Rumah Lapang dan Tamu yang Kurang Ajar

Langit berwarna biru hampir sempurna. Namun, sedikit ternoda sepuhan awan putih yang berarak menuju barat. Sementara itu, dia berdendang di belakang. Suaranya sayup-sayup tersapu angin. Lagu romansa kukira yang dia gumamkan. Atau apa lagu Korea. Entahlah.

Aku konsentrasi saja memegang setir sepeda motor. Meskipun sudah tua sepeda motor ini, bangga dan bahagia rasanya bisa memboncengnya berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain. Setidaknya ini cara terbaik yang bisa kulakukan untuk membahagiakannya pada periode bulan madu ini. Murah dan sudah cukup membuatnya bahagia.

“Maaf, mas mau kemana?” tanya Satpam itu sopan, memecah konsentrasi dan senyum yang kusungging. Matanya menatap kami penuh selidik.

“Mau ke rumah teman Pak?” balasku, dengan ekspresi tenang. Dadaku berdegup kencang sebenarnya, takut ditanya alamat rumah “teman” itu.

“Oya, Mas. Silakan” serunya, yang mengisyaratkan agar aku segera melajukan sepeda motor hitam yang sadelnya dirobek kucing itu.

Setelah berterima kasih, kugas sepeda motorku perlahan. Lalu, kulihat spion. Ternyata ada mobil Kijang Innova berwarna putih yang hendak masuk. Fyuh, slamet-slamet. Untung, ada mobil itu. Dengan begitu, kami berdua jadi terhindar dari ditanya banyak-banyak.

Kami lalu berkeliling. Mencari rumah yang konon mirip di film drama Korea “Full House” itu. Semenjak dia menonton drama yang menggunakan rumah yang dihiasi banyak kaca di pinggir pantai itu, dia selalu mendesakku mengantarnya ke perumahan ini. Konon di dalam perumahan itu, ada rumah besar yang mirip dengan rumah di drama Korea yang populer pada saat itu.

Hatiku ciut sebenarnya. Membayangkan ditanya-tanya satpam, atau mungkin diinterogasi sebelum akhirnya diusir. Tapi sial, cinta, ya cinta, kadang membutakan. Menebalkan rasa berani dan membesarkan jiwa pejuang. Setelah menebalkan muka dan berhitung segala kemungkinan, aku menuruti keinginannya.

“Itu dia rumahnya” serunya dari belakang beberapa saat kemudian. Dari nada suaranya, dia jelas bahagia. Sumringah.

Akhirnya, setelah beberapa kali berputar, kami menemukan rumah Full House yang besar sekali itu. Bestari dan indah. Jajaran pohon palem beserta entah pohon apa ditanam berjajar di sekeliling rumah, yang kutaksir mungkin seluas 1000 meter itu.

Kami lalu berhenti, berkeliling, dan menikmati melihat rumah itu dari jarak dekat dan jauh. Bahagia sekali melihatnya tertawa ceria. Wajahnya berbinar. Matanya penuh pendar cahaya.

Aku hanya bisa tersenyum. Berbahagia melihatnya begitu ceria.

Tapi ada satu yang mengangguku. Berbohong kepada satpam tadi jelas tak bisa dibenarkan. Diam-diam terbersit dalam hati “Seandainya saja benar-benar ada teman yang punya rumah di sini. Mungkin aku tidak perlu bohong pada satpam.”

Dan setelah berbilang tahun, berlalu ratusan purnama, dan beringsut ribuan hari, Allah menjawab harapan kami. Hari ini, kami diundang dalam acara makan siang dalam rangka tasyakur rumah teman kami, Mas Tarto dan Mbak Dewi.

Betul, perumahan yang kumaksud dalam cerita di atas dan rumah yang ditempati Mas Tarto sekeluarga adalah Permata Jingga. Nama perumahan yang ya kau tahu sering menciutkan hati orang yang mendengarnya. Termasuk aku dan orang yang kubonceng saat itu. Dia sudah menjadi ibu dari anak-anakku, anyway.

Tak perlu ditanya. Rumahnya megah. Desainnya indah. Fasad dengan desain minimalis tapi terlihat apik, paduan warna cat eksterior dan cahaya lampu yang berpendar membuatnya terlihat wah. Apalagi lingkungannya tenang, tertata, dan aman. Tatanan rumah dan tatanan lingkungannya mungkin bisa dibilang “perfecto”.

Saking apik tatanan rumahnya kukira area dapur yang kami masuki pertama kali itu adalah ruang tamunya. Dugaan lugu yang lantas memantik tawa teman-teman lain yang berkunjung.

Setelah dimohon menyantap hidangan yang disajikan terlebih dahulu, kami lantas diajak berbincang-bincang. Bercerita. Dan seperti halnya cerita favorit kami semua, Mas Tarto dan Mbak Dewi bercerita tentang lika-liku pernikahan. Tentang pertemuan yang memicu asmara. Lalu, berlanjut ke pernikahan. Cerita lalu berpindah ke ngontrak rumah, berjalan melintasi jalan yang disampingnya terdapat kuburan, dan apalagi kalo bukan cerita hantu. Kami lantas tertawa-tawa dan saling bertukar cerita penuh semangat.

Singgih sekeluarga, Lilik sekeluarga, dan aku sekeluarga yang datang bersamaan malam itu begitu bersyukur bisa bersilaturahim. Bisa ikut mensyukuri  dan mendoakan agar keberkahan selalu menghujani rumah itu. Serta, tak kalah pentingnya belajar cerita kehidupan dari orang yang menjalaninya langsung. Belajar hikmah, bukan lagi teori.
 
Sumber: FB-nya Mas Tarto
Oya, kami datang saat azan isya berkumandang. Padahal kami diundang untuk acara makan siang. Dan sialnya kami tidak bawa apa-apa. Kurang ajar, bukan? Hahaha

Namun, tuan rumah menyambut kami dengan suka cita. Dengan bahagia. Seakan-akan kami tamu pertamanya. Padahal kutahu Mas Tarto menyembunyikan diri saat menguap. Mungkin dia tidak ingin tamunya terburu-buru pulang bila tahu dia lelah dan mengantuk. Kami sadar sebenarnya, Mas Tarto dan Mbak Dewi pasti kelelahan karena sedari siang menerima banyak tamu.

Kami hanya bisa kagum dan berseru di dalam hati melihat sikap keduanya: Salut. Luar biasa keluarga ini. Kami kira rumah yang akan ditempati keluarga mereka berdua ini sudah luas. Sudah lapang. Ternyata hati keduanya jauh lebih luas. Jauh lebih lapang. Dan untuk itu, kami harus banyak belajar.


Malang, 22 Oktober 2016

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »