Berkorban

SpiderManWell, korban lagi. Ya, saya sedang suka membahas korban. Unik, dan banyak sudut yang bisa diambil. Bukan karena saya sering merasa menjadi korban tentu, tapi karena korban sering kali diabaikan dalam beberapa pembahasan sejarah. Kita lebih sering membahas tentang pahlawan, bukan korban. Dan kita sering lupa bahwa pahlawan ada karena ada yang berkorban atau ada pengorbanan. Dalam prosesnya, sang pahlawan lupa bercerita bahwa keberadaannya dimungkinkan oleh orang yang rela berkorban.

Apa kecenderungan itu karena ada sesosok pahlawan dalam jiwa setiap orang? There's a hero inside of us? Retoris pertanyaan ini sebenarnya. Sebab, saya sendiri lebih suka menjadi pahlawan, bukan korban. Mungkin semua orang begitu. Pahlawan di dalam diri mungkin sejenis nafsul muthmainnah, hasrat untuk berbuat baik. Kita sering menyebutnya kata atau suara hati. Dan orang barat menyebutnya conscience.
Di situlah kita melihat pertentangannya dengan psikoanalisis. Dalam teori pembagian aparatus kepribadian yang begitu terkenal itu, ada tiga unsur yang dijelaskan Freud, yaitu id, ego, dan superego.

Agar tidak perlu susah mencari di Google, baiklah saya ringkaskan. Id dideskripsikan sebagai komponen kepribadian yang hadir sejak lahir, bersifat naluriah dan primitif, yang didorong dan dicetuskan oleh kesenangan. Kesenangan ini terealisasi dengan memuaskan atau memenuhi kebutuhan dan keinginan. Ego adalah komponen yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesenangan itu sesuai dengan realitas yang ada di sekitar, baik dalam kondisi pra-sadar, sadar, dan tidak sadar. Superego adalah unsur kepribadian pamungkas yang berisi standar, aturan, norma-norma susila, dan agama. Boleh juga ditambah Pancasila.

Ilustrasinya begini. Pada suatu siang yang sangat panas, id berbisik bahwa diskusi antara otot, syaraf, dan kepala serta saran dari cacing-cacing di perut menghasilkan kesimpulan bahwa kita haus. Si ego menyatakan bisa sih sebenarnya minum air putih, tapi kan es degan lebih melegakan. Lalu, si ego mendorong pemilik dirinya untuk bertanya kepada Lilik misalnya. “Apa bisa make uang kantor untuk beli degan” tanya si pemilik ego kepada Lilik, yang ada di ruang yang sama dan memegang uang operasional kantor. Bertanya kepada Lilik ini adalah hasil konsultasi antara id dan ego dengan superego, dan superego menyatakan bahwa itu masih etis, tidak melanggar hukum, dan tata kesusilaan serta normal sosial, sebagaimana diisyaratkan dalam sila keempat Pancasila.

Kembali ke pembahasan awal, id, bagi Freud, adalah satu-satunya elemen kepribadian yang muncul dari sananya, dari semenjak bayi lahir ke dunia. Bagi kita, bukan id satu-satunya yang ada di dalam diri kita. Kita dilengkapi id, tapi juga anti-id. Yang saya maksud, ya suara hati, akal, intuisi, dan bibit-bibit awal superego. Oleh karenanya, kita bisa diajari seperangkat aturan dan standar yang sesuai dengan norma agama, norma sosial, tata susila sesuai dengan butir-butir dalam Pancasila yang saya sebut di atas itu.

Bila tidak ada bibit-bibit superego, tidak ada akal, tidak ada suara hati, maka secerdas dan sesabar apa pun seorang guru tidak akan ada yang dapat mengajar atau membantu pembentukan superego seseorang. Dengan kata lain, kita tidak punya wadah, dan tanah yang membuat bibit pencerahan dapat tumbuh, mekar, dan membesar.

Jadi, inilah alasannya mengapa meskipun kita mencurahkan sebagian besar waktu dan konsentrasi terbaik, kita tidak akan pernah bisa, saya ulangi lagi, tidak akan pernah bisa mengajari, semisal ayam, tentang sila-sila Pancasila, apalagi pembukaan Undang-undang Dasar. Tidak akan pernah bisa. Jadi, begitu ya bung Freud, pendapat saya.

Jadi, a hero inside of us itu memang ada semenjak lahir. Setidaknya begitu menurut saya. Tapi ya memang kadar ke-hero-annya berbeda-beda. Oleh karena itu, ada superhero, ada hero, ada kw-hero. Bila kita pun termasuk kw-hero, banyak pula macamnya. Kw-Thailand, Kw-Tiongkok. Dalam kw-tiongkok pun, tak sedikit pula macamnya. Ada kw-1, kw-2, kw-3, dst.

Dalam praktiknya, kecenderungan kepahlawanan itu terejawantah secara berbeda di diri setiap orang. Ada yang mewujudkan kepahlawanannya dengan mengenakan kostum pahlawan. Cosplayer. Ada yang suka bertutur bijak. Mario atau Maria Teguh lah. Ada yang bekerja keras. Ada yang suka nyuci gelas dan piring temannya. Ada yang sukarela menjadi bahan bercandaan temannya. Ada yang diam saja. Ada yang menulis, ya macam saya ini hehe.

Tapi ya sekuat apa pun, seorang pahlawan adalah sosok hebat yang berani berkorban. Atau ada orang yang berani berkorban untuknya. Spiderman misalnya. Dia punya sosok seorang paman yang tertembak demi menegakkan keadilan atau berbuat baik saat menjemput Peter Parker yang ternyata sedang mencari uang dengan ikut smackdown. Spiderman sendiri berkorban dengan melepaskan wanita yang dicintainya. Dan tak kalah penting pula, dia berkorban mengenakan kostum ketat, dan wira-wiri ke sana ke mari. Bila kita ingin menghayati pengorbanannya, cobalah besok mengenakan kostum spiderman saat menuju Masjid. Dan efeknya...

Dan kita bisa juga menjadi pahlawan meskipun di saat bersamaan kita menjadi korban. Saat misalnya teman kita, saudara kita, atau orang yang kita anggap dan kita nyatakan begitu menusuk kita dari belakang. Berlaku khianat. Sakit memang. Berderai mungkin tangis kita. Habis mungkin kesabaran kita. Dan trauma itu akan menggurat dan membekas lama. Tapi saat kita tidak membalasnya, bersabar atas semuanya, tidak meng-update status Facebook tentang itu, dan tidak mengumbar cerita buruk itu ke mana-mana, kita menang dan menjadi pahlawan. Saat kita menang melawan id atau naluri primitif untuk menyerang balik, saat itulah kita menjadi pahlawan. Pahlawan bagi diri kita, dan harga diri kita minimal.

Berpahlawan dan berkorban adalah dua sisi koin uang yang takkan terpisahkan. Begitu terus selamanya...Setidaknya sampai Bank Sentral berhenti memproduksi uang koin hehe.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »