Beda

Lahir dan besar di sebuah lingkungan petani di desa yang mensyaratkan kekuatan dan kecerdasan fisik prima membuatku sering bertanya-tanya: mengapa aku berbeda. Di tengah anak-anak dengan kelincahan fisik hampir sempurna, aku hampir selalu menjadi nomor kesekian. Lecak begitu mereka memanggilku. Lecak adalah kata dalam bahasa Madura yang selalu diucapkan banyak orang di lingkunganku itu. Seperti agar-agar, ucap salah satu temanku menggambarkan kata lecak itu. Dengan kekuatan fisik seadanya, boleh dikata mendekati lemah, aku hampir tanpa harapan saat itu.

bedaDalam permainan kasti misalnya, aku hampir menjadi langganan objek penderita. Dalam kebanyakan kejadian, akulah anggota tim yang terakhir dipilih, dan diharapkan tersisih karena tidak ada lawan pembandingnya. Dan setelah masuk tim pun, aku biasanya ditunjuk menjadi pemukul bola kasti nomor dua dari akhir. Mengapa nomor dua dari akhir? Ya, karena di situ konsentrasi lawan sedang agak lemah sehingga aku bisa selamat dari lemparan bola kasti. Mengapa bukan yang terakhir? Karena pemukul paling akhir adalah pemukul paling kuat, dan sebab itu dalam karier permainan kastiku aku tidak pernah menjadi pemukul terakhir itu.


Dalam proses memukul bola sedemikian rupa sehingga tak dapat ditangkap lawan pun, tak jarang aku terkena lemparan bola kasti. Bila dada dikenainya, sesaknya serasa tak bisa hilang selamanya. Dan yang paling memilukan dari semua, di detik itu aku dipandang menjadi anggota tim yang paling tak berkualitas. Paling rendah mutunya. Sebab, menjadi penyebab dari kekalahan tim. Konsekuensinya, pertandingan berikutnya aku tidak boleh ikut. Itulah mengapa sesaknya terkena bola kasti seakan-akan bertahan selamanya.

Dalam permainan gobak sodor pun, nasib pilu serupa tak jua sirna. Akulah yang biasanya keluar dari gobak awal paling akhir. Menjadi pemain paling tak efektif dalam sejarah pergobak-sodoran tingkat desa. Dan tak jarang juga, aku menjadi penyebab kekalahan teman-teman, yang tanpa mereka berkata-kata apa pun, aku tahu mereka menyalahkanku.

Tapi menyerah bukan tipikalku. Pada suatu malam saat permainan sodor itu sedang seru-serunya, aku bermain tidak seperti biasanya. Gerakanku gesit, karena beberapa hari sebelumnya sudah berlatih lebih banyak. Tapi sial, belum menuntaskan satu laga, kakiku terkilir. Dan hasilnya: Saat aku pulang terpincang-pincang, ibu memarahiku habis-habisan. Meski begitu, beliau lantas membawaku ke tukang pijat.

“Ya Allah mengapa aku berbeda” teriakku di dalam hati, memekuri nasib diri sambil menatap kosong ke langit. Seandainya dalam sinetron, mungkin saat itu langit akan tiba-tiba mendung, disusul gelegar petir yang membahana, dan hujan yang membasahi tubuh sampai aku menggigil pulang. “Mengapa engkau menurunkanku di sini, di Alas Tengah ini, di tempat yang tidak memungkinkan unggul dalam segala jenis permainan ini” ucapku menyalahkan Allah saat itu.

Dan derita seakan tidak berhenti di situ. Di dalam keluarga, kakek yang sepertinya mengidamkan cucu kuat yang tangkas dan gesit tidak melihat sosok itu di dalam diriku. Maka, tidak jarang aku mendengar beliau mengeluhkan nasib sial itu. Saat tamu beliau bertanya tentang cucu, beliau memilih bercerita tentang sepupuku. Sepupuku selalu diceritakannya ke mana-mana. Dan entah mengapa si sepupu ini juga memiliki anugerah kecepatan belajar yang luar biasa. Belajar naik sepeda motor, belajar menyetir mobil, dan belajar merajam tembakau dilaluinya dengan mudah. Di sisi lain, meski berusaha keras perlu waktu lama bagiku untuk menguasai semuanya. Dan ketika aku menguasainya, maka penguasan itu sudah bukan lagi prestasi. Sudah basi.

“Sudah kamu nggak usah menyetir mobilku lagi” kata kakekku di tengah keramaian pasar pada suatu hari saat aku belajar menyetir mobilnya. Memang saat itu aku hendak menyerempet sepeda motor yang parkir, tapi itu pun hanya hampir, belaku terhadap ketidakmampuan diri sendiri. Maka, sepanjang perjalanan pulang dari belajar mobil itu, semuanya terasa lama. Terasa membeku. Dan di situ terpekur dua hal yang seakan saling menatap iba: aku dan ketidakmampuanku.

Sepulang dari belajar menyetir itu, ibu mendekatiku. Menatapku lamat-lamat dan begitu intens. Beliau tersenyum. Aku tahu itu senyum kecut. Beliau lalu membesarkan hati. “Engkau akan menyetir mobilmu sendiri nanti” ujar beliau singkat. Aku tahu itu demi membesarkan hatiku saja. Memiliki mobil sendiri bagi orang yang tidak cocok dengan lapangan pekerjaan utama di desa, tidak bisa merajam tembakau, tidak kuat menyiram tembakau, tidak tahu prosedur penamanan padi seakan mimpi di siang terik menyengat. Ya, itu hanya fatamorgana.

Aku baru tahu sekarang setelah memiliki dua buah hati, betapa sakitnya hati orang tua melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Betapa tercabik-cabik perasaannya melihat anak yang diharapkannya disia-siakan, dicampakkan, terutama oleh orang terdekatnya. Betapa keras dan liar kehidupan di luar sana, rumah dan keluarga hendaknya menjadi tempat peneduh yang mendamaikan anggota keluarga saat memasukinya. Dan itu tidak terjadi padaku. Pada anak yang disayanginya.

Mungkin satu-satunya harapanku saat itu hanya keluarga dari mendiang ayah kandung. Sebagai anak yang ditinggal yatim oleh ayahnya, aku kira cukup masuk akal untuk berharap akan menjadi cucu yang paling disayang. Paling ditunggu kehadirannya. Paling diharapkan kedatangannya. Ternyata aku salah. Secara fisik, wajahku berbeda dengan almarhum ayah. Yang lebih memiliki kemiripan adalah adik sepupuku dari garis ayah. Sebenarnya, sebuah kewajaran bila pada akhirnya keluarga dari almarhum ayah lebih menyayanginya daripada aku sendiri. Lagi-lagi perbedaan yang memisahkanku dari nasib baik yang aku harapkan. Perbedaan karakteristik fisik.

Padahal, aku adalah anak pertama dari dua keluarga besar, dan aku adalah anak yatim, ungkitku bolak-balik. “Aku berhak diperlakukan adil dan diperlakukan” berontakku di dalam hati.

Dan sepertinya saat itu, sebesar apa pun dan sekuat apa pun aku mencoba untuk bangkit, lalu membuktikan diri bahwa aku bisa lebih baik, sekuat itu pula tatapan sinis meruntuhkan mental. Meruntuhkan semuanya.Aku tidak pernah cukup baik. Tidak akan pernah cukup baik. Tidak pernah cukup berbakti. Tidak pernah cukup cerdas. Tidak pernah cukup mampu untuk mengatasi semuanya. Seakan-akan tak kan pernah cukup baik, meskipun seumur hidup aku mencoba dan berusaha sekeras apa pun.

Perasaan lemah, berbeda, tersisih, dan terbuang menghantam dada. Meremukkan mental yang perlahan terbangun sedikit demi sedikit. Tiba-tiba semua kasih sayang dan cinta seakan menguap, meninggalkan diri ini sendiri. Sebatang kara.

Rasanya seperti terhimpit di antara semua tumpukan ketidakberdayaan, kondisi serba-ingin dikasihani, dan keterbatasan yang menyesakkan dada. Dan yang paling sakit, aku seakan terbelenggu beban berat sehingga tidak dapat melakukan apa-apa. Lumpuh.

Dan tepat pada titik itu, hanya kepada Allah-lah aku berharap keajaiban. Dan sebagaimana biasanya, hanya orang yang hampir putus asa yang berharap keajaiban. Ya, keajaiban.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »