Dia mengendap-endap dalam rimbun semak.
Sesekali bersembunyi di sisi pohon. Jejeran batu raksasa tak luput pula dibidiknya.
Ada seseorang yang selalu dinantinya, diharapnya dari jauh.

Dia ingat lima tahun lalu, seorang pemuda
tersesat. Dia lari dari kerumunan orang-orang yang mengejarnya. Terengah-engah.
Wajahnya pucat, dan badannya melemah. Sebagaimana sudah ditugaskan padanya,
digariskan dalam garis takdirnya, dia harus menghalangi siapa pun memasuki
hutan rimbun Onserva.
Tapi cinta sudah membutakannya. Dia ingat betapa
tatapan pemuda itu menembus cepat tembok yang sudah dibangunnya tinggi nan kuat.
Merembes, dan langsung merubuhkan. Trauma akibat dikutuk suami durhakanya seakan
terhapus mudah. Sekali tatapan. Kutukan sang suami sederhana: dia hanya bisa
mengulang kata terakhir yang didengarnya.
Syahdan, sang peri membiarkan pemuda itu masuk
ke dalam. Melihat bentangan hijau pepohonan, desah angin yang membelai, arus
air terjun yang seakan menatapnya lamat membuat pemuda itu takjub.
Tapi sialnya makhluk lain di hutan Onserva memberikan
perlawanan. Kakinya tertusuk duri, yang membuat pemuda itu sakit tak kepalang. Dia
akhirnya keluar tunggang langgang dari hutan. Rasa takjubnya hilang seketika,
dan dia mengalami ketakutan luar biasa.
Dia lantas menyalahkan, dan mengusir makhluk
kecil itu dari hutan. Hari ini, dia masih menunggu lagi. Membeku dalam
penantian. Tapi dia bukan tipikal orang yang bisa diam. Dia terus bergerak,
dari satu persembunyian ke persembunyian lain. Bergerak membuatku sedikit
meredakan siksaannya, ucapnya.
Sehari berlalu, dia masih menunggu. Dua hari
kemudian, dia tetap menikmati tersiksa dalam penantian. Hari-harinya dihabiskan
bersembunyi dalam sepi hari.
Hingga pada hari ketiga tahun kelima, pemuda
itu datang kembali. Rupanya dia penasaran, takjub, atau mungkin ketagihan.
Seperti lima tahun sebelumnya, dia
diperkenankan masuk ke dalam hutan. Tak ada lagi penghalang. Semua makhluk di
dalam hutan tak punya cukup keberanian untuk melukai peri penjaga hutan, yang
sudah sekian lama seakan gila disiksa penantian.
Merasa dibuntuti, si pemuda setengah berteriak
“Siapa kamu?”
“Kamu...” ulang si peri.
“Keluar kalo kamu berani. Ayo hadapi aku”
“Aku..”
“Mengapa kamu membuntuti aku? Ayo keluar, kita
selesaikan masalah ini berdua.”
“Berdua...” Wajahnya langsung berbinar. Tersihir
satu kata akhir. Untuk pertama kalinya, kata akhir yang diucapkannya sesuai
dengan yang berkecamuk di hatinya. Muncul keberaniannya untuk keluar dari
semak-semak, dan menunjukkan diri pada pemuda yang memang baru sekali
dilihatnya tetapi seakan sudah seribu tahun dirindukannya.
Si pemuda terkejut. Wajahnya langsung pucat. Si
peri yang sedang riang lantas memeluknya. Syahdan, si pemuda mendorong si peri
hingga jatuh terjelengkang.
“Pergi kamu. Tak sudi aku dipeluk makhluk
sepertimu”
Wajah si peri berubah memerah. Kecewa teramat
sangat. Tapi dia tak bisa mengeluarkan kata-kata atau pun kekuatan untuk
menyakiti si pemuda.
Dia lantas berlari jauh keluar dari hutan, dan
menuju pegunungan. Di gunung, dia meratapi kesedihan akibat ditolak. Dikecewakan.
Dihina oleh orang yang pertama kali dicintainya. Perlahan tapi pasti, tubuhnya
melemah, akibat sepi disiksa rindu dan sakit disiksa penghinaan. Hingga
akhirnya, yang tersisa dari tubuh dan pikirannya hanya suara. Dia bertekad akan
mengulang kata-kata orang yang sakit hati yang meluapkan rasa kecewanya di
puncak gunung agar mereka tak merasa sendiri. Mengulang akhir kata dari sebuah kalimat.
Nama peri itu adalah peri Gema.
“Dan apabila tersiksa dalam penantian tanpa
tepi, dan pada akhirnya engkau tak bisa memperjuangkannya, engkau sebenarnya
bukan mencinta, tetapi menggema. Mengulang akhir kata dari sebuah kalimat. Dan
cintamu itu hanya akan berakhir menjadi satu suara dan menempel di batu gunung”
ucap Gema di akhir hidupnya. “Itulah kutukanku.”