Singosari - Hari Ahad sore 30 Agustus 2020 itu, kau berangkat dengan riang. Kau akan melihat teman-temanmu berlomba. Mulai dari lomba kelereng, memasukkan paku ke dalam botol, hingga sepakbola.
Dan kau berkata tidak akan ikut. "Hanya ikut nonton" katamu. Beberapa saat kemudian engkau dijemput teman-temanmu lalu adikmu ikut serta.
"Ikuto saja Le. Toh nggak ada biayanya" saran ayah.
"Nggak. Mau nonton saja" sergahmu sambil tersenyum lalu turun dan menyusul teman-temanmu, berlari menuju sawah di samping kantor kelurahan.
Meskipun sejatinya ayah dan ibu ingin kamu ikut lomba, kami maklum dan oke-oke saja bila pada akhirnya engkau tidak ikut lomba. Saat kami mendorongmu ikut lomba, itu sebenarnya agar tumbuh rasa percaya dirimu. Agar tumbuh keberanianmu. Agar tumbuh rasamu ingin berusaha. Tak perlu kau menang. Ikut lomba saja kami sudah senang.
Namun toh itu hidupmu, yang perlu kau jalani dengan riang. Dengan keputusan yang kamu ambil sendiri. Dengan konsekuensi yang kamu tanggung sendiri. Pada akhirnya, ayah dan ibu hanya ingin mendampingi dan mendorongmu mengambil langkah yang mungkin kau ragu. Ayah dan ibu hanya ingin seperti itu. Menjadi pendorong dan menjadi orang yang menerima apa pun keputusanmu pada akhirnya.
Beberapa saat kemudian engkau pulang dengan sama sumringahnya. Wajahmu bersinar bahagia.
"Aku menang"
"Lomba apa Le?" tanya ibumu sambil tersenyum. "Selamat ya. Sampeyan itu lho bisa."
"Pukul air." Engkau tersenyum lebar dan tertawa.
"Juara berapa"
"Nomor satu Bu."
"Selamat ya Le" kata ayah sambil merentangkan tangan dan memelukmu. Lama sekali dan ayah tidak ingin melepaskannya. Ayah mendekapmu dengan rasa bangga sekaligus bahagia.
Ayah bangga atas kemenanganmu, tapi ayah lebih bangga atas kemauanmu mencoba. Engkau bisa saja menolak dan menolak terus, tapi kau mau mencoba. Mau menerima risiko kegagalan. Mau menanggung rasa malu seandainya gagal. Dan kau melakukan semua dengan riang gembira.
Ayah ingat bahwa ayah dulu juga hanya menang satu lomba, yaitu makan kerupuk. Itu pun juara kedua dari lima peserta hehe... dan pencapaianmu ini jauh lebih baik.
Ayah langsung teringat suatu puisi, yang judulnya jadilah dirimu yang terbaik.
Jika kau tak dapat menjadi pohon meranti di puncak bukit
jadilah semak belukar di lembah,
Jadilah semak belukar yang teranggun di sisi bukit
Kalau bukan rumput, semak belukar pun jadilah
Jika kau tak boleh menjadi rimbun, jadilah rumput
dan hiasilah jalan dimana-mana
Jika kau tak dapat menjadi ikan mas, jadilah ikan sepat
tapi jadilah ikan sepat di dalam paya
Tidak semua dapat menjadi nahkoda,
lainnya harus menjadi awak kapal dan penumpang
Pasti ada sesuatu untuk semua
Karena ada tugas berat, ada tugas ringan
Diantaranya dibuat yang lebih berdekatan
Jika kau tak dapat menjadi bulan, jadilah bintang
Jika kau tak dapat menjadi jagung, jadilah kedelai
Bukan dinilai kau kalah ataupun menang
Jadilah dirimu sendiri yang terbaik
Tak perlu selalu menjadi pemenang atas segala usaha. Jadilah dirimu yang terbaik, apa pun itu. Sekecil atau sebesar apa pun. Jadilah dirimu yang terbaik, versimu sendiri. Tak perlu selalu jadi yang terdepan dan tertinggi, jadilah orang yang mau mencoba dengan upaya terbaik.
Itu saja, kami sudah bangga.