Karena Bayangan Selalu Lebih Kecil

source: http://bit.ly/1jgL1zF
Dia berjalan gontai, dan santai. Sesekali berjalan cepat mengikuti ritme dan laju jalan orang lain. Dalam kebanyakan kasus, dia berjalan begitu saja: rileks.

Di sebuah perjalanan taksi ke sebuah simposium besar, dia ditanya oleh pengemudi taksi. “Maaf, Anda sepertinya petani sukses. Bisa naik taksi” ujarnya sambil menyunggingkan senyum.

Temanku itu menyeringai perlahan. “Kok tahu saya petani?”

“Dari penampilannya saya yakin bapak itu petani. Gimana pertanian di daerah bapak? Sekarang musim apa?”

“Saya pengajar Pak. Dosen orang menyebutnya” jawabnya jujur, tak hendak menyampaikan kebohongan. Dia tersenyum sambil terkekeh sedikit. Demikian juga si pengemudi taksi.

Teruntuk Kita, Korban Aksi Tikam dari Belakang

source: http://bit.ly/1Kz9oyg
Ditikam dari arah mana pun akan sakit. Lebih tak terukur apabila arahnya dari belakang. Bukan karena tikamannya, tetapi lebih kepada efek psikologisnya. Dampak benturannya yang mengguncang jiwa.

Lebih tak terkira lagi bila ternyata si penikam menggunakan belati yang kita percayakan tempo hari. Dan ketika tikaman usai, setelah kita menengok, dia ternyata orang terdekat.

Malam lantas terasa begitu panjang. Memori buruk, sakit hati, memori indah yang tiba-tiba berubah muram, cerita-cerita buruk dari orang lain yang kita tepis, tanda-tanda dari alam yang kita enyahkan berlalu lalang silih berganti, teraduk, dan bercampur menjadi kafein tingkat tinggi.

Kunci Bahagia Nomor 110: Berhenti Merasa Berjasa

Yoni, sebutlah namanya begitu, adalah seorang pekerja konstruksi. Tugasnya sederhana: di setiap proyek konstruksi yang dikerjakan perusahaannya, dia harus mengawasi keluar masuk material bangunan, dan memastikan tidak ada kebocoran.

Jadi, untuk urusan berapa karung semen yang digunakan setiap hari, berapa truk pasir yang dihabiskan para tukang, dan berapa kubik batu yang disedot pondasi suatu bangunan, dialah pengeceknya. “Pemeriksa kebenaran, dan verifikatur” ucapnya.

Bawahan? Dia tidak punya. Atasannya ya bos konstruksinya sendiri. Konon, sudah belasan tahun si Yoni ini ikut sang bos. Setia mengikuti kemana pun si bos ini menunjuk.

Pada suatu waktu, Yoni memiliki keperluan mendadak. Dia perlu uang. Dengan bekal “merasa” memiliki loyalitas dan jasa besar atas perusahaan, si Yoni memberanikan diri menghadap kepada bosnya.

Gema: Akhir Tragis si Peri Setia

Dia mengendap-endap dalam rimbun semak. Sesekali bersembunyi di sisi pohon. Jejeran batu raksasa tak luput pula dibidiknya. Ada seseorang yang selalu dinantinya, diharapnya dari jauh.

Penantian itu selalu membuat jantungnya berdegup kencang. Membayangkan wajahnya saja sudah membuat hatinya seakan melompat-lompat. Ya, pemuda rupawan itu sudah merampok hampir seluruh kewarasannya.

Dia ingat lima tahun lalu, seorang pemuda tersesat. Dia lari dari kerumunan orang-orang yang mengejarnya. Terengah-engah. Wajahnya pucat, dan badannya melemah. Sebagaimana sudah ditugaskan padanya, digariskan dalam garis takdirnya, dia harus menghalangi siapa pun memasuki hutan rimbun Onserva.

Tapi cinta sudah membutakannya. Dia ingat betapa tatapan pemuda itu menembus cepat tembok yang sudah dibangunnya tinggi nan kuat. Merembes, dan langsung merubuhkan. Trauma akibat dikutuk suami durhakanya seakan terhapus mudah. Sekali tatapan. Kutukan sang suami sederhana: dia hanya bisa mengulang kata terakhir yang didengarnya.