Keluarga dan Ohana


Pagi ini saat berjalan-jalan di sekitar sawah, ada seorang bapak paruh baya. Usianya sekira 46-49 tahun. Kumisnya memutih. Keriput mulai terlihat gamblang menghiasi matanya. Namun, semangat membara masih terpancar jelas dari raut wajah itu.

Beliau menyapaku, dan kusapa balik. 

"Saya nunggu anak ini Mas" cerita beliau setelah basa-basi.

"Oh di pondok ini Pak?" Kebetulan di sebelah sawah ada pondok putra yang menjadi tempat mengaji beberapa siswa yang belajar di sekolah yang dikelola Yayasan Almaarif.

"Ya Mas" balas beliau. "Hari pertama sekolah. Khawatir dia kesulitan menemukan kelasnya. Khawatir dia telat dan bingung" pungkasnya sambil tersenyum.

Selesai berbasa-basi, aku pun pamit pulang.

Obrolan itu mengingatkanku pada beberapa peristiwa. Banyak teman yang hari-hari ini harus merelakan berpisah dengan anak-anak mereka yang akan mondok.

Demikian pula dengan anakku, yang tahun ini harus tinggal di asrama. 

Ibunya tiba-tiba tidak terlalu berselera makan hidangan enak. Setiap kali melihat kue atau jajan atau minuman, ibunya selalu teringat anak lelakinya.

Demikian juga dengan anak perempuanku. Setiap kali ada kue, ia mengingat kakaknya.

Itulah Ohana

Ikatan semacam ini dikenal pula sebagai Ohana dalam budaya Hawaii. Bedanya, konsep Ohana melampaui hubungan biologis. Konsep ini mencakup gagasan tentang komunitas yang lebih luas dan saling terhubung. Setiap orang pun dianggap sebagai bagian dari keluarga. 

Berbekal konsep yang sudah mengakar kuat ini, setiap individu di Hawaii saling menjaga dan bertanggung jawab satu sama lain. Ikatan di dalam komunitas pun menguat.

Sederhananya, Ohana berarti keluarga. 

Dengan keluarga, berarti tak ada yang ditinggalkan. Tak ada yang dilupakan. Semuanya diingat, terutama saat duka datang. Karena ikatan keluarga diuji, bukan saat senang, tapi saat sedih menerjang dan meluap bak banjir bandang.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »