran di pinggir dermaga kecil.
Ya, saat itu kami masuk ke dunia bawah alam
Gili Nanggu. Berenang, lalu menikmati pesona bawah laut yang selalu disajikan
secara ciamik oleh Lombok. Setelah kami bercebur sebentar, tersadarlah bahwa
Ella dan Dewi tak terlihat di pantai sekitar.
Sehari sebelumnya, Ella memutuskan tidak akan
ikut snorkeling. Keputusan yang
mungkin akan disesalinya seumur hidup. Ella beralasan sedang dapat. Siklus
bulanan. Skenario yang ada di pikirannya mengerikan. Karena sedang dapat, hiu
bisa mencium hal itu, dan dia bisa dimakan.
Menggelikan sebenarnya. Hiu juga pilih-pilih
mangsa, kan? Selain itu, hiu kan sekarang punya alternatif: makan oreo.
Karena Ella memutuskan tidak terjun, Dewi juga
enggan. Padahal dia sudah membawa seperangkat burkini. Ya, mungkin solidaritas
almamater. Atau solidaritas antar teman sekamar. Entahlah. Selalu sulit menerka
pikiran perempuan.
Tetapi hari itu, akhirnya Pak Sugeng turun
tangan. Dengan nada otoritatif, dimintalah keduanya menyewa pelampung dan
kacamata snorkel di kantor Bungalow Nanggu. Tak bisa berargumen, keduanya
akhirnya menyewa dan bersiap terjun ke dinginnya air. Yey, lengkaplah tim kami.
Setelah memperbaiki kekencangan pelampung dan
melakukan penyesuaian dengan suhu pantai Nanggu, kami menarik mereka agak ke
tengah. Nah, untuk menarik keduanya ke tengah diperlukan tali. Sayangnya, tidak
ada tali. Untunglah Pak Sugeng semenjak pagi-pagi sudah memikirkan solusi
sementara. Membuat tali dari kresek. Itulah hebatnya orang berpengalaman, begitu
antisipatif. Usia, maksudku pengalaman, tak bisa berbohong.
Iwan lalu datang tergopoh-gopoh membawa bekas botol
minuman mineral yang diisinya remahan roti. Menurut panduan yang dibacanya atau
mungkin berbekal pengalaman snorkel sehari sebelumnya, ikan akan mendekati
setiap kali dia mengeluarkan remahan-remahan roti tersebut sedikit demi
sedikit. Lucu juga. Mirip om-om kaya yang dikelilingi banyak gadis cantik
karena uangnya banyak.
Sejenak kemudian, kami sudah berkumpul di
tengah. Di rumah karang, yang terbuat dari batang besi yang dilas menyerupai
rumah, kami menambatkan tali yang mengikat Ella dan Dewi. Sesekali Iwan dan
Singgih berenang di area sekitar untuk melihat karang-karang buatan serta
ikan-ikan yang seakan begitu ramah menyambut kami.
“Ayo, katanya mau belajar survival di laut” kataku,
setelah puas berenang dan menikmati eloknya dunia bawah laut Lombok yang memang
terkenal seantero jagad itu.
“Ayo turun sekarang” ajak Singgih kepada
semua. Singgihlah yang akan mengajari cara survival,
yang dulu dipelajarinya entah di mana. Dia memang paling berpengalaman dalam
urusan petualangan, kecuali petualangan cinta.
Kami pun lalu serempak mengikuti instruksi
Singgih. Dia meminta kami membentuk lingkaran. Gunanya, menghangatkan badan
sambil menunggu bantuan datang, ujarnya. Dan semua senang karena berhasil
mempelajarinya. Cara kedua adalah berenang bersama untuk mencapai daratan
terdekat. Disuruhnya kami saling mengaitkan kaki dengan ketiak temannya.
Teknisnya: kaki perenang pertama dimasukkan ke ketiak perenang kedua, dan
seterusnya. Dengan begitu, akan terbentuk formasi yang ya kita sebut saja, bambu
memanjang.
“Kayaknya kita bisa menyeberang ke pulau
seberang dengan cara ini” usul Pak Sugeng, setelah kami paham ilmu yang
diajarkan Singgih itu.
“Ayo tak dukung para perenang laki-laki TB
untuk menyeberangi pulau” pekik bu Umi bersemangat memberi dukungan.
Kami saling berpandangan. Menguatkan diri.
“Ya, kita bisa” begitu yang tersirat dari tatapan-tatapan kami, terutama Iwan
yang memang mengonsumsi nutrisi khusus. Dan lagi, laki-laki mana yang tidak
akan terpecut apabila diberi tantangan seperti itu.
Kami menatap sejenak Gili Tangkong di seberang
sana, yang seakan memanggil-manggil kami. Pak Sugeng lalu menatap orang-orang
sekitar yang haus akan petualangan dan penaklukan itu. Sejenak kemudian,
dieliminasilah Ikyu, yang tidak menggunakan pelampung. Juga tidak ada Muhajir
di antara kami, yang tereliminasi secara alami.
Setelah mengecek pelampung masing-masing, kami
pun membentuk formasi bambu memanjang. Di posisi pertama, sang trainer Singgih,
lalu aku, Iwan, Pak Sugeng, Bu Umi, Ella, Dewi, dan Ama.
Lima kayuhan berlangsung, Singgih dan aku
terlepas dari formasi. Fin yang kami
kenakan terlalu besar sehingga tidak dapat dikempit secara sempurna. Kami
berdua pun berenang di depan. Memberikan petunjuk tentang arah yang dituju oleh
tim yang kali ini dipimpin Iwan.
Sekitar 40-an meter berlalu, tim mulai
kelelahan. Iwan yang sebenarnya sudah memiliki asupan protein, karbohidrat,
vitamin, dan kalsium yang seimbang tak bisa lagi menarik. Napasnya mulai
terengah-engah.
Sementara itu, dari sebelah utara, terdengar
deru kencang dua boat yang dinaiki para wisatawan lokal. Aku dan Singgih
berhenti. Teman-teman yang ditarik oleh Iwan terus berenang. Tepat ketika
boat itu melintasi jalur renang kami, terburailah formasi bambu memanjang itu.
Gelombang yang tercipta akibat terpaan dua boat sanggup merusak formasi, dan
mendorong kami kembali ke tengah.
Dan lebih utamanya lagi, mental sebagian besar kami runtuh.
Bu Umi dan Ama yang memang perenang ulung lalu
berinisiatif berenang sendiri menuju ke tepian pantai gili Tangkong. Aku dan
Singgih pun menyusul. Kami tidak cemas sama sekali. Tenang, sebab Ella dan Dewi
ditarik secara bersamaan oleh Pak Sugeng. Kami tahu bahwa urusan menyelamatkan
Pak Sugeng ahlinya. Dan Iwan? Aku dan Singgih tak pernah meragukan kekuatan dan
daya tahannya.
Tidak sampai sepuluh detik berlalu, Iwan mulai
berteriak meminta tolong.
“Mas Singgih, tolong. Aku kram” teriak Iwan
dari tengah. Singgih lalu berbalik sejenak, kemudian tersenyum tak percaya. Iwan
yang jarang serius apabila berbincang-bincang dengannya terlihat pucat. Nervous dan panik menjalari tubuhnya.
“Ah paling bercanda” tukas Singgih, yang tak
juga beranjak untuk mendekati Iwan.
Melihat Singgih yang tak juga beranjak seinci
pun, Iwan semakin panik. Dia terus menggerakkan tangan. Dan sialnya, semakin
dia bergerak semakin dia terseret ke tengah. Dan semakin ke tengah, warna laut
dalam semakin gelap, dan semakin mencekam. Dari tatapan pasrah-kosongnya tersaji
jelas pertarungan hidup mati. Seandainya tak ada Ella dan Dewi, mungkin
bulir-bulir hangat air mata akan jatuh, sedikit menawarkan air laut sekitar.
Aku yakin itu.
Di sisi lainnya, Pak Sugeng hampir kehabisan
tenaga menarik Ella dan Dewi sekaligus. Ella yang mengalami kepanikan akut
ketika raungan boat mendorongnya
kembali ke tengah terlihat sudah menyerah, yang malah memperberat beban yang
harus ditarik Pak Sugeng. Dia menatap kosong ke langit. Entah apa dia melihat
lorong gelap tak berujung, lalu di tengah-tengahnya berdiri orang-orang berbaju
putih, tersenyum manis, sembari mengajaknya ikut serta, aku tak tahu.
Hanya Dewi yang masih terlihat sadar dan
menyadari segala situasi di sekitarnya. Dia malah riang gembira. Ekspresinya persis
seperti Keena yang melihat kolam untuk pertama kalinya. Ya, mungkin inilah
pertama kalinya dia terombang-ambing di laut, biasanya di hati seorang pria tinggi,
putih, dan ganteng maksimal.
Melihat kepanikan yang terus memuncak,
akhirnya kuputuskan mendekat untuk membantu. Pak Sugeng menyerahkan Dewi, untuk
aku sambungkan ikatan antar pelampungnya dengan pelampungku dengan seutas tali
kresek sepanjang dua meteran. Setelah itu, yang ditarik Pak Sugeng tersisa Ella
saja, yang menengadah ke atas, entah berdoa atau menatap lembut bayangan orang yang sewindu ini dirinduinya.
Singgih akhirnya beranjak menuju tempat Iwan
bersemayam, lalu memandunya menuju tepian.
Begitulah akhir menegangkan dari acara outbound dadakan itu. Kami berhasil menyeberangi
pulau, melintasi ketakutan, dan mengatasi kecemasan. Kami pun berdelapan
selamat dari kepanikan.
Sejenak berlalu, baru kami sadar. Gili
Tangkong adalah pulau tak berpenghuni. Ada dua masalah baru. Pertama dan paling
utama, tidak ada penghuni berarti tidak ada perahu, yang bisa kami sewa untuk
menyeberang balik. Kedua dan juga paling penting, tidak ada penghuni berarti
tidak ada toilet. Padahal, malam harinya kami baru makan ikan panggang seberat
lima kiloan lebih, yang pedasnya mengalahkan sindiran ibu tiri.
Suasana
kacau.
Ketika kami berteriak untuk meminta tolong,
tidak terdengar oleh siapa-siapa. Akhirnya, diputuskan bahwa harus ada yang
menyeberang balik ke Gili Nanggu untuk menyewa perahu yang akan menjemput
lainnya.
Dari segala kemungkinan, diputuskanlah bahwa
Singgih yang harus menyeberang. Daya tahannya terbukti. Kemampuan survival-nya teruji. Dan aku
memberanikan diri untuk menemani. Ada satu motif tersembunyi sebenarnya, nah
aku jelaskan nanti.
Dan dimulailah penyelamatan 2.0, menyeberang
balik untuk menyewa perahu untuk menjemput lainnya.
Kami pun berenang dengan gaya punggung dan
gaya bebas bergantian, dan lima menit kemudian kami sudah sampai. Begitu cepat.
Terutama aku. Ya, terutama karena motif tersembunyi itu.
Sesampainya di pantai Gili Nanggu, aku langsung
menuju kamar. Perutku sakit tak tertahankan. Dari semua perhitungan dan kemungkinan
survival di alam liar, mencari toilet
di kamar, bagiku, menurutku cara yang lebih berperadaban. Ya, daripada memupuki
pepohonan atau memberi makan ikan hahaha. Itulah motif tersembunyinya.
Dan aku mencoba memilih cara itu, meskipun
penuh risiko (hffft, nulis apaan sih ini).
Singgih langsung mencari boatman, yang akan menjemput teman-teman lain. Konon, ketika proses
penjemputan itu, Singgih melihat gemerisik gerakan-gerakan aneh di pepohonan dari
dalam hutan Gili Tangkong. Apakah itu T-Rex, Godzilla seperti yang ditakutkan
Iwan ketika dia panik di tengah teluk, atau apa, kami tak tahu.
Atau jangan-jangan itu aktivitas wildlife survival adventure dari spesies
lain? Entahlah.
Yang paling penting, kami kembali dengan
selamat. Dengan satu pemahaman baru yang tertancap dalam hati, kami tidak akan
saling meninggalkan, dan akan bahu-membahu membantu.
Bukankah itu artinya teman?
Selalu ada dan bersedia saat dibutuhkan. Bukan
diam-diam, lalu tiba-tiba menikam dari belakang.
1 comments:
commentsSuperb!
Reply