Tamu

Dalam dua bulan ini, kami kedatangan banyak sekali tamu. Kadang hanya satu mobil, kadang hanya satu orang, jalan kaki pula. Kadang dua mobil, pernah satu mobil elf, dan paling banyak empat mobil sekaligus. Disusul kemarin, sekitar dua puluhan sepeda motor menyerbu rumah. Empat puluhan orang.

ImageKadang kami senang bukan kepalang, terutama bila tamu tersebut sudah kami tunggu-tunggu lama.
Kadang, tidak munafik, kami agak kurang berkenan bila tamu datang dalam jumlah besar, tanpa pemberitahuan, dan menginap lagi. Ditambah pula, tamu-tamu tersebut tidak membawa perlengkapan pribadi sendiri, seperti alat-alat kosmetik, dan handuk. Lebih dramatis, tamu tersebut merasa bahwa sebagai tamu mereka adalah raja. Tentu saat itu, kamilah pelayannya.

Melayani tamu kadang ada seninya sendiri. Misalnya waktu makan, ada sekitar 10 tamu, sementara jumlah piring bersih yang tersisa hanya 10 piring juga. Jadilah kami sebagai tuan rumah mempersilakan mereka menikmati hidangan duluan, sementara kami berbasa-basi. Ada beberapa ucapan basa-basi dalam SOP keluarga kami.

Paling standar dan sangat konvensional, “kami masih kenyang”. Meskipun mulut kami bisa berbohong, toh mereka bisa melihat dari mimik wajah kami. Kami selalu berusaha menyembunyikannya tentu, tapi tidak selalu berhasil. Inilah mungkin yang dimaksud dengan "white lie." Dijamin, “white lie” ini tidak akan membuat kita menutupi kebohongan putih ini dengan kebohongan lain. Toh tamu kita tidak akan bertanya lebih lanjut. Dalam kasus kami, tidak pernah. Mereka tahu dari awal bahwa kita basa-basi.

Apakah jujur mengatakan bahwa kami tidak punya cukup piring lebih baik dalam kasus ini? Ah, mungkin saja ya. Mungkin juga tidak. Kita bisa berdebat panjang. Bolehlah melibatkan kusir segala agar lebih seru. Debat dengan kusir selalu seru, terutama membahas masalah-masalah yang tidak jelas mana yang hitam, dan mana yang putih.

“Ah sampeyan selalu nggak mau pas aku ajak beli piring dan gelas” protes istri di suatu hari Senin setelah di hari minggunya kami kekurangan piring itu.

“Pas itu kan kita nggak punya uang” jawabku diplomatis. Ah sebenarnya maksudku, realistis. Memang kami saat itu sedang punya prioritas lain, sementara dalam semua kasus yang kami hadapi dana yang tersedia tidak sepanjang daftar prioritas kami itu.

“Ah setidaknya kita punya banyak tamu, meskipun tidak punya banyak piring” teoriku kemudian menyusul. “Ciri-ciri rumah barokah adalah rumah yang didatangi banyak tamu. Tamu yang berulang datang. Kalo mereka tidak merasa bahagia, mereka tidak akan datang lagi ke rumah kita. Coba lihat Haramain. Keduanya banyak didatangi tamu dari segenap penjuru dunia. Mana ada di Ka’bah dan Madinah banyak piring berserakan” pungkasku dengan cara bijak. Kata-kata ini aku dapatkan dari seorang ustadz pas berkunjung ke acara tasyakuran rumah baru sahabatku beberapa bulan sebelumnya. Sengaja aku simpan dan hafal di dalam hati untuk meneguhkan hati istriku.

“Ya, tapi aku kesulitan pas ada banyak tamu. Sampeyan kan nggak tahu aku di dapur seperti apa. Sampeyan memang tidak pernah jadi istri dan ibu” timpalnya.

“Ya sudah, kita nanti rencanakan beli piring dan gelas bulan depan” ujarku dengan mimik tak kalah serius.

Kami sadar betul tamu adalah rezeki, terutama setelah beberapa minggu terakhir ini kami diamanahi menyambut banyak tamu. Buktinya, setelah tujuh tahun menikah, kami akhirnya berencana menambah jumlah investasi di bidang piring dan gelas di dapur, dan perlengkapan lain untuk menyambut tamu-tamu kami di waktu mendatang.

Ya, akhirnya kami hanya bisa berdoa. Ya Allah, berilah kami rezeki yang melimpah ruah agar bisa membeli piring dan gelas, dan melayani tamu kami sebaik mungkin, seperti yang Engkau dan Rasul-Mu perintahkan. Ya Allah, perbanyaklah tamu-tamu kami karena melalui merekalah keberkahan akan menghinggapi rumah dan keluarga kami. Amin ya Robbal Alamin.

“Yah, ayo kalo mau beli piring dan gelas” kudengar lamat-lamat dari ruang tengah.

Ahh, masih tanggal tua sayang. Aku belum gajian.
Malang, 25 Feb. 14

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »