Batu pun Berlubang karena Pengulangan

Setelah menulis cerita tentang bagaimana film korea membuat saya takluk, ada satu kata kunci yang selama ini saya cari-cari dan muncul tiba-tiba. Mungkin itulah ajaibnya menulis. Lapisan-lapisan ingatan, kejadian, pengalaman, atau kenangan baru yang menutupi kata kunci itu perlahan tersingkap. Terkelola. Dan taraaaa, saya temukan lagi kata kunci itu.

Betul, kata kunci yang saya maksud adalah PENGULANGAN. P.E.N.G.U.L.A.N.G.A.N.

Istri saya berulang kali memutar lagu Korea favoritnya. Tanpa henti. Kata-kata asing terjejal masuk ke telinga lalu meresap ke otak. Belum banyak yang saya pahami tentang bahasa Korea. Setidaknya, otak saya tidak lagi menganggap kata-kata dalam bahasa Korea itu asing. Telinga saya sudah lebih terbiasa. Sudah bisa menerima.

Yupz, pengulangan menciptakan kebiasaan. Kebiasaan bila kita ubah arahnya bisa jadi kemampuan. Kemampuan bisa jadi penguasaan.

Apakah artinya saya akan bisa menyanyi K-POP?

Janjanhan ullimieotji

Neul eoduwotdeon

Nae sesange bichi naeryeotji”

Oh tidak. Membayangkannya saja saya geli. Kapasitas otak udang saya tak mampu memproses bayangan-bayangan itu. Cukuplah mulut saya yang disumbal setiap kali menyanyi oleh si anak bungsu.

Terkait kekuatan pengulangan ini, saya teringat suatu cerita yang pernah diceritakan ustadz dulu saat belajar mengaji di Musholla.

Pada zaman dahulu kala, ada seorang santri yang bebal. Bodoh sekali. Meskipun sudah beberapa tahun belajar, ia tak juga mampu membaca dan menulis. Pada suatu hari, ia pun berputus asa. Sebagai santri yang baik, ia berpamitan kepada kepada sang kyai agar diperbolehkan pulang. Dengan berat hati, sang kyai memperbolehkannya pulang.

"Meskipun engkau di rumah anakku, jangan pernah berhenti belajar" ucap sang kyai sambil menatap penuh kasih kepada santrinya itu.

Di tengah perjalanan, hujan turun lebat. Ia pun terpaksa berteduh di dalam gua. Karena hujan tak kunjung reda dan ia mulai kehausan, ia masuk lebih dalam. Saat sedang duduk beristirahat, terdengar suara gemericik. Didorong rasa penasaran, ia lalu mendatangi sumber suara tersebut.

Ternyata suara gemericik itu berasal dari air yang menetes pada sebongkah batu yang sangat besar. Saat melihatnya dari atas, ia lihat batu besar itu berlubang.

"Batu sebesar dan sekeras ini lama-lama bisa berlubang hanya karena tetesan air yang berulang di tempat yang sama" pikir sang santri. "Kalau aku pulang sekarang, berarti aku kalah dengan batu dong. Padahal akal dan pikiranku tidak sekeras batu. Berarti, aku kurang mengulang-ulang belajar."

Setelah hujan reda, si santri memutar arah dan memutuskan untuk kembali ke pondok. Semangatnya kembali berkobar untuk belajar lagi kepada kyainya. Di pondok, ia belajar dan mengulang dengan tekun dan rajin. Setiap kali merasa harapannya tipis, ia kembali mengingat batu yang berlubang di gua itu.

Setelah bertahun-tahun belajar, ia kemudian menjadi alim. Konon, santri tersebut bernama Ibnu Hajar atau si Anak Batu.

Pernah mendengar kisah ini kan? Kisah ini begitu populer, meskipun beberapa pihak meragukan kebenaran dan menganggap cerita ini sebagai cerita fiktif belaka. Tak apa-apa. Kita tetap bisa mengambil hikmahnya. Bahwa pembelajaran itu pengulangan. Artinya, kita belajar dan praktik berulang-ulang.


Konsep ini sejalan dengan teori modern yang digagas Malcolm Gladwell dalam buku best seller berjudul “The Outliers.” Gladwell merumuskan bahwa agar sukses dalam bidang apa pun kita perlu praktik sepuluh ribu jam. Bayangkan, 10.000 jam mengulang bidang spesifik yang sama, dan baru kita akan sukses. Lalu muncul pertanyaan.

“Bagaimana bila tetap saja gagal meskipun sudah latihan 10.000 jam?”

“Bisa jadi, memang bakatnya ya gagal. Atau latihannya kurang insentif. Atau belum memulai tetapi dari awal sudah membayangkan kegagalan. Atau…”

“Atau apa…”

“Otoke!!!!”

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »