kenanganmu di dalam hatiku, abadi

Saat pulang kembali ke Malang pagi ini, maaf Bu, aku terburu-buru sekali. Aku tak sempat berpamitan kepadamu. Air mataku tak lagi bisa kutahan. Hendak tumpah rasanya. Tak bisa kuperlihatkan air mataku yang membanjir kepada Kiki dan Prapto, serta Bapak. Aku tak bisa melihat mereka sedih melihatku dilingkupi kegelapan. Diratapi muram.

Rasanya, aku kehilangan arah Bu. Aku tersesat. Aku melanglang jauh, lalu kini tak tahu harus pulang ke mana.

Saat berada di dapur sebelum berangkat, engkau masih kulihat sedang menyalakan api tungku dan membuatku minuman hangat. Aku melihatmu menanak nasi dan menyiapkan lauk agar aku tak lapar saat dalam perjalanan pulang, seperti biasanya.

“Bawao nasi juga” perintahmu. “Kenapa harus terburu-buru pulang. Belum tuntas rasanya bertemu dan berbincang” kau tanyakan lagi benarkah aku hendak pulang sekarang.

“Aku akan kembali ke sini lagi Bu.” Jawabku. “Anak-anak harus sekolah dan aku juga harus bekerja. Nanti aku akan menginap lebih lama.”

Dan aku telah menginap lebih lama, 10 malam, Bu. Namun, engkau sudah tidur dan terlelap. Engkau sudah berbahagia. Engkau tersenyum. Aku bahagia atas kebahagiaanmu, tetapi aku rindu suaramu. Rindu kehadiranmu. Rindu perhatianmu. Rindu masakanmu. Dan rindu semua hal tentangmu.

Kau tahu, Bu. Rasanya, hatiku dipenuhi sesal karena tak banyak menghabiskan waktu bersamamu. Mendengarkan cerita-ceritamu yang meluncur deras. Banyak sekali pertanyaan yang sudah kusiapkan, tapi tak sempat kutanyakan. Kini, aku tak tahu harus bertanya kepada siapa lagi. Suara siapa lagi yang harus kudengarkan.

Saat pulang tadi pagi, rasanya hatiku dipenuhi berbagai pertanyaan dan perasaan aneh. Tak bisa kujabarkan dan tak bisa kujelaskan. Perasaanku berkecamuk. Rasa bersalah itu menyakitkan Bu.

Saat ayah dulu tidak ada, aku tak begitu merasakan dampaknya. Engkau melingkupi dan melindungiku dengan kedua sayapmu. Engkau tahan semua rasa sakit dan kebingungan. Engkau terima semua kepahitan.

Dan pagi ini Bu, sepanjang jalan, air mataku tumpah dan tak berhenti mengalir. Dadaku sesak. Pikiranku penuh, Bu. Bayangan tentangmu mengalir seperti air bah, dan rasanya aku ingin hanyut saja bersama kenangan-kenangan itu.

“Siapa tahu akan bertemu denganmu di hilir sana?” ujarku di dalam hati.

Segera kuenyahkan pikiran-pikiran itu. Engkau takkan senang, kuyakin. Engkau mendidikku bukan sebagai orang yang mudah kalah. Engkau mengajariku tentang keteguhan karang, tentang menahan rasa sakit, dan tentang berbagi rasa suka.

Engkau mengajariku harapan. Engkau mengajariku berjuang. Engkau mengajariku mencintai dengan tulus dan gagah berani.

Dan cukuplah kenangan tentangmu menyinari jalanku menerjang jurang gelap kesedihan. Dan menjaga kedua adik, sebagaimana pesan-pesanmu.

Aku mencintaimu Bu... dan akan terus hidup dengan semua kenangan baik tentangmu.

 

 


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »