Sumber: |
“Apa respons Bu Evi setelah saya menulis
ucapan terima kasih?” tanya salah seorang teman, yang juga mahasiswa beliau di
UM.
“Beliau berucap terima kasih” jelasku di YM.
“Indah sekali. Saya sangat tersanjung. Semoga apa yang kita pelajari jadi ilmu
bermanfaat dan bekal kita di akhirat. Amin, terima kasih” begitu lengkapnya.
Jujur, akulah yang harus berterima kasih. Baik
sebagai murid, atau sebagai pembaca postingan seorang “teman” FB. Catatan my-coming-out story yang ditulis dari
sudut pandang orang perempuan pertama membuka mataku. Tidak hanya tentang penyakit
endeometrosis yang menjadi titik fokus catatan itu, tetapi rasa sakit atau
nyeri pra, saat, atau pasca haid yang dialami perempuan secara personal. Setiap
perempuan pastinya merasakan nyeri secara berbeda-beda, karena setiap nyeri
memiliki ceritanya sendiri-sendiri. Dan setiap perempuan memiliki dukanya
sendiri-sendiri.
Bila pada suatu titik kulihat teman kantor
yang kesakitan dan bawaannya emosional saja sebelum dan saat menstruasi, aku
akan belajar memakluminya. Membantu meringankan bila perlu. Atau mungkin aku
perlu mengangkat topi sebagai tanda penghargaan. Mereka merasakan nyeri setiap
bulan. Dan karenanya harus menjadi konsumen setia minuman yang namanya saja
sudah patriarkal (mengapa juga mereknya juga KIranti, bukan NYIranti kan?).
Dan tak sedikit pun mereka ingin pensiun menjadi perempuan.
“Cewek
kok cengeng dan manja!” ujarku menyimpulkan pada suatu waktu.
Berengsek sekali kedengarannya kan? Merasakan nyeri serta sakit juga nggak. Dan entah bagaimana caranya,
aku seakan-akan tahu rasa sakit yang mereka alami. Aku menggunakan kacamata
orang yang tidak pernah merasakan nyeri dan sakit untuk melihat nyeri dan sakit
yang dirasakan orang lain.
Atau kita menggunakan kacamata orang tua kita
misalnya. “Ibuku tidak pernah secengeng dan semanja itu, meskipun beliau juga
mengalami nyeri sebelum dan saat haid” ujar kita. Kita, utamanya diriku ini,
tak pernah mau tahu. Nyeri dan sakit bersifat personal. Setiap orang memiliki
rasa sakit sendiri-sendiri. Ataupun bila pun sama, ketahanan setiap orang pastinya
berbeda. Ya, orang tua kita tidak hidup di era Facebook. Ketahanan tubuh mereka
lebih baik. Bukan karena mereka jarang selfie, tetapi karena mereka tidak pernah
mendapatkan asupan “beracun” dari fast food, snack ber-MSG, dan aneka ‘racun’
lain yang dihadirkan kehidupan modern.
Dan tulisan coming-out story membukakan mataku bahwa setiap perempuan itu unik.
Demikian halnya lelaki. Dan sejak saat itu, kuberjanji akan mencoba menghindar dari
menggeneralisir sesuatu berdasarkan asumsi. Ada baiknya aku selalu mendengar
dan menyimak. Membuka mata dan melepaskan tutup telinga. Membaca dan memaklumi.
Berkenan bersimpati dan berempati. Dan terakhir, belajar menjadi manusia.
Mungkin itu yang diharapkan Bu Evi, yang juga sedang menyelesaikan studi
gender. Mungkin, meskipun aku tidak selalu setuju dengan feminisme, salah satu tujuan
feminisme adalah menyadarkan kaum laki-laki agar berkenan mendengar herstory, sehingga kita tidak mudah berprasangka.
Tidak men-judge tanpa mendengar pendapat. Serta tidak menjadikannya manusia
kedua, yang tidak perlu dipertimbangkan perasaan dan pemikirannya.
Aku akan lebih memahami dan memaklumi istriku.
Bila “bulan” sudah tiba di peraduan, artinya aku harus lebih bisa bersabar.
Melipatgandakan kemampuan mendengar dan menahan emosi. Dan memijat kaki dan
badannya yang pegal-pegal. Dan berhenti membandingkannya dengan ketangguhan ibuku.
Ya, meskipun mungkin aku tidak sesabar Mas Fadli, seperti yang diceritakan Bu
Evi dalam catatannya, aku akan berusaha keras untuk bersabar dan belajar sabar.
Benar memang ungkapan yang dibagikan di
Facebook secara masif. Cara terbaik mencintai anak kita adalah mencintai dan
memperlakukan ibunya dengan baik. Anak yang hidup di lingkungan orang tua yang
saling mencintai, mengasihi, serta saling mendukung akan tumbuh menjadi anak
yang juga menghargai orang lain. Mencintai pasangannya kelak dengan baik. Dan
dengan kesadaran itu, aku akan berusaha keras mencintai ibu dari anak-anakku.
Dan ya meskipun hidup kita kini dipenuhi
prasangka seksis “sein kiri belok kanan”,
kita sebagai laki-laki harus berusaha menghargai perempuan di sekeliling kita.
Tidak men-judge-nya secara serampangan bila mereka belum dikaruniai buah hati.
Tidak menuduhnya macam-macam bila belum bersuami. Karena setiap perempuan unik,
dan setiap perempuan memiliki ceritanya masing-masing.
Itulah sedikit yang kupelajari saat aku belajar
membaca perempuan. Meskipun perlu kuakui, semua ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.