Hal-Hal Kecil yang Kurindukan Tentangmu

Saat dulu memutuskan kuliah S2, tak banyak yang saya harapkan. Saya kuliah sekadar memenuhi janji pada diri sendiri dan memuaskan rasa penasaran tentang seperti apa rasanya kuliah S2. Betapa tidak, saya bekerja sebagai penerjemah. Pekerjaannya ya duduk, menatap layar, lalu mengubah kata-kata menjadi makna. Jurusan kuliah: S2 Pendidikan Bahasa Inggris. Jurusan ini menyiapkan lulusannya menjadi guru atau dosen. Atau, pengajar. Singkat cerita, saya salah masuk jurusan.

Pengalaman baru ini terasa sangat berat pada awal-awal kuliah. Saya mengalami gejala kecemasan, berupa racing thought. Racing thought adalah pikiran-pikiran yang seakan saling berkejar-kejaran. Ada semacam banjir ide-ide yang menggenangi alam pikiran. Malam-malam saya terusik. Siang harinya, badan saya lelah dan pikiran saya letih. Akumulasi kecemasan, pikiran yang penuh, dan fisik yang letih membuat saya ambruk. Saya terkena tipes. Saya terbaring selama 21 hari dan merenungi nasib. Haruskah saya lanjut atau berhenti saja di sini?

Dan seperti halnya orang-orang sakit lainnya, pikiran saya mengelana. Bagaimana bila saya mati? Bagaimana bila ini akhir dari pengelanaan intelektual saya? Di antara semua pengelanaan dan pencarian semangat, saya bertemu puisi Imam Syafiie (bisa dibaca di sini). Saya bertemu pula dengan prinsip Begin with The End in Mind dalam buku karya Stephen Covey. Menurut beliau, kita diminta memvisualisasikan momen ini. Saat jasad kita terbaring dan jiwa terpisah dari raga, kesan apa yang kita ingin agar dipikirkan orang lain tentang kita.” Ciptakanlah kesan-kesan itu. Jadilah kesan-kesan itu.

Jelas saya tidak ingin diingat sebagai orang yang mudah menyerah. Pengecut yang berhenti sebelum garis finish. Kalah hanya karena sakit tipes. Saya tidak ingin diingat sebagai sosok semacam itu. Saya paham sepaham-pahamnya bahwa saya tidak akan mencapai garis finish bila sendirian. Saat itulah saya memandang teman-teman kelas bukan hanya sebagai teman kuliah, tetapi saudara seperjuangan. Bersama mereka, saya ingin menemukan kehangatan dan mencapai tujuan kami dengan rasa senang.

Setelah pulih, saya biasanya mencari promo diskon kuliner sebelum bertemu mereka pada hari Jumat dan Sabtu. Atau saya mencari cara presentasi baru di depan kelas. Mencari buku yang bisa dibagikan dengan mereka. Atau meluangkan lebih banyak waktu belajar cara berfoto selfie. Berfoto selfie? Ya betul. Teman-teman kuliah saya suka sekali berfoto selfie. Di sisi lain, saat difoto, wajah saya tiba-tiba berubah tegang. Saking tegangnya, ekspresi saya tampak seperti hendak ditodong senapan. Tak tahu kenapa.

Saya tahu kemudian bahwa tak selamanya saya bisa menghindar dengan menawarkan diri menjadi tukang potret. Jadi, saya bertanya kepada istri dan rekan kerja lain yang piawai berpose di depan kamera tentang cara selfie yang natural. Begitulah saya belajar menjadi kawan, menjadi teman, dan menjadi saudara bagi mereka. Melalui hal-hal kecil yang belum pernah saya pikirkan dan lakukan sebelumnya.

Namun, sebagaimana pada lazimnya suatu pertemuan, perpisahan datang juga. Sesiap-siapnya kami berencana, kami tidak akan pernah benar-benar siap bila waktunya tiba. Saya pun teringat suatu puisi yang ditulis indah oleh Aan Mansyur di film AADC? 2. Judulnya, akhirnya kau hilang.

Akhirnya kau hilang

Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana

Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu

Atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa

Di sepasang mata gelandangan yang menyerupai jendela berbulan-bulan tidak dibersihkan

Atau di balon warna-warni yang melepaskan diri dari tangan seorang bocah

Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di jalan-jalan

Atau bangku-bangku taman yang kosong

Aku menemukanmu di salju yang menutupi kota

Seperti perpustakaan sastra

Aku menemukanmu di gerai-gerai kopi, udara, dan aroma makanan yang keluar atau terlalu matang

Aku menemukanmu berbaring di kamarku yang kosong

Saat aku pulang dengan kamera di kepala

berisi orang-orang pulung yang tidak ku kenal

Kau sedang menyimak lagu yang selalu kau putar

Buku cerita yang belum kelar kau baca

Bertumpuk bagai kayu lapuk di dadaku

Tidak sopan kataku mengerjakan hal-hal tapi tetap kesedihan

Akhirnya kau hilang, kau meninggalkan aku

Dan kenangan ini satu-satunya akar getah yang tersisa

Hal-hal kecil inilah yang kadang saya telusuri lagi bilamana rasa rindu sudah berkuasa. Mengingat momen-momen kecil yang kami rajut bersama. Tertawa, menangis, terharu, dan kadang berseteru.

Itulah yang saya ingat siang ini saat tak sengaja berhenti di Cokelat Klasik Merjosari. Tawa dan wajah ceria teman-teman kuliah seakan kembali menguar dari kursi-kursi cokelat dan barisan meja. Teringat kembali kenangan saat perut kami kembung karena kebanyakan minum, tapi kami tetap tertawa dan bercanda. Kami melewati jalan-jalan kecil yang menanjak demi memburu promo “beli 1 gratis 3” siang itu.

Dan ternyata begitu pula saya diingat oleh Mbak Fahim.

Dan saya bahagia pernah menjadi bagian-bagian kecil dalam hidup mereka. Di mana pun saat ini mereka berada, semoga mereka selalu dinaungi nasib baik dan dikelilingi orang-orang yang mengasihi. Mungkin pada suatu hari, kami akan bertemu kembali dan menciptakan hal-hal kecil lagi. Aaamin



Batu pun Berlubang karena Pengulangan

Setelah menulis cerita tentang bagaimana film korea membuat saya takluk, ada satu kata kunci yang selama ini saya cari-cari dan muncul tiba-tiba. Mungkin itulah ajaibnya menulis. Lapisan-lapisan ingatan, kejadian, pengalaman, atau kenangan baru yang menutupi kata kunci itu perlahan tersingkap. Terkelola. Dan taraaaa, saya temukan lagi kata kunci itu.

Betul, kata kunci yang saya maksud adalah PENGULANGAN. P.E.N.G.U.L.A.N.G.A.N.

Istri saya berulang kali memutar lagu Korea favoritnya. Tanpa henti. Kata-kata asing terjejal masuk ke telinga lalu meresap ke otak. Belum banyak yang saya pahami tentang bahasa Korea. Setidaknya, otak saya tidak lagi menganggap kata-kata dalam bahasa Korea itu asing. Telinga saya sudah lebih terbiasa. Sudah bisa menerima.

Yupz, pengulangan menciptakan kebiasaan. Kebiasaan bila kita ubah arahnya bisa jadi kemampuan. Kemampuan bisa jadi penguasaan.

Apakah artinya saya akan bisa menyanyi K-POP?

Janjanhan ullimieotji

Neul eoduwotdeon

Nae sesange bichi naeryeotji”

Oh tidak. Membayangkannya saja saya geli. Kapasitas otak udang saya tak mampu memproses bayangan-bayangan itu. Cukuplah mulut saya yang disumbal setiap kali menyanyi oleh si anak bungsu.

Terkait kekuatan pengulangan ini, saya teringat suatu cerita yang pernah diceritakan ustadz dulu saat belajar mengaji di Musholla.

Pada zaman dahulu kala, ada seorang santri yang bebal. Bodoh sekali. Meskipun sudah beberapa tahun belajar, ia tak juga mampu membaca dan menulis. Pada suatu hari, ia pun berputus asa. Sebagai santri yang baik, ia berpamitan kepada kepada sang kyai agar diperbolehkan pulang. Dengan berat hati, sang kyai memperbolehkannya pulang.

"Meskipun engkau di rumah anakku, jangan pernah berhenti belajar" ucap sang kyai sambil menatap penuh kasih kepada santrinya itu.

Di tengah perjalanan, hujan turun lebat. Ia pun terpaksa berteduh di dalam gua. Karena hujan tak kunjung reda dan ia mulai kehausan, ia masuk lebih dalam. Saat sedang duduk beristirahat, terdengar suara gemericik. Didorong rasa penasaran, ia lalu mendatangi sumber suara tersebut.

Ternyata suara gemericik itu berasal dari air yang menetes pada sebongkah batu yang sangat besar. Saat melihatnya dari atas, ia lihat batu besar itu berlubang.

"Batu sebesar dan sekeras ini lama-lama bisa berlubang hanya karena tetesan air yang berulang di tempat yang sama" pikir sang santri. "Kalau aku pulang sekarang, berarti aku kalah dengan batu dong. Padahal akal dan pikiranku tidak sekeras batu. Berarti, aku kurang mengulang-ulang belajar."

Setelah hujan reda, si santri memutar arah dan memutuskan untuk kembali ke pondok. Semangatnya kembali berkobar untuk belajar lagi kepada kyainya. Di pondok, ia belajar dan mengulang dengan tekun dan rajin. Setiap kali merasa harapannya tipis, ia kembali mengingat batu yang berlubang di gua itu.

Setelah bertahun-tahun belajar, ia kemudian menjadi alim. Konon, santri tersebut bernama Ibnu Hajar atau si Anak Batu.

Pernah mendengar kisah ini kan? Kisah ini begitu populer, meskipun beberapa pihak meragukan kebenaran dan menganggap cerita ini sebagai cerita fiktif belaka. Tak apa-apa. Kita tetap bisa mengambil hikmahnya. Bahwa pembelajaran itu pengulangan. Artinya, kita belajar dan praktik berulang-ulang.


Konsep ini sejalan dengan teori modern yang digagas Malcolm Gladwell dalam buku best seller berjudul “The Outliers.” Gladwell merumuskan bahwa agar sukses dalam bidang apa pun kita perlu praktik sepuluh ribu jam. Bayangkan, 10.000 jam mengulang bidang spesifik yang sama, dan baru kita akan sukses. Lalu muncul pertanyaan.

“Bagaimana bila tetap saja gagal meskipun sudah latihan 10.000 jam?”

“Bisa jadi, memang bakatnya ya gagal. Atau latihannya kurang insentif. Atau belum memulai tetapi dari awal sudah membayangkan kegagalan. Atau…”

“Atau apa…”

“Otoke!!!!”

Pada Film Korea, Saya Menyerah

Saya tidak suka film Korea. K-Pop tak terkecuali. Istri saya sebaliknya. Ia penggemar berat film Korea dan pendengar setia K-Pop. Dua anak saya berbeda selera musik pula. Anak pertama suka lagu rock berbahasa Inggris, anak kedua suka sholawatan. Jadilah, empat genre musik bergaung dan berkontestasi di rumah.

Saat Covid-19 perlahan merayap masuk ke Indonesia, selera kami tak berubah. Saat sebagian besar orang cemas karena Covid-19 yang seperti hantu itu mulai mengganas, saya tetap tak suka film Korea. Perihal K-Pop, hati saya tetap. Kami berempat berputar pada poros musik masing-masing. Tak bergeser.

Namun, perubahan mulai sedikit terlihat saat keluarga kami “dikurung” di dalam rumah terus menerus selama awal-awal pandemi. Muncul kebiasaan-kebiasaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mungkin, penyebabnya adalah munculnya rasa jenuh. Kebosanan melanda. Depresi ringan muncul di mana-mana. Manusia yang terbiasa bersosialisasi itu tiba-tiba digeret ke dunia alternatif, dunia maya. Terisolasi secara sosial.

Untungnya, istri tak lagi memaksa saya menemaninya menonton drama Korea. Mungkin sudah menyerah. Atau sudah bosan. Ia juga tak lagi memaksa saya mendengar lagu-lagu BTS, terutama Jung-kook. Saya merasa bebas. Merdeka.

Tentang ketidaksukaan itu, ada satu hal yang mengusik pikiran. Jangan-jangan ketidaksukaan saya itu bukan karena selera, tetapi karena bias konfirmasi sosial. Sosok-sosok maskulin dalam tayangan-tayangan film atau musik Korea berbeda dengan konsep maskulinitas tradisional, termasuk konsep saya. Sosok Superman misalnya. Dalam penggambaran normal, superman direpresentasikan sebagai sosok gagah dan berkekuatan super. Dalam dunia reality show Korea, superman adalah sosok ayah-ayah biasa yang mencintai dan bermain dengan anak-anaknya. Dari mana saya tahu? Ya, acara Return of Superman lah.

Jadi, ada semacam kekhawatiran samar bahwa maskulinitas saya akan berkurang bila menonton tayangan Korea. Atau kekhawatiran bahwa saya dipersepsi kurang maskulin gara-gara menonton film Korea. Atau mendengarkan lagu Blackpink in the Area. Kekhawatiran itu lantas ditafsirkan sebagai ancaman. Sebagai salah satu jurus dalam mekanisme pertahanan diri, saya menghindarinya. Pada momen banyak berdiam di rumah, pikiran saya bergejolak.

Saat istri menyetel lagu Korea dengan lirih, saya diam-diam turut mendengarkannya. Awalnya seperti siksaan yang panjang dan lama. Bayangkan, kita harus memaksa diri mendengarkan genre lagu yang kurang kita sukai. Lalu, pekerjaan sebagai penerjemah menuntut saya melakukan riset mendalam, dan topik yang saya riset adalah film Korea. Judul filmnya: Startup.

Screenshot from Netflix

Mulailah saya memasuki dunia berbeda. Telinga mulai akrab dengan kata-kata sarang heyo atau otoke. Saat istri lupa mematikan rice cooker, lalu saya bilang “Otoke?”. Dan ia tertawa. Geli sepertinya.

Dan mulailah saya memutar lagu-lagu Korea yang menjadi OST film Startup di sela-sela waktu kerja. Lalu perlahan tapi pasti, film-film Korea dan K-Pop membuat saya takjub. Ternyata, bagus juga. Sangat bagus malahan. Persepsi saya berubah. Sikap saya pun berubah.

Apakah ini kutukan?

Saya yang biasa mencela istri atas kesukaannya pada film Korea jadi agak malu. Bagaimana bila ia menertawakan suaminya ini? Saya yang kadang mengejek BTS tak tahu harus apa. Untunglah ia senyum-senyum saja. Senyum kemenangan sepertinya. Keteguhan dan kekerasan hatinya untuk selalu menyetel lagu-lagu Korea di mobil membuat telinga saya terbiasa. Dan ya lama-lama saya jadi suka. Empat tahun tepatnya ia berusaha.

Ternyata betul kata jurnal tempo hari, repeated listening increase liking alias witing tresno jalaran soko kulino.

Otoke?

ibu, aku rindu

ibu,
pada malam sendu
saat dadaku penuh, air mataku jatuh, lalu kau peluk.
pada angin yang berderu
yang membuatku tersungkur, hatiku hancur, lalu kau hibur.

ibu,
aku rindu kerasnya tekadmu,
tebalnya harapmu bahwa pada suatu hari nanti
aku akan bisa seperti anak-anak lain
berjalan, berlarian, dan berenang di sungai.

ibu,
aku rindu lembut tuturmu,
pada tegas kata-katamu bahwa pada suatu masa nanti
aku akan bisa terbang di atas keterbatasan
melewati kekurangan-kekurangan.

ibu,
aku rindu tulus perhatianmu
yang tercurah saat menyambutku yang alami kekalahan
senyum dan tawa yang menghibur saat kualami beribu kegagalan,
tak apa, katamu, besok kita ulang.

ibu,
aku rindu ikhlas cintamu
yang bergemuruh dalam diam kata
melingkupiku saat menjelajah dunia
kau kemas itu dalam berlimpah doa.

Photo by Nam Hoang on Unsplash