Jatuh Cinta

Sejatinya kita sama: Sama-sama jatuh cinta. Bedanya: aku jatuh cinta pada Jokowi – JK, engkau jatuh cinta pada pihak sana: Prabowo – Hatta. Tak salah, kita sama-sama jatuh cinta. Cinta tak pernah sekalipun salah. Aih, jadi teringat film India.

Yang mungkin salah hanya: cara kita mencintainya. Tapi itu toh konsekuensi jatuh cinta: jatuh, buta, menggunakan kacamata kuda, lalu mencoba mencinta dengan segala realitanya, dan akhirnya kecewa atau bahagia untuk selama-lamanya. Namanya juga orang jatuh: penilaiannya mesti terpengaruh jatuh itu. Salah-salah dalam menilai cinta baru lazim terjadi.

Apakah aku salah? Engkau tidak akan pernah sekali-kalinya mendapatkan kata ya, terutama sebelum tanggal 9 Juli usai. Apabila seusai tanggal 9 Juli, Presidennya Jokowi. Aku mungkin akan mengatakan pada akhirnya aku telah jatuh cinta pada orang yang salah. Kapan? Bila Jokowi ingkar janji, korupsi, Indonesia tambah ruwet dan semrawut, dan lain-lain sebagainya.

Aku pun juga akan memaklumi bila selama ini engkau mengumbar berita negatif tentang Jokowi, seperti lazimnya engkau akan memaklumi aku mengumbar berita negatif tentang Prabowo. Tampaknya kita berada pada tahap menggunakan kacamata kuda. Yang terlihat hanya kebaikan yang ada di depan mata kita. Engkau memfilter berita baik tentang Jokowi, dan menyebarkan semua berita buruk tentang Jokowi. Seperti juga aku begitu dalam kaitannya tentang Prabowo.

Aku jadi teringat ustadz di desa yang pernah bercerita dulu perihal masalah ini.

Alkisah, hiduplah seorang lelaki yang ingin mempersunting dua istri. Istri pertama mengizinkan suaminya untuk menikah lagi, dan bahkan mencarikan sesosok istri baru tapi ada satu syaratnya. Beberapa bulan awal, mereka harus tinggal di satu atap dan bila malam menjelang harus tidur di tempat tidur yang sama. Syarat yang aneh.

Ringkas cerita, tibalah mereka bertiga pada malam pertama. Mereka bercerita dan berkisah. Tertawa bersama. Tampak di depan mereka rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahman. Asik sekali suasana malam itu.

Di tengah suasana ceria dan bahagia itu, tiba-tiba terdengar suara, maaf beribu maaf, kentut, dan disertai "bau semerbak".

“Siapa ini yang kentut” kata sang suami dengan penuh emosi. “Pasti kamu ya Surti” lanjutnya sambil menatap tajam istri tua yang ada di samping kirinya. “Aku tahu persis ini bau kentutmu. Baunya seperti bangkai ayam. Dasar kamu ini.” tuduh suaminya secara membabi buta.

“Nggak, Demi Allah aku tidak kentut. Aku tidak pernah kentut di depanmu Mas. Bila pun aku kentut di depanmu, itu tak disengaja semata.” balas Surti. Dia sakit hati. Tanpa dia nyana, malam itu matanya mulai sembab. “Tak kusangka...” pikirnya. Tanpa dinyana, orang yang selama ini begitu dicintainya menuduhnya sedemikian rupa justru di depan penghuni baru rumahnya. Saking cintanya, Surti bahkan rela mencarikan wanita lain untuk dinikahi suaminya.

“Ah, kamu banyak alasan. Sudah ngaku saja” bentak sang suami.

Suasana malam pertama itu mendadak tegang.

“Aku kok mas yang kentut” kata Riza, sang istri kedua. Sontak pengakuan itu membelah suasana tegang. Keduanya pun beralih menatap Riza.

“Maaf, tadi terlalu banyak makan jengkol dan singkong sepertinya” ucapnya polos sembari memasang ekspresi memelas.

Surti yang sudah kadung emosi keluar kamar sambil terisak. “Brukkkkk” dia membanting pintu. Dia kecewa sekali suami yang sudah begitu dicintainya menuduhnya sembarangan.

“Pantes, tadi bau semerbak nangka matang. Terima kasih atas kejujuranmu, sayang. Aku senang ternyata engkau suka makan makanan tradisional” ujar sang suami untuk menenangkan hati Riza yang terkejut mendengar suara bantingan kursi.
-----

Mungkin kita persis seperti sosok suami di atas. Kita jadi terlalu bersemangat mencintai orang baru dan mencampakkan cinta lama. Meski kita tahu, cinta lama itu tidak seperti yang dituduhkan. Kita jadi terlalu emosional sehingga kita tidak bisa melihat ke samping, melihat ke bawah. Kita bahkan tidak bisa tahu dan gagal menyelidiki perihal asal muasal kentut itu.

Bila kita kadung jatuh cinta, kita akan lupa semua masalah dan kekurangan orang yang kita cintai itu. Kita jadi beda persepsi. Meskipun orang yang kita cintai itu kentut, baunya pun akan tercium wangi, bahkan mungkin mengalahkan semerbak wangi minyak kasturi.

Dalam kasus ini, sang istri tua itu mirip teman-teman kita sendiri yang sudah lama kita kenal, dan mengenal kita. Menerima kita apa adanya. Membiarkan kita melakukan semua ketololan-ketololan yang acap kali kita lakukan. Sang istri tua kita perlakukan secara tidak adil karena kita sembarangan menuduh. Sembrono memfitnah. Serampangan menempelkan berita-berita negatif yang malah membuat istri tua itu pergi. Sang istri tua pun muak. Mirip unfriend dan block-block gitu lah.

Ya, mungkin kita sang suami itu. Kita jatuh cinta, dan kita pun jadi begitu subjektif. Tidak ada yang salah dengan sang istri muda: Jokowi atau Prabowo. Yang salah mungkin cara kita mencintainya. Kita terlalu bersemangat dengan cinta baru. Walhasil, kita pun kehilangan teman-teman kita, teman-teman yang untuk sementara waktu ini juga mencintai istri muda yang tidak sama dengan kita.

Jadi, teman, mohon maaf bila selama ini aku terlalu bersemangat membela dan mendukung Jokowi. Tampaknya aku perlu belajar lagi tentang mencintai, yaitu tentang menerima apa adanya dan berlaku adil.

Hhmmm, pada akhirnya salam tiga jari sajalah. SATU untukmu, DUA untukku.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »