Rumah

RumahKetika beranjak besar seusia tujuh sampai sekira sebelas tahun, aku lebih sering berada di luar rumah. Berkelana, bersepeda, bermain, mengembara bersama teman–teman. Favoritku: Mandi di sungai. Kadang, kami menyusuri aliran sungai yang diteduhi pohon bambu yang bengkok. Di bagian tengah hingga ujung bambu itu lalu terdapat beberapa ular aneka warna dan rupa yang bergelantungan. Dari gerak gemulai tubuhnya yang memanjang itu, mereka seakan bercanda bersama rekan ular lainnya.

Melihat kami yang melintas di bawahnya, para ular itu terdiam sejenak. Menatap kami secara serius. Kami yang bercanda di atas permukaan sungai yang berwarna kecokelatan itu pun tiba-tiba terdiam. Mengikuti bisikan instingtif alami. Melawan kumpulan ular yang merasa terganggu sama dengan mengancam kesalamatan diri sendiri. Meskipun kami terlatih berenang di dalam air sungai berlumpur itu, tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatan renang ular. Belum ada.

Kami juga menatap para ular itu. Tatapan sopan tentu. Kami hendak meminta izin melintas. Menganggap kami yang tak mengeluarkan gestur takut atau tindakan membahayakan, mereka seakan mengerti. Memahami dari lubuk hati, mungkin. Mereka pun kembali bergelayut, bergelantungan, dan bercengkerama mesra dengan ular lainnya.

Kami pun melintas dengan lebih lembut, lebih perlahan, lebih mengurangi keberisikan. Kami mengikuti kredo tak tertulis, yang tercatat di hati kami masing-masing: Siapa yang tidak membahayakan tidak akan pernah terkena bahaya. Sebuah kredo yang membekas di hati kami sehingga dalam perkembangannya kami jarang terlibat perkelahian antar sesama anak desa.

Caraku, dan cara kami berinteraksi dengan sungai, dengan kangkung yang tumbuh di samping-sampingnya, dengan ikan wader yang berloncatan riang di antara arus sungai bukan hasil latihan. Tentu interaksi dengan ular-ular itu bukan karena kepala kami disihir Lord you know who sehingga kami bisa berbahasa ular. Kami tentu tidak kenal Harry Potter, ya kalau-kalau ada yang penasaran.

Itulah insting alami khas anak desa yang biasa bergumul dengan alam. Berinteraksi akrab dengan sungai. Sesekali bertemu jin, di sebuah gundukan belukar yang ternyata di bagian tengahnya terdapat makam. Selama kami tidak menganggu, tidak ada yang akan mengganggu kami.

Setelah jenuh menelusuri keajaiban-keajaiban kecil di desa, aku pun sering berkembara bersepeda dengan temanku di sekolah. Sugianto namanya. Tak sedikit kami berkelana mengunjungi danau alami di desa Tamansari. Danau kecil ini konon angker. “Kadang engkau akan menemukan ikan besar yang sekali menggigitmu akan membuatmu kesurupan” ucap salah satu teman. Toh kami juga menceburkan diri ke sana. Melepaskan diri dari ketakutan, dan menuju kemungkinan yang belum kami tahu. Saat keberanian itu berwujud nyata, saat itulah kami merasa menjadi juara.

Di lain waktu, kami memasuki bangunan candi yang ada di Jabung, Paiton. Masuk secara ilegal ke kolam renang yang terletak di Jabung juga kadang. Menyusuri sungai-sungai kecil sepulang dari lokasi-lokasi itu. “Banyak pemandangan indah di sepanjang sungai” ucap Sugik, panggilan akrab Sugianto, begitu bersemangat, yang lantas mengayuh sepeda dengan cepat. Sialnya, “pemandangan itu” tidak tersaji. Terlalu siang. Pemandangan itu biasanya tersaji pada pagi atau sore hari. Kami pun tertawa melihat ketololan kami salah memperkirakan jadwal tayang pemandangan alami yang biasanya berjejer sepanjang sungai.

Bersama Silam, salah seorang teman lainnya, aku menikmati petualangan berbeda. Bersamanya aku mengikuti jadwal tanam tembakau para petani di rumah. Membantu orang menanam tembakau di desaku memberi satu hal: Nasi bungkus yang berlauk telur. Menu variatif yang sering kami nikmati hanya di musim tanam tembakau saja. Di sawah petani lain, tidak jarang kami kebagian menu variatif yang tak kalah menggoda: Ketan dengan buburan parutan kelapa, plus kopi manis yang dilahap di pematang sawah.

Rumah, bagi Anton kecil, hanya sekadar tempat mandi, berganti pakaian, kadang makan, tempat menitipkan buku, dan tidak lebih dari itu. Tidur? Lebih sering di Musholla bersama teman-teman. Makan? Kadang kami meminta mangga, kacang, dan kelapa secara diam-diam. Kepada siapa? Tentu kepada pohonnya masing-masing. Kadang tak jarang dari keluarga kami sendiri, tentu setelah kami makan habis semuanya terlebih dahulu. Dalam kebanyakan kasus, mereka lebih sering memaklumi tingkah polah nakal kami.

Mungkin rasa “tidak kerasan” dari rumah itu akibat perasaan terbuang, perasaan merasa tidak diterima apadanya, merasa dihakimi kadang, dan merasa terlalu dikasihani. Rumah, mungkin saja, harusnya semacam tempat perlindungan dari marabahaya dunia luar, dari ancaman dan kekejaman dunia luar sana. Tempat kita merebahkan badan setelah lelah seharian berkejaran dengan tuntutan.

Atau mungkin, ketidakbetahan di rumah itu lebih karena aku menemukan rumah di mana-mana. Di hati teman-teman yang menerimaku apa adanya, yang tak pernah menuntutku, yang membuatku dan membuat kami tertawa terbahak-bahak tanpa saling takut akan ditegur, yang membuat kami bebas beraksi selama tidak saling menyakiti, yang menyimak kisah tanpa berkeluh kesah, yang mendorong tanpa merongrong, dan berjanji untuk berkasih sayang tanpa takut ditusuk dari belakang.

Itulah rumah. Rumah cemara, yang damai dan tenteram. Rumah yang juga kutemukan di tempat kerja, saat Iwan berdendang, Singgih tersenyum tertahan, Muhajir berceletuk spontan, Lilik membawa jajan, Risma bercerita pelan, Ika perlahan datang, Ela tertawa kencang, Dewi bersenandung penuh penghayatan, dan Mia bila ada nasi juga belum mau makan.

Ah, rumahku, semoga engkau akan selalu begitu. Selalu begitu.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »