Memutar Kembali Sang Waktu

 Siang itu, hari Senin yang terik pada 2006 akhir, aku mengantarnya ke suatu sekolah menengah atas swasta yang cukup terkemuka di Singosari. Dengan sepeda motor Astrea Grand hitam lansiran tahun 1995, yang joknya sudah robek karena dicakar kucing, dia harus kuantar untuk mencoba peluang ini.  Ya, hitung-hitung sebagai upaya seorang calon suami yang bertanggung jawab.

Setengah jam rasanya perjalanan dari Dinoyo dan Malang. Cukup lama bagiku, tetapi cepat sekali baginya. Setelah turun dari sepeda motor, dia mengayunkan langkah. Tak lama berselang, dia kembali.

“Aku gak berani. Ayo pulang saja.” tatapnya memelas. Rangkaian keraguan demi keraguan menghiasi sebagian besar raut mukanya.

“Gak berani apanya” jawabku ketus dan agak lantang. Mataku melotot. Tatapanku serius. “Kita sudah jauh-jauh ke sini. Kamu harus masuk. Kalo nggak berani masuk, kamu pulang sendiri saja ke Malang.”

Dari tatapannya, kutahu ia kecewa, takut, cemas, dan gugup. Singkatnya, dia serasa ingin mual. Dia toh tetap masuk melewati gerbang sekolah berwarna hijau itu. Saat berangsur hilang dari pandangan, kuantar dia dengan segenap doa agar dia dikuatkan. Apa pun keputusan yang diterima setelah keluar dari gerbang itu, dia harus bisa menerimanya. Harus ikhlas. Lalu belajar bangkit dan mencoba lagi. Setelah beberapa kali gagal, toh gagal sekali lagi takkan banyak mengusik hati.

Dalam momen menunggu itu, teringat kilasan-kilasan peristiwa selepas kami lulus kuliah sampai detik itu. Takdir memutuskan aku langsung bekerja di kampus tempat kami dulu menimba ilmu. Sementara itu, dia harus mengumpulkan sekira 100 lebih alamat sekolah SD, SMP, dan SMA. Daftar panjang itu lalu disortir menjadi daftar pendek sekolah yang kemungkinan bisa menerima lamaran pekerjaannya. Ya, alasan ekonomislah penyebabnya daftar panjang itu kami sortir. Dengan uang yang tersisa, kami bolak-balik memfotokopi ijazah, membeli amplop, lalu mengirimnya lewat kantor pos.

Jam berdetak, hari berlalu, minggu beringsut, tak juga dia mendapatkan panggilan untuk ikut tes atau wawancara.

Di tengah masa tunggu, dia terus melanjutkan rutinitasnya mengajar bahasa Inggris di salah satu pondok di Singosari. Bila tak ada kesibukan yang betul-betul mendesak, selalu kuluangkan waktu untuk mengantarnya.

Saat kegalauan melanda dan gundah gulana meraja, keluarganya di Jombang mengultimatum agar dia pulang saja dan mencari pekerjaan atau bahkan jodoh di Jombang, bila tidak kunjung mendapatkan pekerjaan di Malang. Ultimatum itu tidak hanya mengejutkan, tapi juga membuatku gentar. Sebab, kami mungkin akan menjalani LDR, yang menurut cerita banyak orang, lebih banyak cerita gagalnya daripada cerita suksesnya.

Dan, kami galau. Sebagai orang yang terlahir pesimis, kurasa hubungan kami di ujung tebing curam saja.

Lolos dari Lubang Jarum

Di tengah-tengah masa tunggu yang penuh ketidakpastian dan mencemaskan itu, dia tersenyum lebar dan wajahnya merona penuh bahagia pada suatu Ahad pagi saat kujemput dari pondok.

“Aku diminta datang besok ke SMAI Singosari” ujarnya saat naik ke sepeda motor.

“Oya, ngapain?”

“Salah satu santri NH bilang ke kepala sekolahnya bahwa dia punya guru bahasa Inggris di Pondok NH, yang sepertinya cocok bila mengajar di SMAI. Lalu, singkat kata si Kepala Sekolah meminta santri putri tersebut untuk menyampaikan kabar baik ini.”

“Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah” ucapku berkali-kali. Di mulut terlebih di hati.

Seandainya bisa kami temui lagi santri putri bernama Tika ini, kami akan terus berterima kasih yang tak terhingga atas bantuannya. Dia tidak hanya menunjukkan jalan, tapi juga memastikan hubungan kami berdua lebih pasti. Lebih jelas tanpa drama LDR, yang mungkin sulit kami lewati.

Beberapa bulan kemudian, aku baru tahu cerita lengkapnya, yang bila direkonstruksi begini.

Tika sangat terinspirasi dengan cara mengajar si guru bahasa Inggris ini. Si guru ini, menurut Tika, tulus. Mendobrak semua aturan kaku tentang hubungan antara guru dan santri putri. Baginya, si guru lebih seperti sahabat atau kakak. Tika tahu betul bahwa si guru sudah lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan, sebab para santri putri dan si guru bahasa Inggris ini kerap bertukar cerita. Sering saling curhat. Tika lalu berinisiatif menemui Kepala Sekolah untuk menanyakan apakah ada lowongan guru bahasa Inggris. Entah bagaimana ceritanya, saat itu, baru saja ada guru perempuan yang mengundurkan diri dari sekolah. Jadi, ada satu posisi guru bahasa Inggris yang lowong. Sang Kepala Sekolah, Bapak Anas, lalu, entah mengapa juga, mengiyakan dan meminta Tika agar si guru bahasa Inggris datang ke sekolah hari Senin untuk wawancara dan menyerahkan berkas-berkas.

Akhir itu Awal

Setelah sekitar 20 menit menunggu, dia keluar dari gerbang dengan seringai bahagia dan tak hentinya tersenyum. Wajah kecewa yang dia tunjukkan saat masuk sirna sama sekali.

“Aku diminta mulai kerja Senin depan” katanya dengan senyum terus mengembang sepanjang perjalanan.

Dan kebahagiaan itu mudah menular sehingga aku pun ikut bahagia tak terkira. Rasanya, sepanjang jalan Singosari – Dinoyo sangat mulus. Wangi bunga melati mengikuti kami. Lingkaran pelangi melengkung indah dan mewarnai perjalanan kami siang itu. Aneh memang, sebab tak ada hujan sehingga pelangi tak mungkin muncul

Setelah periode “bulan madu” itu, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa statusnya adalah guru kontrak yayasan. Karena guru kontrak yayasan dan masih baru, jam mengajarnya pun sedikit. Gajinya pun juga tak banyak. Bila dihitung-hitung, rasanya gajinya hanya cukup untuk membayar angkot Dinoyo – Singosari.

Kami pun mencari jalan tengah. Aku mengantarnya agar hemat biaya transportasi. Bila aku sedang tidak ada jadwal mengajar, aku menunggunya di Mushola Waqaf lawas di Jalan Keramat. Sangat sering, aku bisa menyelesaikan satu buku saking lamanya menunggu. Bila bosan menanti, kadang-kadang lalu berpindah ke lapangan Tumapel. Saking lelahnya, tak jarang aku tertidur di atas sepeda yang kudongkrak tengah.

Singkat cerita, kami pun menikah. Masalah ekonomi lalu mengiringi. Membayar kontrakan. Listrik. Iuran. Dan segenap tagihan lain. Rasanya dunia mulai menghimpit. Napas kadang tersengal, bukan karena olah raga, tapi karena beban tagihan.

“Aku berhenti saja ya jadi asisten pengajar ini” ujarku pada suatu hari. Dia terkejut. “Aku kurang berbakat jadi pengajar. Sampeyan yang lebih berbakat. Jadi, kita bagi tugas: aku cari uang, sampeyan cari pahala dari berbagi ilmu. Setiap bulan sampeyan harus transfer pahala, aku transfer duit belanja ya.”

Wajahnya lalu sembab oleh air mata.

“Sampeyan bisa menyentuh banyak hati karena menurutku sampeyan mengajar dari hati dan dengan hati. Kayaknya, Tika memberanikan diri dan menekan rasa gugupnya dan menemui kepala sekolah itu ya karena itu. Karena dia memperjuangkan sampeyan agar bisa terus jadi guru. Karena dia ingin banyak anak yang bangkit dan berani karena terinspirasi sampeyan.”

Alhamdulillah, keputusan kami tepat. Relatif banyak hati berhasil dia sentuh. Sebagian pikiran berhasil dia luruskan. Sebagian jalan ia bantu luruskan. Sebagian suasana dia ceriakan.

Saat kekecewaan menghantam atau kesedihan menerkam, lalu dia terhuyung dan kehilangan pijakan, aku selalu mengulangi cerita ini. Karena ingatan mudah tergerus putaran waktu, kuputuskan menulisnya di sini. Meskipun aku tak tahu, apakah tulisan ini masih ada gunanya.

Pada satu titik terendah, mungkin aku perlu mengajaknya kembali menengok titik awal saat kami memulai. Saat kubonceng dengan sepeda grand hitam lalu sedikit “membentaknya” untuk mendorong agar dia berani mencoba. Saat Tika berani menggedor pintu kepala sekolah padahal dia hanya siswi biasa. Kami perlu mencoba memulai lagi semuanya dari awal. Dari titik saat aku mengantarnya ke pintu gerbang berwarna hijau.



Seperti yang mungkin kau duga, ya kumaksud si guru bahasa Inggris itu Yulia Dian Nafisah.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »