![]() |
source: http://bit.ly/1Kz9oyg |
Ditikam dari arah mana pun akan sakit. Lebih
tak terukur apabila arahnya dari belakang. Bukan karena tikamannya, tetapi
lebih kepada efek psikologisnya. Dampak benturannya yang mengguncang jiwa.
Lebih tak terkira lagi bila ternyata si penikam
menggunakan belati yang kita percayakan tempo hari. Dan ketika tikaman usai,
setelah kita menengok, dia ternyata orang terdekat.
Malam lantas terasa begitu panjang. Memori
buruk, sakit hati, memori indah yang tiba-tiba berubah muram, cerita-cerita
buruk dari orang lain yang kita tepis, tanda-tanda dari alam yang kita enyahkan
berlalu lalang silih berganti, teraduk, dan bercampur menjadi kafein tingkat
tinggi.
Mata tak bisa sepicing pun diajak berdamai.
Lebih parahnya lagi, dia lantas seakan-akan seabadi zam-zam. Tak pernah terkuras
habis. Lintasan ingatan bercampur getir terus berjalin kelindan. Denyut
jantung, pikiran kalut, dan raga yang tak hendak diajak bergerak memperburuk
semuanya.
Semuanya buruk. Sangat buruk.
Keesokan harinya, saat lelah mendera, mata tak
mampu mempertahankan dayanya, lelap tak mampu ditolak, mimpi-mimpi menakutkan
datang. Kadang zombie berkaki lima, kadang si penikam hadir dalam rupa paling
menakutkan, kadang hantu dan alien mengejar kita terus menerus sampai kehabisan
napas. Dan yang paling menakutkan, mimpi ditinggal sendiri. Tak ada yang lebih
menakutkan daripada ditinggal sendiri di lorong gelap tanpa tepi.
Dunia
sadar, sub-sadar, dan tidak sadar seakan berkonspirasi. Ke mana pun tujuan
diarahkan, di situ kegelapan hadir.
Hidup sudah layaknya tanpa pegangan. Tanpa
pedoman. Tiba-tiba makna hidup menguap habis.
Ditikam dari belakang mungkin serupa balon
yang dilubangi kecil dari belakang. Dia tidak serta merta kempis, tetapi
menguap perlahan. Semakin lama, semakin kita kehabisan bahan bakar. Dan saat
hampir habis, kita baru menyadari kita ditikam dari belakang. Tak jarang oleh
orang yang paling kita sayang. Sudah begitu, belatinya adalah yang kita percayakan.
Kita pun mengikuti siklus yang sama, setiap
siang dan malam. Tak kuasa hati dan diri mengalahkannya. Malam-malam terusik.
Siang tak bisa leluasa. Mimpi-mimpi itu serasa akan selamanya tinggal.
Saat perlahan bangkit, kita lantas bertanya adakah
orang yang masih bisa kita percayai tindakan dan ucapannya?
Hati dan pikiran masih enggan. Mungkin itulah
dampak terbesarnya: Kita jadi ragu dan tidak yakin siapa lagi yang bisa kita
percayai. Semua orang kemudian tampak seperti penikam.
Mungkin itulah yang dialami Fajar, bukan nama
sebenarnya. Pada suatu sore yang sebenarnya biasanya saja, dia mengajak
kekasihnya ke rumah.
“Hendak kukenalkan pada ortu, agar dapat restu”
ucapnya sambil tersenyum.
Lalu diajaklah pasangannya menemui si ayah.
Fajar dibesarkan oleh ayahnya saja, setelah si ibu memutuskan pergi entah
kemana. Sang ayah konon selingkuh. Si ibu yang sakit hati alang kepalang lantas
pergi meninggalkan Fajar dan adiknya.
Setelah basa-basi, keduanya lantas pamit. Tak
ada yang aneh. Semuanya berlalu seperti wajarnya hari-hari biasa.
Beberapa hari setelahnya, si pacar kemudian
meminta putus. Tak ada penjelasan. Hanya satu kata itu yang keluar: Putus.
Titik. Si Fajar sakit hati bukan main. Dia merasa tak melakukan satu kesalahan
pun. Dia merasa diperlakukan tidak adil.
Dunia dan bangunan indah yang diimpikannya runtuh
seketika.
Saat sedang berusaha menyembuhkan hati, si
ayah lantas menyampaikan rencana untuk menikah lagi. Wajar menurutnya, karena
sudah lama sang ayah hidup sendiri. Yang menjadi pukulan telak bagi Fajar
kemudian adalah calon ibu tirinya adalah mantan pacarnya sendiri, yang baru
beberapa hari lalu memutuskan cintanya.
Fiksi? Bukan. Ini kisah nyata. Bayangkan bila
itu yang menimpa kita.
Hmmm, membayangkannya saja sudah sangat
mengerikan.
Pelajaran moralnya bagi para korban aksi tikam
dari belakang: Selalu ada yang lebih sakit daripada kita. Ada yang lebih parah
di luar sana. Selalu ada. Tak ada alasan untuk tak bersyukur atas karunia itu.
Dan wujud dari syukur itu, kita harus bisa
belajar memaafkan. Bukan dalam rangka melupakan, tetapi dalam rangka
menyembuhkan diri. Mungkin, hanya mengikhlaskan dan memaafkan yang bisa
mengobati luka hati.
Susah memang. Sulit. Bukan main peliknya. Tapi
kita harus berusaha. Masih banyak Fajar-fajar lain di luar sana, dan kita masih
tergolong beruntung.
Bila pun tak bisa, tak apalah menikmati lagu Bad Blood sambil bawa perasaan dan ingatan.
Siapa tahu ingatan itu perlahan pudar, dan kita bisa belajar lagi mengikhlaskan
dan memaafkan.