R.is.MA

“Kubuka album biru, penuh debu, dan usang” lantunku penuh sendu. “Kupandangi semua gambar diri. Kecil bersih, belum ternoda” lanjutku kemudian. Tidak ada nada yang mengiringi. Hanya suaraku. Seadanya. Cempreng, kata istriku tanpa basa-basi pada suatu waktu. Semua terdiam. Bukan karena terhanyut tentu. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Menatap layar setiap waktu. Mengganti satu kata dengan satu kata lain, lalu merangkainya menjadi kalimat. Dan kalimat itu berbaris menjadi angka transferan setiap bulan.

Aku bahkan ragu apakah mereka sebenarnya mendengarku menyanyi atau tidak.


R.is.MA“Kata mereka diriku selalu dimanja” lanjutku kemudian. Tiba-tiba, Risma seakan menahan napas. Teman-teman lain menoleh, dan aku tahu teman-teman sedang memperhatikan reaksi Risma. Apa dia sesak napas? Atau apakah lagu ini membuatnya menangis? Pertanyaan ini terlalu memuji sendiri sebenarnya. Sepertinya tidak mungkin, bila suaraku, yang ya begitu itu, bisa membuat seseorang menangis.

Saat memilih lagu ini sebagai lagu penebus hukuman karena kalah dalam suatu permainan, aku hanya sedang rindu pada seseorang. Seseorang yang dengan suara lirih merdunya meruntuhkan segenap pertahanan egoku. Seorang yang entah mengapa membuatku kangen siang itu. Ya, dialah ibu dari anak-anakku. Dan lagu ini, beserta lirih merdu suaranya, selalu berhasil mengobati rasa kangenku.

Namun, aku alfa akan satu pertimbangan, bukan mempertimbangkan suaraku tentu: Apakah lirik lagu ini akan berefek nelangsa terhadap Risma. Risma kehilangan ibu yang terlebih dahulu dipanggil Allah ke haribaan-Nya. Setahuku, dan setahu kami, hubungan beliau dengan Risma begitu dekat, dan setiap kali mendengar kata ibu kesedihan seakan terpancar otomatis dari wajahnya.

Parahnya, aku melakukan salah satu kesalahan fatal saat itu. Kukirim suatu pekerjaan beberapa hari sepeninggal sang bunda. Kutanya perihal kesediaannya menangani pekerjaan itu. Pekerjaan itu hanya bisa ditangani Risma. Alasan apa pun yang mendasari pembenaran mengapa aku mengirimkan pekerjaan itu sudah merupakan kesalahan. Harusnya aku tahu, harus paham, tidak boleh ada satu alasan pun. Titik.

Aku hanya menduga bahwa ada dua respons yang akan diberikan seseorang terhadap kesedihan: meratapi dan merenunginya atau berusaha melupakan semuanya. Cara melupakan semuanya tentu bisa ditempuh dengan menyibukkan diri. Salah satunya ya bekerja. Itulah landasan berpikirku.

Aku baru tahu di kemudian menit bahwa cara berpikirku khas cara berpikir orang yang tidak peka, dan bukan perasa. Di saat seharusnya kepekaan itu timbul, justru cara sebaliknya yang aku ambil. Saat kutelepon untuk mengklarifikasi maksudku, Risma hanya bisa menangis. Lirih dan pilu. Sungguh, mendengar tangisannya saat itu membuat hatiku koyak.

Yang membuat semuanya tampak parah lagi, saat teman-teman hendak berangkat takziyah, aku malah diminta orang tua pulang ke rumah. Aku hanya bisa menitipkan salam. Berat rasanya hati ini sebenarnya. Tidak hadir dalam momen-momen kritis dan penting seperti itu seakan membuatku seperti manusia dengan rasa tega dalam tingkat yang begitu sadis.

Melihat diriku sendiri saja saat itu tak sudi rasanya. Wajah ini. Hati ini. Diri ini begitu kotor. Begitu tak berharga. Pada teman yang berbudi luhur dan selalu siap tangannya diulur, aku malah urung hadir. Sakitnya betul-betul tak terukur.

Dari semuanya, ketidakhadiran itu paling menyesakkan dada. Rasa bersalah itu terus membuncah hingga beberapa hari kemudian. Bahkan sampai detik ini apabila aku mengingatnya, sedih rasanya. Sakitnya di hati. Dan tak tahu hingga kapan rasa bersalah itu akan mereda. Meskipun sebenarnya aku tahu, dan aku sudah tahu dari dulu, dia sudah lama memaafkanku. Bahkan mungkin sebelum aku mengucapkan permintaan maafku.

Tapi ada satu sisi yang selalu menyangsikan apakah betul aku sudah benar-benar dimaafkan.

“Apakah kesalahan seperti itu layak dimaafkan?” pikirku, sambil terpekur dalam lamunan dan menimang-nimang sendiri kesalahan demi kesalahan yang sudah kubuat. Namun, dalam pergulatan batin itu, rasanya tak mungkin Risma akan mengingat-ingat dan tidak memaafkanku. Dia berbudi luhur.

Kemungkinan besarnya, aku yang tidak dapat memaafkan diri sendiri. Akulah yang bergelimang dalam penyesalan karena kebodohan dan ketidakpekaan itu. Mestinya, dan sudah selayaknya aku hadir, menyampaikan dukungan, berbela sungkawa, dan menghaturkan doa agar ibunda tenteram dan damai di alam sana.

Kejadian itu mengajariku satu pelajaran yang takkan pernah kulupa. Pelajaran untuk belajar mengasah kepekaan dan berupaya keras hadir dan betul-betul hadir dalam momen-momen penting saudara kita, teman kita. Sebab, merekalah yang mewarnai hidup ini. Merekalah yang menguatkan kita saat goda dunia membentur dan memerosokkan kita. Terlebih bila ada kaitannya dengan orang terdekat dalam hidup kita, bunda.

“Oh bunda ada dan tiada dirimu kan slalu ada di dalam hatiku” tutupku siang itu. Teman-teman bertepuk tangan, dan Risma terisak dalam tangis, dan dia langsung menuju ke dapur. Lilik lalu menenangkannya. Sejenak kemudian saat air mata itu dilapnya, dia tersenyum kembali.

“Pokoknya, mas Anton harus nyanyi satu lagi sebagai hukuman" ujarnya. Ucapan yang jelas melegakan, sebab aku yakin dia baik-baik saja. Dan dia sudah pasti terbiasa memaafkan kesalahan-kesalahanku.

Ah siang itu serasa baru kemarin ini.

Dan tak terasa sebentar lagi dia akan menjadi sosok seorang bunda yang sebenarnya. Sosok bunda yang baik tentunya, seperti halnya beberapa waktu lalu saat dia masih memasakkan kami nasi setiap hari, mencucikan piring dan gelas-gelas kotor kami, dan terkadang membuatkan kue yang rasanya masih manis hingga detik ini.

Kami yakin, haqqul yakin, bahwa dia akan menjadi sesosok ibu yang baik. Selalu dikasihi, dan disayangi. Karena begitulah dia biasanya kepada kami, dan kami kepadanya, selalu kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi, demi Ilahi Rabbi. Selamat ulang tahun kawan, dan selamat menjelang menjadi sosok seorang ibunda.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »