
Jadi, untuk urusan berapa karung semen yang
digunakan setiap hari, berapa truk pasir yang dihabiskan para tukang, dan
berapa kubik batu yang disedot pondasi suatu bangunan, dialah pengeceknya. “Pemeriksa
kebenaran, dan verifikatur” ucapnya.
Bawahan? Dia tidak punya. Atasannya ya bos
konstruksinya sendiri. Konon, sudah belasan tahun si Yoni ini ikut sang bos.
Setia mengikuti kemana pun si bos ini menunjuk.
Pada suatu waktu, Yoni memiliki keperluan
mendadak. Dia perlu uang. Dengan bekal “merasa” memiliki loyalitas dan jasa
besar atas perusahaan, si Yoni memberanikan diri menghadap kepada bosnya.
Ah, sialnya si bos sedang kesulitan dana tunai.
Si Yoni pun marah kemana-mana. Cerita buruk pun ditebar ke mana-mana. Orang
yang baru dikenalnya pun dicurhati tentang si bos yang tak tahu terima kasih
ini.
Kita pasti sering atau setidaknya menjumpai kisah-kisah
yang mirip dengan cerita nyata yang disampaikan di atas, atau bahkan
mengalaminya. Posisi kita mungkin ya sebagai orang yang “berjasa” atau objek
penderita orang-orang yang merasa berjasa sekali terhadap kehidupan kita ini.
Merasa berjasa biasanya dialami oleh orang yang
posisinya di bawah, semisal bawahan, kesetan, sandalan, dan posisi bawah
lainnya. Yang pasti satu: Dia sedang merasa tidak beruntung.
Gejala merasa berjasa dan lantas mengungkitnya
ini disebut juga melankolia. Ya,
semacam perasaan nestapa, apes, inferiority complex lain. Sisi
melankolia dimiliki oleh setiap orang, apa pun jenis kepribadiannya.
Untuk mengompensasi rasa kecil itu, lalu dicarilah
objek yang lebih besar untuk dijadikan tempelan. Semacam obat untuk mengobati
rasa rendah diri. Mungkin lho ya.
Seringnya, orang yang kita rasa sudah kita
beri jasa, loyalitas, kerja keras, dan lain-lain itu tidak merasa bahwa kita
orang yang berjasa. Tidak menganggap jasa kita cukup signifikan sehingga
bersumbangsih terhadap kesuksesannya. Nah
loh. Tambah nelangsa kan.
Ada sebenarnya yang lebih nelangsa lagi. Begini
misalnya: kita sudah merasa sangat melambung tinggi, dan sangat “berjasa” sekali.
Berkat kita, orang lain atau lembaga meraih pendapatan sekian miliar, misalnya.
Penerima jasa kita ternyata tidak menganggapnya
begitu. Kita ternyata aslinya bukan berjasa, tetapi malah penghambat. Bukti
otentiknya lantas terpampang jelas di pelupuk mata: sepeninggal kita, lembaga
atau orang lain yang kita merasa berjasa terhadapnya lantas lebih besar, lebih
maju, lebih bahagia, dan lebih sukses.
Aduh
biyung, apes dua belas. Sudah jelas sekali: kitalah
penghambatnya, dan ya kita tidak meninggalkan jasa apa-apa. Dan sebaiknya ya
kita tidak merasa berjasa.
Atau kisah teman saya begini: Dia merasa sudah
sangat mencintai sang mantan. Dia berkorban habis-habisan. Sampai sudah tidak
ada lagi yang bisa dikorbankan. Saking habis-habisannya. Loyalitasnya ditujukan
untuk gebetannya itu seorang. Tak terbilang berapa malam yang dia habiskan
untuk stalking, melihat foto profil,
tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa bahagia bila keduanya menikah, dan
punya anak-anak.
Ternyata, si gebetan memilih pergi ke orang
lain. Sekarang tampaknya si mantan lebih bahagia, lebih ciamik, dan lebih
pintar, bersama pasangannya yang sekarang. Ya jelas: berarti kita penghambat,
dan kita tidak berjasa sama sekali.
So, berhentilah merasa berjasa.
Rasa bahagia dan rasa syukur malah biasanya
terpanjat apabila kita mengingat jasa orang lain terhadap kesuksesan dan
kebahagiaan kita, bukan sebaliknya. Mengingat jasa kita terhadap kesuksesan
orang lain.
Benci rasanya menyimpulkan tulisan ini ala
Mario Teguh, tapi ya terimalah akhirul kalam dari celoteh malam ini. “Berhentilah
merasa berjasa, maka Anda akan lebih bahagia. Itu” hehe.