KORBAN-is-ME

Meratapi kekurangan, menangisi nasib sial, lalu menceritakannya kemana-mana demi mengais simpati merupakan kewajiban tiap kali bertemu orang baru. Orang lama pun tak luput menjadi sasaran kegelisahan diri. Semakin banyak bercerita, semakin besar keinginan untuk dipahami. Dimaklumi. Disenangi. Di antara cerita-cerita yang ditebarkan sedemikian rupa itu, bumbu-bumbu drama tak lupa diselipkan. Kebohongan kadang ikut serta. Hendak menciptakan efek yang lebih greget. Lebih ingin menimbulkan rasa kasihan. Mungkin saat itu, ketagihan memelas sedang mencapai puncak.

ayahSemakin banyak orang yang simpati, semakin besar keinginan untuk bercerita kepada lebih banyak orang. Meratapi nasib sendiri. Mengasihani diri seakan-akan tidak ada orang yang lebih menderita. Pada akhirnya, tidak semua orang memberi tanggapan serupa. Bila bertemu orang yang tidak memberikan simpati dan empati yang sama seperti yang diharapkan, hendak menyadarkan bahwa tak pantas rasanya aku dikasihani, semakin diri merasa terpojok. Semakin melas.

Sudah menjadi korban, tak dimengerti pula. Tak dimaklumi. Perasaan sebagai korban dari kesalahan desain nasib, terlahir sebagai yatim dan sering diejek seakan ditolak kehadirannya semakin menjadi-menjadi. Semakin membesar.

Lalu saat itu rumah seakan tidak pernah sama lagi. Mengembara, naik sepeda, lebih sering di rumah teman, dan mengukur jalan seakan berjalin kelindan setiap hari. Ya, aku lari. Bila simpati tak lagi diraih, kasih sayang seakan menguap perlahan, lari adalah keputusan paling masuk akal. Lari dari segala masalah, berusaha melupakan, dan bila nasib kembali mengingatkan, larilah lebih kencang.

Mungkin saat itu, lari adalah semacam mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan bawaan untuk menyangkal kondisi tidak menyenangkan yang menerpa. Bila perasaan sebagai korban mengemuka, bercerita tak lagi berefek sama, harapan untuk dimaklumi tak pernah terealisasi, lari. Larilah sekencang-kencangnya. Mungkin lari tak akan menyelesaikan masalah. Hanya menunda masalah. Atau bahkan lari itu sendiri sebenarnya masalah, tapi di hadapan diri yang tak mampu beradaptasi, lari satu-satunya jalan untuk membeli waktu. Membeli waktu untuk kembali berlari, atau kembali sadar agar dapat menghadapi konflik diri secara lebih memadai.

Tapi sejauh hidupku terbentang, selain memberi pilihan, Allah selalu memberi jalan atas setiap pilihan. Pilihan lari itu pun seakan-akan selalu direstui. Di setiap jalan itu, tersebar sejuta petunjuk untuk kembali. Untuk berhenti berlari, tapi kembali. Tapi bagi seorang pelari yang tak tahu garis akhir, semua petunjuk itu tak terbaca. Aku tak bisa membacanya. Mungkin petunjuk kembali itu serupa hidayah, tapi aku tak bisa memahaminya. Tak bisa meraihnya.

Merasa terlahir sebagai yatim pada usia delapan bulan memperunyam segalanya.

“Mengapa aku terlahir sebagai yatim” tanya seorang anak yatim pada pengasuhnya di panti asuhan.

“Karena Allah menyayangimu lebih dari anak lain” ujar sang pengasuh sambil mengelus rambut sang anak yatim tadi. “Jadi, Allah melindungimu dan mencintaimu secara langsung. Rasulullah juga yatim, dan beliau sangat menyayangi anak yatim” lanjutnya sambil menatap tulus wajah si anak yatim, yang tampak bahagia dengan jawaban menggembirakan dari sang pengasuh.

Itulah sepotong adegan salah satu film tentang anak yatim yang sering ditayangkan di TVRI pada saat kecil dulu. Adegan itu begitu melekat dan tergurat sempurna di kepalaku, bahkan hingga saat ini, dan mungkin adegan terbaik yang pernah dibuat tentang anak yatim. Bagiku, setidaknya.

Tapi bagi anak yang “merasa” yatim meskipun sudah akil baligh, “merasa” jadi korban setiap waktu, menjadi objek “ejekan” atau yang sekarang populer disebut bully­, kebenaran seperti apa pun bisa ditafsirkan keliru. Sama halnya dengan sebuah hadist yang menyatakan bahwa “manusia adalah tempat salah dan dosa”. Hadist ini lantas dijadikan pembenaran oleh banyak pihak atas segala kesalahan yang dilakukannya. Kadang pun disampaikan dengan wajah ketus dengan nada yang seirama, serupa misalnya “Aku memang bukan malaikat, aku manusia biasa, tempat salah dan dosa.”

Begitu juga sepotong adegan itu. Aku lantas memaknainya sebagai sebuah alasan universal, yang bisa digunakan kapan pun dibutuhkan untuk memaklumi kekurangan diri. Mengasihani diri sendiri. “Allah yang mengambil ayah kandungku, bukan mauku sendiri. Allah yang menakdirkanku menjadi begini. Lemah secara fisik. Menghujatku sama dengan menghujat Allah. Menghina kekurangan fisik sama saja dengan menghina Allah, karena Dia-lah yang menciptakanku begini. Tapi Dia menyayangiku.” adalah sedikit dari dalih-dalih yang aku ciptakan sendiri. Demi mengasihani diri sendiri, tentu.

Dengan begitu mendramatisir keadaan, mengolah kekurangan menjadi pembenaran yang selalu digunakan saat diperlukan membuat diri terfokus pada satu hal. Diri sendiri. Ya, diri sendiri. Bayangan diri seakan terpencar, terpendar ke seluruh penjuru bumi, penjuru semesta alam. Allah lantas kuminta, kupaksa memahami diri ini. Kekuatan dan kecerdasan kupinta di malam gelap gulita. Tanpa sadar, aku merasa seperti mentari. Ingin menjadi pusat dari segala perhatian, dan segala perwujudan.

Awalnya, kurasa korbanisme hanya memakan, merusak, dan menghancurkan diri sendiri. Korban(is)me (Korbannya hanya aku). Ternyata aku salah. Efeknya menjalar ke segala arah. Kepada ibu, aku kadang menentang beliau. Tidak menuruti kata-kata beliau. Membuat beliau menangis sudah bukan suatu hal yang menyentuh. Pada adik yang seakan mati-matian hendak main denganku, kutolak. Ah, salah satu memori paling kelamku sebagai seorang kakak, yang sayangnya seberapa berat pun aku mencoba, aku tidak bisa mengenyahkan rasa bersalah itu. Rasa bersalah itu begitu melekat erat, seakan selalu mengikutiku. Pada ayah (ayah sambung, ah aku mungkin akan menceritakannya nanti), aku sering tidak membantu beliau di sawah. Aku sering lari dari tanggung jawab itu.

Lalu tiba-tiba di tengah-tengah rasa bersalah itu, ayah yang pulang dari mengambil raport kelas 2 MTs tersenyum tulus saat menatapku. Gurat-gurat bahagia terlukis jelas di riak wajahnya.

 “Ayah tadi disuruh maju ke depan saat menerima raport” ujar beliau sambil menatapku lamat-lamat. Tatapan sendu bercampur bahagia. Beliau lantas menyerahkan raportku.

Kubuka pelan-pelan, dan...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »