Jadilah Pemimpi atau Jadilah Pengeluh - Jawabnya untuk menanggapi pertanyaan dan pernyataan berapi-api nan beruntun dari seorang mahasiswa yang bertempat tinggal di batas timur Indonesia. Mahasiswa itu memulai dengan paparan yang menggelitik tentang disparitas yang jauh antara wilayah Indonesia dan wilayah Timor Leste.
Salah satu teman kecil saya sudah menjadi menteri, sementara saya masih menjadi pengacara, pengangguran banyak acara. Grrr. Hampir semua hadirin tertawa. Tepuk tangan membahana.
Dia bercerita kalau anak-anak dari luar pulau Jawa sebenarnya otaknya cerdas. Terbatasnya fasilitas membuat mereka tidak berkembang. Bila pada saat kuliah diharuskan bersaing dengan calon mahasiswa dari Jawa, selamanya mereka tidak akan bisa menang, simpulnya.
Pernyataan yang juga diamini oleh pemateri. Dan "Sampai kiamat pun tidak akan pernah mereka bisa bersaing. Saya sudah mencoba melakukan program afirmasi. Tapi terbatas di wilayah saya saja. Di Kemenag saja" sanggah Pak Imam pada siang itu.
Ya, kita hanya harus memilih "Jadilah pemimpi atau jadilah pengeluh. Pemimpi mendapatkan impian dan prestasi. Sementara pengeluh, mendapatkan belas kasihan. Sama-sama dapat sesuatu. Pilih salah satu" balasnya.
Kalimat itu menohok penanya, saya yakin. Sebab, kalimat itu juga menohok saya. Beberapa waktu terakhir ini, saya banyak mengeluh. Itu yang perlu saya akui. Banyak memikirkan apa yang tidak ada. Membayangkan apa saja yang kurang. Mestinya, saya mensyukuri dan mengembangkan apa yang ada. Keluhan itu akhirnya hanya menjadi lingkaran setan. Selain membuat saya tidak pernah berkembang, kehidupan juga jadi terkekang. Kreativitas jadi mandul. Jalan keluar jadi tertutup.
Ya, seperti halnya yang disampaikan pemateri dari Kemenag pada hari Sabtu 26 Agustus 2017 kemarin, saya harus memilih: Menjadi pemimpi atau menjadi pengeluh.
Dan meskipun ada dua pilihan, toh sejatinya hanya satu yang boleh dipilih: Menjadi pemimpi.
Dengan menjadi pemimpi, kita jadi punya bahan bakar yang tak terbatas. Setiap kesulitan menjadi ladang belajar. Dan setiap kelemahan menjadi ajang untuk memperbaiki diri. Setiap aral yang melintang hanya membuat kita makin mahir untuk melompat lebih tinggi. Dan makin tinggi lagi. Dan hanya mimpi yang membuat kita bertahan kuat meskipun badai dahsyat seakan hendak menghancurkan kita berkeping-keping.
Entah mengapa saya jadi teringat lagu Laskar Pelangi yang dinyanyikan Nidji. Yuk kita simak di bawah ini:
Salah satu teman kecil saya sudah menjadi menteri, sementara saya masih menjadi pengacara, pengangguran banyak acara. Grrr. Hampir semua hadirin tertawa. Tepuk tangan membahana.
Dia bercerita kalau anak-anak dari luar pulau Jawa sebenarnya otaknya cerdas. Terbatasnya fasilitas membuat mereka tidak berkembang. Bila pada saat kuliah diharuskan bersaing dengan calon mahasiswa dari Jawa, selamanya mereka tidak akan bisa menang, simpulnya.
Pernyataan yang juga diamini oleh pemateri. Dan "Sampai kiamat pun tidak akan pernah mereka bisa bersaing. Saya sudah mencoba melakukan program afirmasi. Tapi terbatas di wilayah saya saja. Di Kemenag saja" sanggah Pak Imam pada siang itu.
Ya, kita hanya harus memilih "Jadilah pemimpi atau jadilah pengeluh. Pemimpi mendapatkan impian dan prestasi. Sementara pengeluh, mendapatkan belas kasihan. Sama-sama dapat sesuatu. Pilih salah satu" balasnya.
Sumber gambar: dakwatuna.com |
Kalimat itu menohok penanya, saya yakin. Sebab, kalimat itu juga menohok saya. Beberapa waktu terakhir ini, saya banyak mengeluh. Itu yang perlu saya akui. Banyak memikirkan apa yang tidak ada. Membayangkan apa saja yang kurang. Mestinya, saya mensyukuri dan mengembangkan apa yang ada. Keluhan itu akhirnya hanya menjadi lingkaran setan. Selain membuat saya tidak pernah berkembang, kehidupan juga jadi terkekang. Kreativitas jadi mandul. Jalan keluar jadi tertutup.
Ya, seperti halnya yang disampaikan pemateri dari Kemenag pada hari Sabtu 26 Agustus 2017 kemarin, saya harus memilih: Menjadi pemimpi atau menjadi pengeluh.
Dan meskipun ada dua pilihan, toh sejatinya hanya satu yang boleh dipilih: Menjadi pemimpi.
Dengan menjadi pemimpi, kita jadi punya bahan bakar yang tak terbatas. Setiap kesulitan menjadi ladang belajar. Dan setiap kelemahan menjadi ajang untuk memperbaiki diri. Setiap aral yang melintang hanya membuat kita makin mahir untuk melompat lebih tinggi. Dan makin tinggi lagi. Dan hanya mimpi yang membuat kita bertahan kuat meskipun badai dahsyat seakan hendak menghancurkan kita berkeping-keping.
Entah mengapa saya jadi teringat lagu Laskar Pelangi yang dinyanyikan Nidji. Yuk kita simak di bawah ini:
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Bebaskan mimpimu di angkasa
Warnai bintang di jiwa
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya
Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lengkapi kita
Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Jangan berhenti mewarnai
Jutaan mimpi di bumi
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Ya, mimpi adalah kunci. Untuk kita tetap bertahan menghadapi segala cobaan dan godaan yang seakan hendak menyelewengkan kita dari tujuan. Dari impian yang sudah kita pancangkan dari awal.
Mimpi, jadikanlah aku laskarmu. Bantu aku meraih mimpiku....