![]() |
source: http://bit.ly/1jgL1zF |
Dia berjalan gontai, dan santai. Sesekali
berjalan cepat mengikuti ritme dan laju jalan orang lain. Dalam kebanyakan
kasus, dia berjalan begitu saja: rileks.
Di sebuah perjalanan taksi ke sebuah simposium
besar, dia ditanya oleh pengemudi taksi. “Maaf, Anda sepertinya petani sukses.
Bisa naik taksi” ujarnya sambil menyunggingkan senyum.
Temanku itu menyeringai perlahan. “Kok tahu
saya petani?”
“Dari penampilannya saya yakin bapak itu
petani. Gimana pertanian di daerah bapak? Sekarang musim apa?”
“Saya pengajar Pak. Dosen orang menyebutnya”
jawabnya jujur, tak hendak menyampaikan kebohongan. Dia tersenyum sambil
terkekeh sedikit. Demikian juga si pengemudi taksi.
Si sopir meminta maaf. Dia awalnya yakin
sekali bahwa dia itu petani, bukan dosen. “Penampilan bapak menipu saya”
ujarnya sebelum berpisah. Teman saya yang dosen itu biasa saja. Bukan suatu
penghinaan baginya. “Sudah biasa” ujarnya pada suatu waktu.
Temanku satunya lain lagi. Pada suatu waktu,
dia bertemu dengan orang yang akan mengontrak rumahnya. Setelah terlibat
percakapan agak panjang, calon pengontrak rupanya mulai ragu. Tapi dia simpan
saja keraguannya.
Di pertemuan berikutnya, lantas si calon
pengontrak rumah bertanya “Maaf, betul kan bapak yang punya rumah ini?” tanyanya
lugu dan jujur. Aneh? Tidak, si calon penyewa hendak memastikan dia berbicara
dengan orang yang benar. “Saya kira pesuruh si empunya rumah” katanya sambil
tersenyum malu.
Teman saya yang pemilik rumah ini hanya
tersenyum. Diremehkan dan dianggap kecil sudah bukan hal asing baginya.
Meskipun awal-awal menyakitkan, tetapi dia “meneguk hikmah yang lebih banyak”
ujarnya. Pernah bahkan pada suatu waktu, teman saya ini dianggap orang
“berpenyakitan yang sudah menahun.” Sebab, begitu kurus dan tak terurus
penampilannya.
Nah, yang menganggap teman saya berpenyakitan
itu saat itu adalah calon mertuanya sendiri. Sangat tidak mengesankan bagi si
calon menantu, kan?
Apa mereka tidak keberatan dianggap serendah
itu, tanyaku pada suatu waktu. Sebab, mereka santai saja dan seakan lebih mudah
menjalani hidup.
“Bagaimana berat menjalani hidup lha wong
beban saja nggak punya” ucapnya. Beban itu muncul saat orang lain berharap dan
menganggap diri kita lebih dari kita aslinya. Lebih baik. Lebih hebat. Lebih
kaya. Aslinya kita nggak punya uang tapi karena kita berpenampilan perlente
kita jadi dianggap punya uang berlebih. Sumbangan yang diharapkan dari kita pun
akan lebih banyak. Lha kita sudah kadung dianggap kaya, ucapnya berteori.
Wah benar juga ya, ucapku.
Kedua, penjual dan penipu itu kadang sama.
Kalau dia hendak mencari pembeli atau korban, dia memilih korban yang secara
penampilan lebih meyakinkan. Terlihat lebih kaya dan sukses. Masak petani gurem
mau dikasih selebaran mobil, sampai kapan pun dia tidak akan bisa membelinya.
Jadi, menurut ngilmu marketting, prospecting
adalah menyesuaikan kriteria barang yang dijual dengan kriteria si prospek
alias calon pembeli.
Jadi, menurut buku besar marketting dan penipuan orang-orang macam saya, demikian kesimpulannya,
tidak akan pernah jadi korban marketter
dan penipu. Sebab, secara look sudah tidak meyakinkan. Mungkin yang bergelayut
di benak si penipu adalah sesama penipu jangan menipu. Hehe, ujarnya sambil
menyeringai khas.
Jadi, ah ini kesimpulan yang biasanya
digunakan menasihatiku, sebaiknya hindari menjadikan bayanganmu lebih besar
daripada aslimu. Hidupmu jadi berat. Langkahmu jadi tertahan. Sebelum melangkah
pun engkau akan memikirkan pendapat orang terlebih dahulu. Sebelum memilih
pakaian, engkau akan membayangkan ekspresi orang-orang di sekitar dulu. Untuk
tertawa saja, engkau akan berpikir seribu kali mengenai opini orang.
Bahkan untuk tertawa mikir opini orang sampai
seribu kali, sahutku hampir tak percaya.
Engkau jadi hidup sesuai tuntutan orang. Dan
semakin lama tuntutan itu semakin tinggi saja. Lebih baik disangka penipu
padahal orang alim, daripada disangka orang alim bijaksana padahal penipu.
Orang yang kedua ini yang banyak merusak. Lebih destruktif.
Ooo begitu. Jadi, kau tidak pernah ketipu?
Ya, realita kadang tidak seindah bayangannya.
So, perkecillah bayangan dan pantulanmu, agar tidak berat langkahmu. Ucapnya,
yang lantas mengakhiri pertemuan kami.