Saat sepuluh hari lalu, Mas Dwi menyampaikan undangan pernikahan yang indah melalui situs web, senyumku langsung tersungging. Hati semringah dengan kabar bahagia dari salah satu teman baik semasa kuliah S2 di UMM ini. Sudah beberapa tahun, Mas Dwi menjalin hubungan dengan Lita. Dan ketika pada akhirnya pernikahan ini akan dilangsungkan, tak ada kata selain bahagia yang mengiringi.
Ternyata, teman sekelas lain juga
dihubungi melalui jalur pribadi. Satu per satu.
Meskipun kemudian kami berkumpul
dalam satu grup WA untuk membahas apakah teman-teman akan hadir dan bagaimana
caranya, sebagian besar ternyata berhalangan.
Bisa dimaklumi. Setelah lulus
dari UMM tahun 2019, kami otomatis terpencar dengan mimpi masing-masing yang
perlu ditunaikan. Kehidupan masing-masing yang harus dijalani.
Sebagian besar ingin menitipkan
kado bila ada salah seorang yang akan ke sana. Masalahnya, siapa yang akan ke
sana?
Kemungkinan besar: Tidak ada.
Kado Terindah
Ketika Mbak Herlin bertanya,
apakah ada jalur pribadi untuk mengirim kado. Mas Dwi membalas singkat “Yaah
padahal pengen kalean dateng biar reoni skalian.” Tidak ada balasan lain lagi.
Kalimat ini mengingatkanku pada frasa bahasa Inggris ““Your
presence is the best gift you can give me.”
Singkat dan padat. Seakan-akan
Mas Dwi hendak bilang “Kado itu penting, tapi yang terpenting adalah kado
kehadiran, terutama untuk momen ini. Momen pernikahan ini. Kado ini tak ada
penggantinya.”
Kalimat itu menusuk inti
jantung. Terbayang kemudian adegan-adegan kocak saat kami makan tahu telur
dengan terburu-buru di belakang kampus dulu karena khawatir ketinggalan mata
kuliah. Meskipun pedas dan panas, kami percepat makannya.
Setelah balik ke kelas, ternyata
dosen kami tidak datang. Dan kami tertawa terbahak-bahak.
Dan dia ingin kami hadir semua.
Hadir dengan semua kenangan itu. Bercanda seperti dulu. Berfoto-foto gak
karu-karuan seperti dulu. Di lift, di tepi sungai, di tepi danau, di lokasi
seminar, atau bahkan di warung.
Dia ingin kami HADIR.
Dan pagi ini, kutegaskan
tekad dan komitmen untuk datang dan hadir pada acara pernikahannya.
Google Maps Saja
Bagaimana cara menuju Bapra
Pasmar 2 di Sidoarjo, venue pernikahan keduanya?
Google Maps saja, pikirku.
Semuanya terasa mulus sampai
saat mau keluar dari rumah. Ada truk penyedot Tinja berwarna hijau menghalangi sehingga
mobil kami tidak bisa lewat. Dua puluh menit rasanya kami harus menunggu sambil
sesekali harus mencium bau semerbak yang terbawa angin pagi. Duh.
Setelah truk menyingkir, kami
pun lewat. Sudah pukul 10 dan kami masih di rumah, sementara acara pernikahan dimulai pukul 10 dan
diakhiri pukul 13.
Kami pun bergegas menuju pintu tol Lawang menuju pintu Tol Krian dengan berbekal petunjuk suara dan gambar dari Google Maps. Namun, Maps di hape ternyata nonaktif. Karena tak kunjung bersuara, kuikuti saja arus kendaraan. Dan kami tersesat. Kami bingung karena masuk ke perumahan pondok jati.
Khawatir
juga ada polisi yang menilang kami. Ternyata tidak.
Setelah bertanya jalan dan
berganti menggunakan tablet istri, si Mbak Google bersuara lagi. Dan perjalanan
kami lancar. Ada pelajaran yang kami petik: Kami hanya perlu percaya pada niat
baik, dan jalan akan dibukakan oleh yang Maha Kuasa, via Google Maps.
Bapra Pasmar
Sesampainya di gedung pernikahan
di Bapra Pasmar, suara band pengiring mengalun merdu. Terlihat di kejauhan sana
Mas Dwi menabuh drum dan didampingi sang mempelai. Kulambaikan tangan
berkali-kali tapi rupanya tak terlihat.
Akhirnya, kami sekeluarga
menikmati suguhan yang disediakan. Sambil makan, terdengar Mas Dwi yang
menyanyi bersama sang mempelai. Suasana penuh kebahagiaan menguar dari wajah
keduanya dan keluarga yang ikut berbahagia. Suasana yang mudah-mudahan bertahan
sampai lama. Sampai tua dan nyawa tiada.
Kulambaikan tangan lagi sambil
membuka masker. Wajahnya semringah saat melihatku. Senyum tersungging lebar.
Rasanya, Mas Dwi hendak loncat dari pelaminan untuk menyambut kami. Bila tak
ada orang yang mengantre untuk berfoto, rasanya dia akan langsung loncat.
Setelah mengantre untuk berfoto,
akhirnya kami maju dan bersalaman.
“Sendirian Pak Anton?”
“Mau sendirian atau
bareng-bareng, aku hadir Mas. Tak bawa istri dan anak-anakku sebagai pengganti
teman-teman sekelas.”
Kami pun berfoto.
Kebahagiaan itu menular. Kami
tersenyum dan berdendang kidung cinta sepanjang perjalanan pulang. Ada komitmen
yang terukir. Ada janji yang terpatri. Dan ada kebahagiaan yang meluber ke mana-mana.
Doa kami, sebagaimana doa
teman-teman kelas yang lain:
“Semoga keluarga Mas Dwi dan
Mbak Lita sakinah, mawaddah wa rahmah. Menjadi tim yang kompak sambil menyongsong
masa depan” Aamin.