Kunci Bahagia Nomor 110: Berhenti Merasa Berjasa

Yoni, sebutlah namanya begitu, adalah seorang pekerja konstruksi. Tugasnya sederhana: di setiap proyek konstruksi yang dikerjakan perusahaannya, dia harus mengawasi keluar masuk material bangunan, dan memastikan tidak ada kebocoran.

Jadi, untuk urusan berapa karung semen yang digunakan setiap hari, berapa truk pasir yang dihabiskan para tukang, dan berapa kubik batu yang disedot pondasi suatu bangunan, dialah pengeceknya. “Pemeriksa kebenaran, dan verifikatur” ucapnya.

Bawahan? Dia tidak punya. Atasannya ya bos konstruksinya sendiri. Konon, sudah belasan tahun si Yoni ini ikut sang bos. Setia mengikuti kemana pun si bos ini menunjuk.

Pada suatu waktu, Yoni memiliki keperluan mendadak. Dia perlu uang. Dengan bekal “merasa” memiliki loyalitas dan jasa besar atas perusahaan, si Yoni memberanikan diri menghadap kepada bosnya.


Ah, sialnya si bos sedang kesulitan dana tunai. Si Yoni pun marah kemana-mana. Cerita buruk pun ditebar ke mana-mana. Orang yang baru dikenalnya pun dicurhati tentang si bos yang tak tahu terima kasih ini.

Kita pasti sering atau setidaknya menjumpai kisah-kisah yang mirip dengan cerita nyata yang disampaikan di atas, atau bahkan mengalaminya. Posisi kita mungkin ya sebagai orang yang “berjasa” atau objek penderita orang-orang yang merasa berjasa sekali terhadap kehidupan kita ini.

Merasa berjasa biasanya dialami oleh orang yang posisinya di bawah, semisal bawahan, kesetan, sandalan, dan posisi bawah lainnya. Yang pasti satu: Dia sedang merasa tidak beruntung.

Gejala merasa berjasa dan lantas mengungkitnya ini disebut juga melankolia. Ya, semacam perasaan nestapa, apes, inferiority complex lain. Sisi melankolia dimiliki oleh setiap orang, apa pun jenis kepribadiannya.

Untuk mengompensasi rasa kecil itu, lalu dicarilah objek yang lebih besar untuk dijadikan tempelan. Semacam obat untuk mengobati rasa rendah diri. Mungkin lho ya.

Seringnya, orang yang kita rasa sudah kita beri jasa, loyalitas, kerja keras, dan lain-lain itu tidak merasa bahwa kita orang yang berjasa. Tidak menganggap jasa kita cukup signifikan sehingga bersumbangsih terhadap kesuksesannya. Nah loh. Tambah nelangsa kan.

Ada sebenarnya yang lebih nelangsa lagi. Begini misalnya: kita sudah merasa sangat melambung tinggi, dan sangat “berjasa” sekali. Berkat kita, orang lain atau lembaga meraih pendapatan sekian miliar, misalnya.

Penerima jasa kita ternyata tidak menganggapnya begitu. Kita ternyata aslinya bukan berjasa, tetapi malah penghambat. Bukti otentiknya lantas terpampang jelas di pelupuk mata: sepeninggal kita, lembaga atau orang lain yang kita merasa berjasa terhadapnya lantas lebih besar, lebih maju, lebih bahagia, dan lebih sukses.

Aduh biyung, apes dua belas. Sudah jelas sekali: kitalah penghambatnya, dan ya kita tidak meninggalkan jasa apa-apa. Dan sebaiknya ya kita tidak merasa berjasa.

Atau kisah teman saya begini: Dia merasa sudah sangat mencintai sang mantan. Dia berkorban habis-habisan. Sampai sudah tidak ada lagi yang bisa dikorbankan. Saking habis-habisannya. Loyalitasnya ditujukan untuk gebetannya itu seorang. Tak terbilang berapa malam yang dia habiskan untuk stalking, melihat foto profil, tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa bahagia bila keduanya menikah, dan punya anak-anak.

Ternyata, si gebetan memilih pergi ke orang lain. Sekarang tampaknya si mantan lebih bahagia, lebih ciamik, dan lebih pintar, bersama pasangannya yang sekarang. Ya jelas: berarti kita penghambat, dan kita tidak berjasa sama sekali.

So, berhentilah merasa berjasa.

Rasa bahagia dan rasa syukur malah biasanya terpanjat apabila kita mengingat jasa orang lain terhadap kesuksesan dan kebahagiaan kita, bukan sebaliknya. Mengingat jasa kita terhadap kesuksesan orang lain.


Benci rasanya menyimpulkan tulisan ini ala Mario Teguh, tapi ya terimalah akhirul kalam dari celoteh malam ini. “Berhentilah merasa berjasa, maka Anda akan lebih bahagia. Itu” hehe.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »