Masa kecilku dulu penuh warna. Salah satu warna itu adalah ikut mengaji di musholla kecil di sebuah desa terpencil di Probolinggo. Ustadz kami senang sekali bercerita. Tak banyak ilmu-ilmu kitab yang kami ingat. Yang ajaib, cerita-cerita beliau tak pernah lapuk lekang dimakan usia. Abadi di pikiran.
Salah satu cerita beliau adalah singkong dan kambing bagi sang ustadz.
Begini ceritanya
Pada suatu malam, Slamet hendak ke rumah ustadz-nya. Sebagai oleh-oleh dan ungkapan rasa terima kasih, ia membawa seikat singkong bagi sang ustadz tercinta. Setibanya di rumah sang guru, Slamet disambut oleh wajah yang sudah sangat ia kenal dan hormati.
Di sisi lain, beliau terlihat senang sekali mendapat kunjungan Slamet.
"Alhamdulillah, Slamet. Kamu apa kabar?"
"Baik ustadz, alhamdulillah"
Setelah mengobrol gayeng selama beberapa waktu, Slamet berpamitan kepada sang guru. Sang guru pun ke belakang dulu sambil membawa singkong tersebut.
Ia lalu memberikan singkong tersebut kepada istrinya.
''Bu, ada santri abah. Ia membawa singkong ini, kita kasih apa ya untuk Slamet?"
"Abah kasih kambing ini saja" saran sang istri. "Itu kan juga dikasih Pak Rudi"
Setelah selesai bercengkerama dan Slamet pamit pulang, ia diminta ke belakang rumah. Kambing lalu dilepaskan ikatannya dan diberikan kepada Slamet.
"Terima kasih banyak Ustadz" ucap Slamet sambil mencium tangan sang ustadz bolak-balik. Hatinya senang bukan kepalang.
Slamet pun menuntun kambing dan bersenandung sepanjang perjalanan pulang.
"Wah Met. Dapat kambing dari mana?" tanya Untung di pertigaan jalan desa.
"Oh, ini diberi Ustadz Rifai. Ustadz kita dulu di musholla."
"Ustadz Rifa,i iya iya"
"Baik banget beliau. Aku cuman bawa oleh-oleh singkong. Ealah pulangnya kok dibawakan kambing" ujar Slamet sambil tersenyum sumringah. Ia masih tak percaya. Slamet pun pamit untuk melanjutkan perjalanan.
''Kalau Slamet membawa singkong saja diberi kambing oleh ustadz. Apalagi kalau membawa lebih dari singkong" ujar Untung.
Sehari setelahnya, Untung ke kebun untuk mencari oleh-oleh yang akan ia bawa kepada ustadz Rifai. Ia lalu melihat kambingnya yang kini tumbuh besar. Ia pun memutuskan untuk membawa kambing tersebut sambil membayangkan apa gerangan yang akan diberikan ustadz Rifai untuknya.
Ia pun berkunjung ke rumah ustadz Rifai ba'da maghrib keesokan harinya sambil menuntun kambing besar berwarna putih.
"Mohon diterima ustadz" tuturnya setelah mencium tangan ustadz Rifai.
"Ohh, terima kasih nak.'' ucap beliau.
Ustadz pun ke belakang rumah untuk mengikat kambing itu dan menyampaikan kepada istrinya.
''Bu, ini ada kambing dari santri kita, Untung. Waduh sungkan aku ini. Kita kasih apa ya untuk membalas pemberiannya ini?" ucap sang ustadz.
"Waduh Abah. Kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Adanya cuma singkong"
"Ohh ya sudah, kita kasih singkong ini saja nanti" sang ustadz pun setuju.
Dibawalah singkong tersebut ke ruang tamu.
"Nak Untung, ada singkong untukmu. Mohon bawa nanti ya. Ustadz tidak punya apa-apa selain ini" ujar sang ustadz.
"Baik Ustadz."
Mereka berdua pun terlibat percakapan santai.
Sejenak kemudian, Untung pamit, "Saya pamit ya Ustadz."
Sepanjang perjalanan, wajah Untung kecut. Meski tak memperlihatkan wajah kecewa di depan sang ustadz, hatinya bergemuruh. Ingin rasanya ia menunjukkan raut tak suka. Namun, tak jadi karena kewibawaan dan kesederhanaan sang ustadz.
singkong dan kambing |
Kata ustadz