Perjuangan Menimba Ilmu

Seperti hari-hari biasanya, Azam memulai hari dengan membantu sang ibu mencuci baju, membersihkan kamar, merapikan seprai, atau memasak. Setelah rutinitas itu selesai, Azam lalu pergi bermain.

Namun, hari itu ada pemandangan berbeda. Saat tengah asyik bermain, ia melihat seorang anak lelaki yang tampak kewalahan. Keringatnya mengucur deras dari dahi dan membasahi kaos t-shirt berwarna putih yang bergambar garuda Pancasila. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya terlihat pucat pasi.

Tak tega, Azam pun bergegas untuk mendekati anak tersebut dan berpamitan kepada teman-temannya yang sedang bermain sepakbola. Setelah melihat sejenak, ternyata rantai sepedanya terputus. Karena terselip di antara roda gigi belakang, sepedanya pun berat saat dituntun. Meskipun sudah mencoba memperbaiki, masalahnya tak kunjung teratasi malah cenderung tambah parah.

Ari pun bilang agar sepeda tersebut tetap dituntun saja. Mendengar itu, Azzam pun berkata bahwa akan membantu mendorong sepeda tersebut.

“Oya, namaku Azam, namamu siapa?” sapa Azam yang lupa sedari tadi tidak memperkenalkan diri.

“Oo Azam. Namaku Ari.” balasnya sambil menjabat tangan yang dijulurkan oleh Ari. Ari tersenyum. Meskipun napasnya masih tersengal, dia terlihat lega sekali. “Terima kasih ya.”

“Iya, sama-sama. Omong omong rumahmu di mana Ari?”

“Tepat sebelum perempatan itu”

“Oh, kamu anak baru yang menempati rumah besar itu ya?”

“Iya aku baru pindah dari Lawang. Sejujurnya, aku belum sempat berkenalan dengan anak-anak di sini. Malu” Ari mengelap peluh yang menetes dari dahi dengan kaos putih. Kaosnya pun jadi berwarna kekuning-kuningan. Ia lalu bercerita bahwa ia pindah ke Singosari karena rumah lamanya harus dihancurkan karena proyek jalan tol yang melintasi Lawang. Karena belum punya teman, Ari lantas sering bersepeda sendirian.

“Kalau kamu mau, besok aku temani berkenalan dengan teman-teman di sini. Mereka asyik-asyik anaknya.”

“Alhamdulillah, terima kasih ya. Oh kita sudah sampai di rumah.” Ari lantas membuka gerbang besar berwarna cokelat. Karena kesulitan mendorong, Azzam pun ikut membantu. Sepeda lalu dimasukkan ke teras luas yang berwarna abu-abu. Meskipun ingin melihat dengan seksama tamannya Ari, Azzam sungkan sehingga dia memalingkan muka.

“Terima kasih sudah membantu ya, Azzam.”

“Ya, sama-sama Ri”

Azam lalu bergegas pulang karena terdengar suara azan dzuhur dari masjid Annur. Di jalan, Azzam tersenyum. Ia teringat nasihat ayah dan ibunya untuk selalu ringan tangan.

Sesampainya di rumah, dia menceritakan kejadian itu kepada sang ibu.

**

Keesokan harinya, sesuai janji, Azam menuju ke rumah Ari. Di sepanjang jalan, Azzam terlihat bingung. Dia bingung tentang bagaimana ya caranya memanggil Ari.

Sesampainya di rumah Ari, Azzam mengetuk pintu gerbang. Namun, bukannya terdengar kencang, tangannya malah sakit karena pintu gerbangnya sangat tebal. Azzam lalu mondar-mandir di depan gerbang.

Untungnya, lima menit kemudian, ada sepeda motor yang mendekat. Si pengendara sepeda motor lalu bertanya kepada Azzam sedang mencari siapa. Ternyata si pengendara adalah kakaknya Ari.

Ari pun dipanggil oleh kakaknya. Setelah itu mereka berangkat ke pos kamling, tempat berkumpulnya anak-anak Jl Masjid Barat.

“Assalamualaikum” ucap Ari saat mendekati pos kamling.

“Waalaikum salam” balas mereka serempak.

“Ini Ari, teman-teman”

“Salam kenal semuanya.” ucap Ari.

Mereka lalu bersalaman sambil memperkenalkan nama masing-masing. Mereka pun berangkat main di sawah. Setelah berpeluh-peluh di sawah, mereka mandi di kali yang ada di samping masjid.

Saat adzan duhur berkumandang, mereka saling berpamitan. Azam dan Ari pulang bersama sambil membahas betapa seru petualangan mereka barusan. Ari juga bercerita bahwa besok ia tidak bisa main besok pagi meskipun tidak bersekolah. Sebab, pertemuan tatap muka diganti dengan pembelajaran daring dan semua tugas diberikan melalui hape.

**

Azam bingung dan pusing mendengar cerita Ari. Daring. Pembelajaran jarak jauh. Hape. Dia sulit mencerna kata-kata itu. Bukannya tidak tahu, Azam hanya bingung karena keluarganya tidak ada yang punya hape.

Azam sendiri hidup pas-pasan bersama sang ayah yang bekerja serabutan. Ibunya ibu rumah tangga biasa. Sepanjang malam Azam bimbang. Bila memberi tahu orang tuanya, ia khawatir membuat mereka bingung. Tapi bila tidak memberi tahu, mereka juga akan bertanya-tanya karena Azam tidak berangkat sekolah. Pikiran yang berjolak dan hati yang gundah tetap saja kalah oleh rasa lelah. Azam pun tertidur.

**

Seusai sholat subuh, Azam berketetapan hati untuk menyampaikan apa yang terjadi. Namun, sebelum ia sempat berkata-kata, sang ayah menanyai

“Zam, kamu kok wajahnya bingung begitu to le?”

“Ya Pak, sejak semalam nggak bisa tidur?

“Kenapa”

“Hari ini sekolah online Pak. Sekolah online artinya make hape. Kita kan nggak punya Pak?” ucapnya sambil menundukkan wajah yang lesu.

Mendengar itu, sang ayah mengatakan bahwa akan mengusahakan. Azam tahu bahwa itu sekadar menghibur. Jangankan hape, untuk makan saja, kadang mereka kesulitan.

Beberapa saat berselang, ibunya memanggil. Ia tidak lagi bernafsu makan atau minum. Di benaknya, dia hanya berpikir bagaimana caranya sekolah online. Hape pun tak punya. Terbayang kemudian cita-citanya untuk menjadi dokter. Bagaimana ia bisa menjadi dokter, sekolah daring pun dia tidak bisa.

Setelah makan dan berpamitan kepada sang ibu, dia keluar mencari teman-temannya. Tentu saja tidak ada sama sekali karena mereka belajar online. Dia pun sendirian di pos kamling.

Beberapa waktu kemudian, ada sepeda motor yang lewat. Terdengar ada yang memanggil namanya. Ternyata Ari.

“Zam kamu kenapa kok sendirian di situ” ujar Ari yang mendekatinya setelah turun dari sepeda motor ayahnya.

“Aku bingung Ri. Hari ini mulai sekolah online dan kami sekeluarga nggak punya hape”

“Jadi, kamu nggak bisa belajar online?”

Azam tertunduk lesu. Wajahnya terlihat gusar. Sorot matanya kosong.

Ari lalu bergegas ke arah sang ayah, lalu kembali mendatangi Azam.

“Gimana kalo kamu ke rumahku aja Zam. Kata ayah, kamu boleh make hapeku satunya. Ada satu hapeku yang sudah gak kepake”

“Wah beneran ini? Aku nggak mengganggu kan Ri”

“Iya beneran.” Ari menatap kedua mata kawan yang baru dikenalnya dua hari itu. “Kata ayah boleh kok. Malah ayah yang nyuruh” lanjut Ari.

“Ayo sekarang ke rumah” ajak Ari sambil menarik tangan Azam.

Azam lalu mengajak Ari untuk pulang dulu untuk berpamitan dengan ibunya sekaligus mengambil buku.

Azam sebenarnya malu saat memasuki pelataran rumah besar Ari. Namun, Ari keukeh. Ibunya Ari lalu menyambut mereka berdua dengan senyum. Ari dan Azam mencium tangan beliau.

**

Azam lega bisa bersekolah. Ari pun tak kalah bahagia karena bisa membalas kebaikan hati Azam.

*Oleh Kafka Abdurrahman Haryadi

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »