Syaniah, salah satu pembaca blog
sederhana ini, meminta tolong agar saya ikut membantu menjelaskan puisi To
Earthward yang dirajut oleh Robert Frost. Bukan permintaan tolong yang mudah
tentu. Sebab, puisi ini juga baru saya tahu. Baru saya baca.
Tapi dengan senang hati saya mengabulkan permintaannya. Karena untuk penulis puisi satu ini, seribu purnama pun akan saya luangkan (#halah lebay).
Tapi dengan senang hati saya mengabulkan permintaannya. Karena untuk penulis puisi satu ini, seribu purnama pun akan saya luangkan (#halah lebay).
Berikut puisinya serta terjemahan
saya.
Love at the lips was touch
As sweet as I could bear;
And once that seemed too much;
I lived on air
Cinta di bibir itu sentuhan
Semanis yang bisa kutahan;
Dan begitu terlalu
besar;
Kuhidup di awang-awang
That crossed me from sweet things,
The flow of – was it musk
From hidden grapevine springs
Down hill at dusk?
Yang melintasiku
dari hal-hal manis,
Aliran itu –itu wangi kesturikah
Dari sumber air
anggur tersembunyi
Turuni bukit di senja hari?
I had the swirl and ache
From sprays of honeysuckle
That when they’re gathered shake
Dew on the knuckle.
Aku pusing, aku radang
Terkena semprotan kamperfuli
Saat kuambil, dia tergetar
Embun di buku jari.
I craved strong sweets, but those
Seemed strong when I was young;
The petal of the rose
It was that stung.
Kuingin manis yang kuat, tapi ternyata
Tampak kuat saat aku muda;
Kelopak bunga mawar itu
Begitu menyengat.
Now no joy but lacks salt
That is not dashed with pain
And weariness and fault;
I crave the stain
Tak ada ceria tanpa asin garam
Yang tak diterpa perih
mendalam
Serta keletihan dan kekeliruan;
Kuingin tanda
Of tears, the aftermark
Of almost too much love,
The sweet of bitter bark
And burning clove.
Dari aliran air mata, tanda lahir
Dari hampir terlalu banyak cinta,
Rasa manis kulit yang pahit
Dan cakar yang membakar.
When stiff and sore and scarred
I take away my hand
From leaning on it hard
In grass and sand,
Saat kaku dan sakit dan luka membekas
Kujauhkan tanganku
Agar tak bersandar dengan kuat
Pada rumput dan hamparan pasir,
The hurt is not enough:
I long for weight and strength
To feel the earth as rough
To all my length.
Sakitnya tak cukup:
Kuingin lebih berat dan kuat
Hingga kurasakan dentuman
tanah
Hingga seluruhku.
Gimana terjemahannya? Eh,
puisinya? Bagus kan!
Tak seterkenal The
Road Not Taken atau Fire
and Ice. Tapi puisi ini, entah mengapa, langsung menarik hati saya. Memesona pada pandangan pertama.
Mari kita bahas satu per satu.
Pelan-pelan saja agar kita bisa menyelaminya. Menggunakan tema alam dalam
penjabarannya, puisi ini menggunakan rima ABAB, CDCD, dan seterusnya. Puisi ini
masuk kategori iambic. Penggunaan
rima ini tergolong ketat. Tak ada satu pun yang keluar dari pola rima yang
sudah ditetapkan di awal. Saat membaca puisi ini dalam bahasa Inggris, kita
bisa merasakan betapa puisi ini sangat ritmis. Terdengar enak di telinga. Bila kita
baca, tak akan membuat pembacanya terengah-engah karena barisnya juga
pendek-pendek.
Selain itu, Pak Robert Frost menggunakan seluruh pancaindra. Mulai dari penglihatan, pengecap, pembau, pendengar hingga perasa, semua digunakan dalam puisi ini. Untuk indra perasa misalnya, terdapat baris "stiff and sore and scarred".
Selain itu, Pak Robert Frost menggunakan seluruh pancaindra. Mulai dari penglihatan, pengecap, pembau, pendengar hingga perasa, semua digunakan dalam puisi ini. Untuk indra perasa misalnya, terdapat baris "stiff and sore and scarred".
Sekarang yuk kita bahas tentang maknanya. Puisi ini membahas tentang bagaimana cinta berubah dari tahun ke tahun. Dari masa ke masa. Dari era ke era. Untuk merefleksikan proses perubahan itu, puisi ini memenggal kisahnya menjadi dua bagian. Kisah masa lalu dan kisah saat ini.
Itulah mengapa di awal-awal puisi, Robert Frost menggunakan bentuk past tense (masa lampau), lalu kemudian bentuk kalimatnya berubah menjadi present tense (masa kini).
Awal-awal, puisi membukanya dengan kalimat masa lampau yang indah, Love at the lips was touch. Yang dimaksud cinta pada sentuhan ini tentu adalah ciuman. Dari ciuman yang manis lalu si aku "lived on air (hidup seakan-akan di awang-awang" saking banyaknya.
Apakah keindahannya sampai di situ? Belum. Ada musk, grapevine springs, ada pula honeysuckle yang digunakan oleh si penulis puisi untuk menceritakan betapa cinta begitu indah pada mulanya.
Ada peralihan kemudian pada baris "It was that stung". Cinta yang awalnya indah berubah. Ternyata rasa manis yang kuat itu hanya terasa pada saat si penulis masih muda usia. Ternyata cinta yang dianalogikan kelopak mawar itu menyengat. Ekstrak madu yang membawa serta "racunnya".
Kisah yang indah-indah itu lalu berubah. Sekarang setiap kali ada joy atau kegembiraan, mesti ada "salt" yang menyertai. Tak lagi selalu manis. Setiap kisah cinta yang indah selalu disertai rasa perih, terdera rasa letih, dan dibebani kekeliruan demi kekeliruan.
Kok seperti kisah orang menikah atau pacaran awal-awal ya? Pertama bertemu, dunia serasa surga yang dikapling hanya berdua. Tak ada orang lain. Senyum ramah dan sapaan indah menghiasi hari-hari. Puisi dan kata cinta bertebaran. Setiap kali menoleh, rasanya dia selalu ada.
Hari-hari berlalu, pertikaian kecil mulai hadir. Kata-kata mulai tak ramah. Sikap mulai goyah. Kemarahan sedikit demi sedikit mulai terpicu. Ada yang karena telat tidak balas WA, ada yang karena mengklik like untuk postingan mantan, dan beragam aktivitas kecil tak berguna lain. Ada yang karena pertengkaran besar akibat salah satu berkhianat.
Lalu apa klimaks yang ditawarkan puisi ini? Saat rasa sakit tidak cukup kuat, orang yang kecewa akan berharap rasa sakit yang lebih besar. Lebih berat. Bahkan kematian, seperti yang dijelaskan di baris "To feel the earth as rough". Ya, hanya kematian yang diharapkan saat cinta sudah begitu mengecewakan.
Kisah-kisah seperti diceritakan dalam puisi ini toh juga muncul dalam kisah-kisah klasik cinta yang tercatat sejarah. Romeo dan Juliet misalnya. Atau Anthony dan Cleopatra.
Saat Anthony tiada, si Cleopatra juga menghabisi sendiri nyawanya.
2 comments
commentsthanks you sir for your helping...
Replyi need one more, that is dust of snow poem from Robert Frost, can you help me to translate and analyze it??
Replythanks you...