Hadir

Semilir angin menerpa muka. Deru air perlahan stabil di kubangan sungai bagian tengah Songa, sebuah jalur rafting yang begitu terkenal di Probolinggo. Boat perlahan bersandar, dan sang guide menurunkan kami di sana. Di gazebo sederhana, sudah tersedia minuman jahe bersama satu potong pisang goreng yang disajikan masyarakat lokal.

Minuman jahe dan pisang goreng hangat adalah kombinasi sempurna setelah separuh perjalanan mengarungi arus sungai Pekalen, menikmati air terjun yang menerpa helm dengan kekuatan penuh, seakan kepala dimartil dengan palu Thor. Menikmati bunyi kelelawar marah yang kami ganggu, dan sebagai gantinya mereka dengan begitu semangatnya mengencingi air yang mungkin tanpa kami sadari kami sesapi sedikit demi sedikit. Dan untunglah, itu tidak menjadikan kami batman jadi-jadian.
Demi melengkapi petulangan kedua itu,aku, Singgih, Nining, dan Lilik akhirnya memutuskan menceburkan diri ke kubangan sungai yang terlihat lebih tenang itu, demi mencapai bagian seberang sungai.

“Di situ kayaknya seru, Gih” ujarku sambil menunjuk tebing terjal yang bisa digapai dengan berenang. Singgih mengiyakan ajakanku menuju ke tebing itu. Lilik tak kalah antusiasnya. Dan Nining ikut serta.

jadiTanpa perlu dikomando, aku pun menceburkan diri, berenang dengan mengambil haluan depan, lalu mengikuti arus sambil sesekali mengarahkan diri menuju ke tebing yang ingin dituju. Singgih dengan cara serupa berhasil menggapai tebing yang sama.

“Ambil haluan dari depan....” ujarku setengah berteriak kepada Lilik.

Byurr. Lilik pun menceburkan diri, tapi dengan cara berbeda. Sepertinya dia tidak mendengar yang aku katakan sebelumnya. Dia memotong arus, berenang lurus menuju ke tebing tempat kami berdiri.

“Berenang yang kuat Lik” ujarku. Singgih pun tak kalah menyemangatinya. Sementara itu, para rafter lain sibuk menyesap teh jahenya, sambil mengobrol yang entah tidak kami tahu kemana arahnya. Risma pun asyik minum minuman jahe sambil berpikir tentang berapa banyak kencing kelelawar yang sudah dicicipinya sejak dari garis awal, dan tak memperhatikan Lilik yang mulai kelelahan memotong arus sungai pekalen yang pada musim hujan deras arusnya kadang tak terperkirakan.

Dan tepat seperti yang aku dan Singgih perkirakan dari awal, Lilik tidak kuat memotong arus. Dengan segenap tenaga dia berusaha melawan arus yang mulai menyeretnya.

“Tolong-tolong” pekiknya dengan segenap sisa tenaga. Adrenalin yang memicunya untuk memotong arus berubah menjadi kepanikan. Kepanikan yang luar biasa. Kedua kakinya mulai terlihat berhenti bergerak, lidahnya kelu, tangannya pun terangkat ke atas, seakan mengibarkan bendera putih. Tubuh mungilnya timbul-tenggelam dalam rompi pelampung yang tidak terpasang erat ke tubuh. Dari jarak dekat, hanya terlihat helm kuning, yang seingatku dikenakannya.

“Tolong-tolong” teriaknya lagi sambil menelan habis air yang menerpa wajahnya.

“Ayo Gih lompat” kataku sambil menunjuk ke Lilik yang tampak kehabisan napas. Dari semua faktor risiko yang dapat dipertimbangkan dalam keadaan itu, kepanikan adalah faktor risiko terbesarnya, dan parahnya kepanikan luar biasa mulai menguasainya. Seperti yang sering diajarkan buku besar kehidupan, kepanikan adalah musuh terbesar dari akal manusia. Dan celakanya, Lilik membiarkan sang musuh itu melumpuhkan dirinya.

Singgih mulai menganalisis situasi. Dalam situasi genting, Singgih adalah penganalisis terbaik di Transbahasa, tempat kerja kami. Kira-kira menurut perhitungannya, karena bagian depan diterpa deru laju air, bagian hulu adalah tempat yang paling dalam. Dengan kecepatan air sekitar 10 km/jam, dalam waktu sekitar 5-10 detik Lilik akan sampai di bagian hilir yang dangkal, dan dengan begitu Lilik akan selamat. Dengan bekal perhitungan itu, Singgih tidak melompat. Dan melihat Singgih begitu, aku pun tidak melompat. Melihat aku dan Singgih tidak melompat, serta semua orang terdiam dan tidak melompat untuk menyelamatkannya, Lilik makin panik.

Tangannya seakan-akan berusaha menggapai-gapai sesuatu. Mungkin seutas tali, atau kayu yang diharapkannya. Tangan kanan dan kirinya bergantian timbul tenggelam seakan ingin meraih pegangan yang dapat menyelamatkannya. Tapi sialnya, yang diraihnya hanya air.

Suara air yang ditimbulkan, selain juga suara paniknya menarik perhatian banyak orang. Kebanyakan rafter perempuan berteriak panik.

“Berdirio Lik” teriak Nining sekuat tenaga.

“Ngggggak bisaaaa Mbak” sahutnya sambil meminum air pekalen yang sudah tercampur air kencing kelelawar itu.

Risma mulai terlihat khawatir, sementara Muhajir hanya terdiam takjub dan terpana melihat Lilik yang wajahnya mulai memutih. Pucat pasi. Aku tahu di dalam hati Muhajir berhitung. Melompat sama saja dengan bunuh diri. Saat itu, dia belum mahir berenang.

“Berdiri Mbak...” teriak semua orang, seakan menjadi paduan suara. “Di situ dangkal” ujar salah seorang di antaranya.

“Nggak bisa...” sahut Lilik tak kalah kerasnya, meski suara itu kalah oleh suara arus sungai.

Akhirnya dua orang menceburkan diri. Sepintas kemudian, salah satunya menggengam lengannya. Dan menyuruhnya berdiri. Ternyata di titik itu, ketinggian airnya hanya sepinggul. Lilik membatu di tengah sungai, dan mukanya pun perlahan memerah.

Semua orang tertawa terpingkal, dan tinggal Lilik sendiri menahan malu, yang tarafnya mungkin sampai titik urat saraf malu penghabisan.

Bila boleh memilih, dia mungkin ingin menjadi ikan saja. Yang hanyut di dalam air sungai pekalen, dan tidak keluar lagi hingga hari akhir J.

Cerita ini, selain cerita Singgih yang terlalu banyak berpikir dan akhirnya agak cemas dan begitu lama untuk meloncat dari tebing di bagian tengah sungai selalu menjadi cerita menarik kami saat jam makan siang tiba. Dan juga cerita Iwan, yang keliru memegang “tali” saat dia kehilangan keseimbangan di boat kaliwatu.

Dan banyak pula cerita memalukanku, yang kebetulan tertutup kepura-pura-beranian khas anak desa. Daripada harus menanggung malu seumur hidup karena dianggap takut, engkau harus mengambil risiko, ucap salah satu temanku dulu saat menyusuri sungai angker di desa.

Semua kisah itu menjadi kisah klasik yang tak lekang oleh waktu. Pada akhirnya, semua cerita kebersamaan itu mengajariku, dan mengajari kami tentang satu pemahaman baru: persahabatan adalah tentang hadir. Guna memberi dan mewarnai. Hadir dalam petulangan seru, cerita konyol, kisah pilu, dan keberanian tanpa batas. Lilik sebagaimana setiap hari yang kami lalui adalah pejuang tangguh, yang kadang kenekadannya di luar keberanian kami. Dialah yang pertama berani mencoba paralayang di gunung Banyak, Batu. Dialah yang pertama mencoba panjat tebing, yang meski terlihat mustahil bisa ditaklukannnya tetap dia coba. Dialah yang kami tahu tetap berupaya keras, dan bahkan setiap minggu ke Singosari untuk belajar berenang.

Dia hadir saat tak ada orang yang bisa kuminta menjaga istriku yang sedang terlelap seusai dioperasi cesar ­seusai melahirkan putri kami, Keena. Dialah yang hadir saat Risma kehilangan ibundanya. Tak luput pula, dia hadir saat Nining harus menunggu Izan di rumah sakit dulu. Dia selalu hadir dalam setiap ulang tahun kami, karena dialah bendahara, dan pembeli kadonya. Tanpanya, empat pria manja di kantor tak bisa melakukan apa-apa.

Dan tanggal 23 Maret 2015 lalu, saat dia bertemu pangeran pujaan hatinya dalam bingkai hubungan yang direstui Ilahi robbi, kami tak bisa hadir. Maafkan kami kawan.

Dalam hati kami yang terdalam, engkau selalu hadir, dan kami juga hadir di situ, terus memanjatkan doa agar barokah dan restu Ilahi melimpahimu seluas-luasnya, selama-lamanya. Semoga Allah mengabadikan kisahmu dalam balutan kasih yang penuh ketulusan dan keikhlasan serta menjadikan pernikahanmu itu pernikahan yang membawa engkau, dan membawa kami semua ke surga-Nya.

Ahh, setidaknya kami tak perlu cemas lagi, bila engkau “tenggelam” lagi, ada sesosok pangeran Madura yang akan menggenggam erat tanganmu, menyelamatkanmu, atau setidaknya dapat meyakinkanmu bahwa di bagian sungai yang dangkal engkau dapat dengan aman berdiri, hihihi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »