alfabet

aku itu A
hampir ada di setiap kata
menciptakan bermiliar kalimat, ungkapan jiwa

aku itu B
ikhlas menjadi yang kedua
sekadar ada pun tak apa, asal berguna

aku itu C
jalan ninjaku menjadi cukup & ceria
tak pernah berharap, tak pernah pula kecewa

aku itu D
menyertai derap langkah
menyerap setiap keluh kesah

.....

aku itu Z
terakhir tak harus kesepian
karena jarangku pun diperhatikan dan dirindukan

 



Perjuangan Menimba Ilmu

Perjuangan Menimba Ilmu

Seperti hari-hari biasanya, Azam memulai hari dengan membantu sang ibu mencuci baju, membersihkan kamar, merapikan seprai, atau memasak. Setelah rutinitas itu selesai, Azam lalu pergi bermain.

Namun, hari itu ada pemandangan berbeda. Saat tengah asyik bermain, ia melihat seorang anak lelaki yang tampak kewalahan. Keringatnya mengucur deras dari dahi dan membasahi kaos t-shirt berwarna putih yang bergambar garuda Pancasila. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya terlihat pucat pasi.

Tak tega, Azam pun bergegas untuk mendekati anak tersebut dan berpamitan kepada teman-temannya yang sedang bermain sepakbola. Setelah melihat sejenak, ternyata rantai sepedanya terputus. Karena terselip di antara roda gigi belakang, sepedanya pun berat saat dituntun. Meskipun sudah mencoba memperbaiki, masalahnya tak kunjung teratasi malah cenderung tambah parah.

Ari pun bilang agar sepeda tersebut tetap dituntun saja. Mendengar itu, Azzam pun berkata bahwa akan membantu mendorong sepeda tersebut.

“Oya, namaku Azam, namamu siapa?” sapa Azam yang lupa sedari tadi tidak memperkenalkan diri.

“Oo Azam. Namaku Ari.” balasnya sambil menjabat tangan yang dijulurkan oleh Ari. Ari tersenyum. Meskipun napasnya masih tersengal, dia terlihat lega sekali. “Terima kasih ya.”

“Iya, sama-sama. Omong omong rumahmu di mana Ari?”

“Tepat sebelum perempatan itu”

“Oh, kamu anak baru yang menempati rumah besar itu ya?”

“Iya aku baru pindah dari Lawang. Sejujurnya, aku belum sempat berkenalan dengan anak-anak di sini. Malu” Ari mengelap peluh yang menetes dari dahi dengan kaos putih. Kaosnya pun jadi berwarna kekuning-kuningan. Ia lalu bercerita bahwa ia pindah ke Singosari karena rumah lamanya harus dihancurkan karena proyek jalan tol yang melintasi Lawang. Karena belum punya teman, Ari lantas sering bersepeda sendirian.

“Kalau kamu mau, besok aku temani berkenalan dengan teman-teman di sini. Mereka asyik-asyik anaknya.”

“Alhamdulillah, terima kasih ya. Oh kita sudah sampai di rumah.” Ari lantas membuka gerbang besar berwarna cokelat. Karena kesulitan mendorong, Azzam pun ikut membantu. Sepeda lalu dimasukkan ke teras luas yang berwarna abu-abu. Meskipun ingin melihat dengan seksama tamannya Ari, Azzam sungkan sehingga dia memalingkan muka.

“Terima kasih sudah membantu ya, Azzam.”

“Ya, sama-sama Ri”

Azam lalu bergegas pulang karena terdengar suara azan dzuhur dari masjid Annur. Di jalan, Azzam tersenyum. Ia teringat nasihat ayah dan ibunya untuk selalu ringan tangan.

Sesampainya di rumah, dia menceritakan kejadian itu kepada sang ibu.

**

Keesokan harinya, sesuai janji, Azam menuju ke rumah Ari. Di sepanjang jalan, Azzam terlihat bingung. Dia bingung tentang bagaimana ya caranya memanggil Ari.

Sesampainya di rumah Ari, Azzam mengetuk pintu gerbang. Namun, bukannya terdengar kencang, tangannya malah sakit karena pintu gerbangnya sangat tebal. Azzam lalu mondar-mandir di depan gerbang.

Untungnya, lima menit kemudian, ada sepeda motor yang mendekat. Si pengendara sepeda motor lalu bertanya kepada Azzam sedang mencari siapa. Ternyata si pengendara adalah kakaknya Ari.

Ari pun dipanggil oleh kakaknya. Setelah itu mereka berangkat ke pos kamling, tempat berkumpulnya anak-anak Jl Masjid Barat.

“Assalamualaikum” ucap Ari saat mendekati pos kamling.

“Waalaikum salam” balas mereka serempak.

“Ini Ari, teman-teman”

“Salam kenal semuanya.” ucap Ari.

Mereka lalu bersalaman sambil memperkenalkan nama masing-masing. Mereka pun berangkat main di sawah. Setelah berpeluh-peluh di sawah, mereka mandi di kali yang ada di samping masjid.

Saat adzan duhur berkumandang, mereka saling berpamitan. Azam dan Ari pulang bersama sambil membahas betapa seru petualangan mereka barusan. Ari juga bercerita bahwa besok ia tidak bisa main besok pagi meskipun tidak bersekolah. Sebab, pertemuan tatap muka diganti dengan pembelajaran daring dan semua tugas diberikan melalui hape.

**

Azam bingung dan pusing mendengar cerita Ari. Daring. Pembelajaran jarak jauh. Hape. Dia sulit mencerna kata-kata itu. Bukannya tidak tahu, Azam hanya bingung karena keluarganya tidak ada yang punya hape.

Azam sendiri hidup pas-pasan bersama sang ayah yang bekerja serabutan. Ibunya ibu rumah tangga biasa. Sepanjang malam Azam bimbang. Bila memberi tahu orang tuanya, ia khawatir membuat mereka bingung. Tapi bila tidak memberi tahu, mereka juga akan bertanya-tanya karena Azam tidak berangkat sekolah. Pikiran yang berjolak dan hati yang gundah tetap saja kalah oleh rasa lelah. Azam pun tertidur.

**

Seusai sholat subuh, Azam berketetapan hati untuk menyampaikan apa yang terjadi. Namun, sebelum ia sempat berkata-kata, sang ayah menanyai

“Zam, kamu kok wajahnya bingung begitu to le?”

“Ya Pak, sejak semalam nggak bisa tidur?

“Kenapa”

“Hari ini sekolah online Pak. Sekolah online artinya make hape. Kita kan nggak punya Pak?” ucapnya sambil menundukkan wajah yang lesu.

Mendengar itu, sang ayah mengatakan bahwa akan mengusahakan. Azam tahu bahwa itu sekadar menghibur. Jangankan hape, untuk makan saja, kadang mereka kesulitan.

Beberapa saat berselang, ibunya memanggil. Ia tidak lagi bernafsu makan atau minum. Di benaknya, dia hanya berpikir bagaimana caranya sekolah online. Hape pun tak punya. Terbayang kemudian cita-citanya untuk menjadi dokter. Bagaimana ia bisa menjadi dokter, sekolah daring pun dia tidak bisa.

Setelah makan dan berpamitan kepada sang ibu, dia keluar mencari teman-temannya. Tentu saja tidak ada sama sekali karena mereka belajar online. Dia pun sendirian di pos kamling.

Beberapa waktu kemudian, ada sepeda motor yang lewat. Terdengar ada yang memanggil namanya. Ternyata Ari.

“Zam kamu kenapa kok sendirian di situ” ujar Ari yang mendekatinya setelah turun dari sepeda motor ayahnya.

“Aku bingung Ri. Hari ini mulai sekolah online dan kami sekeluarga nggak punya hape”

“Jadi, kamu nggak bisa belajar online?”

Azam tertunduk lesu. Wajahnya terlihat gusar. Sorot matanya kosong.

Ari lalu bergegas ke arah sang ayah, lalu kembali mendatangi Azam.

“Gimana kalo kamu ke rumahku aja Zam. Kata ayah, kamu boleh make hapeku satunya. Ada satu hapeku yang sudah gak kepake”

“Wah beneran ini? Aku nggak mengganggu kan Ri”

“Iya beneran.” Ari menatap kedua mata kawan yang baru dikenalnya dua hari itu. “Kata ayah boleh kok. Malah ayah yang nyuruh” lanjut Ari.

“Ayo sekarang ke rumah” ajak Ari sambil menarik tangan Azam.

Azam lalu mengajak Ari untuk pulang dulu untuk berpamitan dengan ibunya sekaligus mengambil buku.

Azam sebenarnya malu saat memasuki pelataran rumah besar Ari. Namun, Ari keukeh. Ibunya Ari lalu menyambut mereka berdua dengan senyum. Ari dan Azam mencium tangan beliau.

**

Azam lega bisa bersekolah. Ari pun tak kalah bahagia karena bisa membalas kebaikan hati Azam.

*Oleh Kafka Abdurrahman Haryadi

Dear K - Jadilah Semut (Amplop 2)

Dear K,

Belajar online pada masa pandemi Covid-19 ini benar-benar pengalaman baru yang tak pernah diantisipasi siapa pun. Kau tidak siap. Ayah pun begitu. Bukan hanya bagi kita, semua orang pun begitu. Tak selalu berjalan mulus. Tak selalu lancar. Kadang semangatmu ambyar perlahan.

Pada satu hari, motivasimu sedang rendah-rendahnya, dan pekerjaan ayah sedang banyak-banyaknya. Kombinasi itu jelas buruk untuk mengawali hari kita berdua yang masih panjang. Namun, toh kita juga berhasil mengatasinya. Bersama-sama. Kita berhasil mencari jalan tengah agar tak ada salah satu dari kita yang menjadi “pihak kalah.”

Ayah senang hari ini engkau mendapat tugas membaca cerita tentang semut dan burung. Berikut nukilan ceritanya.

Pada suatu pagi yang basah karena hujan, semut menikmati pemandangan hutan yang segar dengan riang gembira. Tak jauh dari sana, ia mendengar suara aliran air sungai, yang entah mengapa menarik hatinya. Merasa penasaran, ia pun bergegas menuju asal suara. Saat berada di atas salah satu ranting pohon, semut bersenandung riang, si semut takjub dengan keindahan pemandangan dan sekaligus suara aliran air. "Segar sekali sepertinya air sungai di bawah ini" gumamnya dalam hati.

Ia lalu turun dari batang pohon dan menuju tepian sungai. Karena kurang berhati-hati, ia terpeleset. "Pluk" dan ia pun tercebur ke sungai. Derasnya arus sungai menyeret tubuhnya yang mungil.

“Toloooooooooooooooooong…,” teriak si semut yang panik karena tubuhnya terseret mudah. Sialnya, suara semut terlalu pelan sehingga teredam suara air yang sangat keras.

Di salah satu rating pohon sekitar 500 meter di hilir, seekor burung merpati bertengger asyik menikmati desir angin. Entah digerakkan kekuatan apa, kepalanya menoleh dan matanya tertuju pada sesosok semut yang berjuang menyelamatkan diri di tengah derasnya arus sungai.

“Aku harus menyelamatkannya” pekik si merpati di dalam hati. Si merpati lalu terbang ke tepi sungai dan memungut daun yang jatuh. Ia terbang dan menjatuhkan daun itu di dekat semut. Dengan sekuat tenaga, semut berusaha naik ke daun itu, dan berhasil. Meski sempat terhuyung, si semut akhirnya bisa mencapai daerah pinggiran sungai.

“Terima kasih, ya!” teriak si semut.

Karena suaranya lirih , si merpati tak mendengar dengan jelas lalu terbang sambil tersenyum.

Beberapa minggu berselang, merpati bertengger di salah ranting pohon. Di ketinggian sekitar 15 meter dari tanah, ia bisa melihat pemandangan yang indah sambil menikmati udara yang sejuk.

Ia tak sadar bahwa ada seorang pemburu yang mengarahkan senjatanya ke merpati itu. Si pemburu bergerak perlahan supaya tidak menimbulkan suara. Si merpati tak sadar sedang dalam bahaya.

Saat bersiap menarik pelatuk senjatanya, ia berteriak lantang sekali. Kaget, senjatanya pun lepas dari genggaman. Ternyata, tangannya digigit semut.

Mendengarkan teriakan lantang si pemburu, merpati Iangsung terbang. Ia sadar bahwa ia baru saja lolos dari kematian. Dari kejauhan, ia melihat semut yang melompat dari tangan si pemburu. Sadarlah ia bahwa semut itu telah menyelamatkan hidupnya.

“Terima kasih semut!” teriak merpati sambil terbang menjauh, menghindari si pemburu. Semut pun mendengar kicauan terima kasih si burung. Ia sangat senang karena bisa membalas budi baik merpati.

Dan begitulah cerita itu engkau baca dengan lantang.

Sebagaimana yang diajarkan dan diujikan di buku, pesan moral dari kisah ini adalah kita akan mendapatkan balasan atas kebaikan yang kita lakukan. Sekecil kebaikan itu, kita akan mendapatkan balasannya.

Tak salah memang. Itu benar adanya. Sedikit kebaikan, yang mungkin kau remehkan, bisa jadi kebaikan yang membawamu ke surga.

Namun, bila boleh ayah berpesan, posisikan dirimu sebagai semut saja. Lakukan kebaikan itu karena engkau merasa berutang budi. Atas kebaikan yang pernah dilakukan orang lain, baik kausadari maupun tidak. Atas doa yang dipanjatkan orang lain, entah kau tahu atau tidak. Atas kesehatan yang dianugerahkan Tuhan, pernah kau syukuri atau tidak.

Jadilah semut yang selalu merasa berutang budi dan tak pernah berharap balas budi. Tak mudah, tapi kita harus selalu berusaha...


Memutar Kembali Sang Waktu

 Siang itu, hari Senin yang terik pada 2006 akhir, aku mengantarnya ke suatu sekolah menengah atas swasta yang cukup terkemuka di Singosari. Dengan sepeda motor Astrea Grand hitam lansiran tahun 1995, yang joknya sudah robek karena dicakar kucing, dia harus kuantar untuk mencoba peluang ini.  Ya, hitung-hitung sebagai upaya seorang calon suami yang bertanggung jawab.

Setengah jam rasanya perjalanan dari Dinoyo dan Malang. Cukup lama bagiku, tetapi cepat sekali baginya. Setelah turun dari sepeda motor, dia mengayunkan langkah. Tak lama berselang, dia kembali.

“Aku gak berani. Ayo pulang saja.” tatapnya memelas. Rangkaian keraguan demi keraguan menghiasi sebagian besar raut mukanya.

“Gak berani apanya” jawabku ketus dan agak lantang. Mataku melotot. Tatapanku serius. “Kita sudah jauh-jauh ke sini. Kamu harus masuk. Kalo nggak berani masuk, kamu pulang sendiri saja ke Malang.”

Dari tatapannya, kutahu ia kecewa, takut, cemas, dan gugup. Singkatnya, dia serasa ingin mual. Dia toh tetap masuk melewati gerbang sekolah berwarna hijau itu. Saat berangsur hilang dari pandangan, kuantar dia dengan segenap doa agar dia dikuatkan. Apa pun keputusan yang diterima setelah keluar dari gerbang itu, dia harus bisa menerimanya. Harus ikhlas. Lalu belajar bangkit dan mencoba lagi. Setelah beberapa kali gagal, toh gagal sekali lagi takkan banyak mengusik hati.

Dalam momen menunggu itu, teringat kilasan-kilasan peristiwa selepas kami lulus kuliah sampai detik itu. Takdir memutuskan aku langsung bekerja di kampus tempat kami dulu menimba ilmu. Sementara itu, dia harus mengumpulkan sekira 100 lebih alamat sekolah SD, SMP, dan SMA. Daftar panjang itu lalu disortir menjadi daftar pendek sekolah yang kemungkinan bisa menerima lamaran pekerjaannya. Ya, alasan ekonomislah penyebabnya daftar panjang itu kami sortir. Dengan uang yang tersisa, kami bolak-balik memfotokopi ijazah, membeli amplop, lalu mengirimnya lewat kantor pos.

Jam berdetak, hari berlalu, minggu beringsut, tak juga dia mendapatkan panggilan untuk ikut tes atau wawancara.

Di tengah masa tunggu, dia terus melanjutkan rutinitasnya mengajar bahasa Inggris di salah satu pondok di Singosari. Bila tak ada kesibukan yang betul-betul mendesak, selalu kuluangkan waktu untuk mengantarnya.

Saat kegalauan melanda dan gundah gulana meraja, keluarganya di Jombang mengultimatum agar dia pulang saja dan mencari pekerjaan atau bahkan jodoh di Jombang, bila tidak kunjung mendapatkan pekerjaan di Malang. Ultimatum itu tidak hanya mengejutkan, tapi juga membuatku gentar. Sebab, kami mungkin akan menjalani LDR, yang menurut cerita banyak orang, lebih banyak cerita gagalnya daripada cerita suksesnya.

Dan, kami galau. Sebagai orang yang terlahir pesimis, kurasa hubungan kami di ujung tebing curam saja.

Lolos dari Lubang Jarum

Di tengah-tengah masa tunggu yang penuh ketidakpastian dan mencemaskan itu, dia tersenyum lebar dan wajahnya merona penuh bahagia pada suatu Ahad pagi saat kujemput dari pondok.

“Aku diminta datang besok ke SMAI Singosari” ujarnya saat naik ke sepeda motor.

“Oya, ngapain?”

“Salah satu santri NH bilang ke kepala sekolahnya bahwa dia punya guru bahasa Inggris di Pondok NH, yang sepertinya cocok bila mengajar di SMAI. Lalu, singkat kata si Kepala Sekolah meminta santri putri tersebut untuk menyampaikan kabar baik ini.”

“Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah” ucapku berkali-kali. Di mulut terlebih di hati.

Seandainya bisa kami temui lagi santri putri bernama Tika ini, kami akan terus berterima kasih yang tak terhingga atas bantuannya. Dia tidak hanya menunjukkan jalan, tapi juga memastikan hubungan kami berdua lebih pasti. Lebih jelas tanpa drama LDR, yang mungkin sulit kami lewati.

Beberapa bulan kemudian, aku baru tahu cerita lengkapnya, yang bila direkonstruksi begini.

Tika sangat terinspirasi dengan cara mengajar si guru bahasa Inggris ini. Si guru ini, menurut Tika, tulus. Mendobrak semua aturan kaku tentang hubungan antara guru dan santri putri. Baginya, si guru lebih seperti sahabat atau kakak. Tika tahu betul bahwa si guru sudah lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan, sebab para santri putri dan si guru bahasa Inggris ini kerap bertukar cerita. Sering saling curhat. Tika lalu berinisiatif menemui Kepala Sekolah untuk menanyakan apakah ada lowongan guru bahasa Inggris. Entah bagaimana ceritanya, saat itu, baru saja ada guru perempuan yang mengundurkan diri dari sekolah. Jadi, ada satu posisi guru bahasa Inggris yang lowong. Sang Kepala Sekolah, Bapak Anas, lalu, entah mengapa juga, mengiyakan dan meminta Tika agar si guru bahasa Inggris datang ke sekolah hari Senin untuk wawancara dan menyerahkan berkas-berkas.

Akhir itu Awal

Setelah sekitar 20 menit menunggu, dia keluar dari gerbang dengan seringai bahagia dan tak hentinya tersenyum. Wajah kecewa yang dia tunjukkan saat masuk sirna sama sekali.

“Aku diminta mulai kerja Senin depan” katanya dengan senyum terus mengembang sepanjang perjalanan.

Dan kebahagiaan itu mudah menular sehingga aku pun ikut bahagia tak terkira. Rasanya, sepanjang jalan Singosari – Dinoyo sangat mulus. Wangi bunga melati mengikuti kami. Lingkaran pelangi melengkung indah dan mewarnai perjalanan kami siang itu. Aneh memang, sebab tak ada hujan sehingga pelangi tak mungkin muncul

Setelah periode “bulan madu” itu, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa statusnya adalah guru kontrak yayasan. Karena guru kontrak yayasan dan masih baru, jam mengajarnya pun sedikit. Gajinya pun juga tak banyak. Bila dihitung-hitung, rasanya gajinya hanya cukup untuk membayar angkot Dinoyo – Singosari.

Kami pun mencari jalan tengah. Aku mengantarnya agar hemat biaya transportasi. Bila aku sedang tidak ada jadwal mengajar, aku menunggunya di Mushola Waqaf lawas di Jalan Keramat. Sangat sering, aku bisa menyelesaikan satu buku saking lamanya menunggu. Bila bosan menanti, kadang-kadang lalu berpindah ke lapangan Tumapel. Saking lelahnya, tak jarang aku tertidur di atas sepeda yang kudongkrak tengah.

Singkat cerita, kami pun menikah. Masalah ekonomi lalu mengiringi. Membayar kontrakan. Listrik. Iuran. Dan segenap tagihan lain. Rasanya dunia mulai menghimpit. Napas kadang tersengal, bukan karena olah raga, tapi karena beban tagihan.

“Aku berhenti saja ya jadi asisten pengajar ini” ujarku pada suatu hari. Dia terkejut. “Aku kurang berbakat jadi pengajar. Sampeyan yang lebih berbakat. Jadi, kita bagi tugas: aku cari uang, sampeyan cari pahala dari berbagi ilmu. Setiap bulan sampeyan harus transfer pahala, aku transfer duit belanja ya.”

Wajahnya lalu sembab oleh air mata.

“Sampeyan bisa menyentuh banyak hati karena menurutku sampeyan mengajar dari hati dan dengan hati. Kayaknya, Tika memberanikan diri dan menekan rasa gugupnya dan menemui kepala sekolah itu ya karena itu. Karena dia memperjuangkan sampeyan agar bisa terus jadi guru. Karena dia ingin banyak anak yang bangkit dan berani karena terinspirasi sampeyan.”

Alhamdulillah, keputusan kami tepat. Relatif banyak hati berhasil dia sentuh. Sebagian pikiran berhasil dia luruskan. Sebagian jalan ia bantu luruskan. Sebagian suasana dia ceriakan.

Saat kekecewaan menghantam atau kesedihan menerkam, lalu dia terhuyung dan kehilangan pijakan, aku selalu mengulangi cerita ini. Karena ingatan mudah tergerus putaran waktu, kuputuskan menulisnya di sini. Meskipun aku tak tahu, apakah tulisan ini masih ada gunanya.

Pada satu titik terendah, mungkin aku perlu mengajaknya kembali menengok titik awal saat kami memulai. Saat kubonceng dengan sepeda grand hitam lalu sedikit “membentaknya” untuk mendorong agar dia berani mencoba. Saat Tika berani menggedor pintu kepala sekolah padahal dia hanya siswi biasa. Kami perlu mencoba memulai lagi semuanya dari awal. Dari titik saat aku mengantarnya ke pintu gerbang berwarna hijau.



Seperti yang mungkin kau duga, ya kumaksud si guru bahasa Inggris itu Yulia Dian Nafisah.

Dear K - Jadilah Dirimu yang Terbaik (Amplop 1)

Singosari - Hari Ahad sore 30 Agustus 2020 itu, kau berangkat dengan riang. Kau akan melihat teman-temanmu berlomba. Mulai dari lomba kelereng, memasukkan paku ke dalam botol, hingga sepakbola.

Dan kau berkata tidak akan ikut. "Hanya ikut nonton" katamu. Beberapa saat kemudian engkau dijemput teman-temanmu lalu adikmu ikut serta. 

"Ikuto saja Le. Toh nggak ada biayanya" saran ayah.

"Nggak. Mau nonton saja" sergahmu sambil tersenyum lalu turun dan menyusul teman-temanmu, berlari menuju sawah di samping kantor kelurahan.

Meskipun sejatinya ayah dan ibu ingin kamu ikut lomba, kami maklum dan oke-oke saja bila pada akhirnya engkau tidak ikut lomba. Saat kami mendorongmu ikut lomba, itu sebenarnya agar tumbuh rasa percaya dirimu. Agar tumbuh keberanianmu. Agar tumbuh rasamu ingin berusaha. Tak perlu kau menang. Ikut lomba saja kami sudah senang. 

Namun toh itu hidupmu, yang perlu kau jalani dengan riang. Dengan keputusan yang kamu ambil sendiri. Dengan konsekuensi yang kamu tanggung sendiri. Pada akhirnya, ayah dan ibu hanya ingin mendampingi dan mendorongmu mengambil langkah yang mungkin kau ragu. Ayah dan ibu hanya ingin seperti itu. Menjadi pendorong dan menjadi orang yang menerima apa pun keputusanmu pada akhirnya.

Beberapa saat kemudian engkau pulang dengan sama sumringahnya. Wajahmu bersinar bahagia. 

"Aku menang"

"Lomba apa Le?" tanya ibumu sambil tersenyum. "Selamat ya. Sampeyan itu lho bisa."

"Pukul air." Engkau tersenyum lebar dan tertawa.

"Juara berapa"

"Nomor satu Bu."

"Selamat ya Le" kata ayah sambil merentangkan tangan dan memelukmu. Lama sekali dan ayah tidak ingin melepaskannya. Ayah mendekapmu dengan rasa bangga sekaligus bahagia.

Ayah bangga atas kemenanganmu, tapi ayah lebih bangga atas kemauanmu mencoba. Engkau bisa saja menolak dan menolak terus, tapi kau mau mencoba. Mau menerima risiko kegagalan. Mau menanggung rasa malu seandainya gagal. Dan kau melakukan semua dengan riang gembira.

Ayah ingat bahwa ayah dulu juga hanya menang satu lomba, yaitu makan kerupuk. Itu pun juara kedua dari lima peserta hehe... dan pencapaianmu ini jauh lebih baik.

Ayah langsung teringat suatu puisi, yang judulnya jadilah dirimu yang terbaik.

Jika kau tak dapat menjadi pohon meranti di puncak bukit
jadilah semak belukar di lembah,
Jadilah semak belukar yang teranggun di sisi bukit
Kalau bukan rumput, semak belukar pun jadilah

Jika kau tak boleh menjadi rimbun, jadilah rumput
dan hiasilah jalan dimana-mana
Jika kau tak dapat menjadi ikan mas, jadilah ikan sepat
tapi jadilah ikan sepat di dalam paya

Tidak semua dapat menjadi nahkoda,
lainnya harus menjadi awak kapal dan penumpang
Pasti ada sesuatu untuk semua
Karena ada tugas berat, ada tugas ringan
Diantaranya dibuat yang lebih berdekatan

Jika kau tak dapat menjadi bulan, jadilah bintang
Jika kau tak dapat menjadi jagung, jadilah kedelai
Bukan dinilai kau kalah ataupun menang
Jadilah dirimu sendiri yang terbaik   

Tak perlu selalu menjadi pemenang atas segala usaha. Jadilah dirimu yang terbaik, apa pun itu. Sekecil atau sebesar apa pun. Jadilah dirimu yang terbaik, versimu sendiri. Tak perlu selalu jadi yang terdepan dan tertinggi, jadilah orang yang mau mencoba dengan upaya terbaik.

Itu saja, kami sudah bangga.