Maaf, aku kalah...

Tangisnya pecah, membelah kekhawatiran dan kecemasanku yang sedari tadi membuncah. Pelukannya kepada ibunda semakin lama semakin erat, dia seperti tidak siap dan tidak ingin menghadapi dunia. Terutama tidak ingin menatapku. Kutunggu sejenak. Kutarik tangannya yang enggan melepaskan pelukan. Tapi aku harus menariknya dari kerumunan agar rasa sesaknya berangsur hilang.

“Kenapa Mas nangis” tanyaku kemudian.

“Maaf, aku kalah Yah. Aku bingung mencarinya. Itu bukan alif yang biasa aku pelajari. Dulu-dulu pas latihan aku bisa. Hari ini aku bingung.” ungkapnya sambil mengusap air mata yang perlahan mulai melambat. Sedu sedan masih terdengar.

Usai menatap matanya yang sembab, kupeluk erat. Aku elus punggungnya sembari memikirkan kata-kata yang tepat. Aku tahu inilah momentum. Momentum untuk membangkitkan semangat, atau membuat semangatnya terjun bebas. Aku bisa saja menyalahkannya.

“Mas Aka baru sembuh” ujarku pelan. “Lain kali kalo sudah agak sehat, dan berlatih lebih lama pasti akan bisa. Mas Aka hebat, tadi berani maju. Meskipun kebingungan mendapatkan sorakan dari kerumunan orang, mas Aka menyelesaikan lomba. Itu sudah hebat.”

“Pas di sekolah aku bisa. Aku tadi bingung, Yah. Huruf alifnya tidak sama dengan yang di sekolah.”

“Ya, nggak apa”

Sejenak kemudian, aku tersadar telah menyalahkan sakit yang membuatnya praktis hanya tidur-tiduran selama seminggu sebelum lomba. Mulai hari Senin sebelum libur maulid nabi, dia jatuh sakit. Suhu badannya merangkak naik, dan kadang turun, lalu naik lagi. Dia tertunduk lesu. Praktis hari Rabu saat ada lomba pertama di tempat lain, dia tidak ikut. Padahal dia sudah dipersiapkan untuk ikut lomba mewarna.

Setelah kupikir agak lama, tak bijak menyalahkan sakit itu. Bagaimana pun tak ada yang tercipta sia-sia, termasuk sakit itu. Bukankah menyalahkan sakit agak serupa menyalahkan yang menciptakan sakit. Padahal mungkin, aku bilang mungkin karena tidak tahu pastinya, sakit tercipta sebagai mekanisme untuk mengisi ulang daya tubuh yang mulai menurun.

Selain itu, ketika aku mengiyakan alasan Aka, terlepas dari kebenarannya, secara tidak langsung aku menyalahkan panitia yang membuat lomba seakan hanya media promosi sekolah. Semua peserta dari sekolah yang bersangkutan lancar. Sepertinya karena mereka sudah banyak dan lama belajar menyusunnya, pikirku. Teknis lomba pun sudah mereka kuasai. Pikiran tentang konspirasi pun menyeruak di pikiranku. Celetukan pikiran “ah ini pasti hanya akal-akalan” tak ayal membuatku semakin meragukan niat baik panitia.

Padahal, mereka sudah susah-susah menyelenggarakan acara. Dana untuk itu pun aku yakin tidak sedikit. Tak mungkin mereka mempertaruhkan reputasi, memanfaatkan momen acara Maulid Nabi untuk kepentingan sesaat. Lembaga pendidikan yang salah satu visi dan misinya mewujudkan generasi muslim yang bertaqwa sesuai Al Quran dan Hadist tak mungkin melakukan kecurangan seperti itu.

Wajar bila anak didik mereka berlatih lebih keras. Mereka tuan rumah, yang harus sukses dari sisi penyelenggaraan dan prestasi. Bila prestasi anak didik mereka ternyata lebih buruk, mungkin orang lain, seperti aku, akan mempertanyakan mengapa mau susah-susah menyelenggarakan acara yang mempermalukan institusi mereka sendiri.

Jangan-jangan kecurigaan dan caraku berpikir dipicu berita-berita politik picisan yang belakangan santer beredar di TV. Atau mungkin buku-buku yang bercerita tentang konspirasi Israel dan Amerika dalam menyudutkan, mengadu domba, dan menghancurkan generasi muslim di dunia, terutama Indonesia, negara yang digadang-gadang menjadi tempat kebangkitan generasi muslim. Tapi apa hubungannya anakku kalah lomba serta pikiranku yang tidak beres dengan konspirasi Freemansory global.

Ah, aku menyalahkan pihak lain lagi tentang kepicikan dan kejumudan pikiranku sendiri. Menyalahkan memang lebih gampang, apalagi menyalahkan orang lain, lalu mengata-ngatai nasib dan takdir. Menyalahkan diri sendiri, lalu mencari akar penyebab, dan berupaya mengatasinya, lalu berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan kemenangan dan impian selalu sulit dilaksanakan.

Apa mungkin ini karena fenomena media sosial dan foto selfie? Orang-orang masa kini cenderung berlebihan memandang dirinya sendiri. Kebanyakan, mereka mencitrakan diri sendiri sebagai orang sukses, orang bijak, orang ganteng, orang cantik, orang bahagia. Mereka jarang tampil apa adanya, dengan segala kekurangan dan kesalahan. Hampir tidak ada status Facebook dan Twitter yang bunyinya “Aih, jerawatku tumbuh lagi. Kali ini di pipi sebelah kiri.” Atau status sederhana lain “Status jerawatku sudah darurat 5, sebentar lagi meledak. Hati-hati yau...”. Atau mungkin “Darurat 1: tanggul bibirku tak kuat menahan. Hati-hati bantal, akan ada banjir iler sedalam 5 cm.”

Ah, aku menyalahkan pihak lain lagi. Maafkan Nak, kali ini ayah yang kalah karena menyalahkan orang lain dan pihak lain terus, bukan mencari kesalahan diri sendiri. Ayah tahu tidak ada kemenangan yang didapat dari menyalahkan orang lain, selain penghiburan diri. Engkau hanya kalah lomba, dan bisa mengulangi lagi di lain kesempatan. Tapi ayah sudah banyak menyalahkan. Maaf Nak, aku kalah (lagi)...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »