40 hari, dan masih segar di ingatan

Gimana kabar anak-anak?
Baik-baik saja Bu.
Ibu baik-baik juga kan?
Ibu baik, bapak sehat.

Ahamdulillah.
Ibu juga jaga kesehatan ya.
Maaf belum bisa pulang, corona masih ramai.
Anak-anak juga masih ujian.

Ya, salam saja ke anak-anak.
Ke istrimu juga. Sehat kan, ya?
Ibu gak pengin apa gitu?
Jaga keluarga dan kesehatanmu saja.

Baru kemarin rasanya Bu. 
Masih segar. 
Kita masih bercakap.
Tentang sehat dan menjaga kesehatan

Kukira masih banyak waktu.
Esok hari di ujung telepon masih bisa kudengar lagi suaramu.
Kapan-kapan masih bisa bertemu. Mengulur-ulur waktu.
Dua pekan lagi aku akan pulang ke pangkuanmu.

Lalu tiba-tiba, sudah 40 hari.
Suaramu masih terngiang, jernih.
Senyummu melekat di ujung mata, abadi.
Pengorbananmu mengakar kuat di jiwa, bersemi.

Aku berjanji, Bu,
mencintaimu di setiap hela,
menyayangimu di setiap doa,
membawamu di setiap langkah.

Photo by Goutham Krishna on Unsplash




jejakmu ibu

bila pun kulipatgandakan nyawa sejuta kali
dan kupersembahkan untuk mengganti
secuil perhatian yang kau beri
itu takkan pernah memadai.

terima kasih ya Bu, sudah menemani
belajar percaya dan meyakini
walau lemah anakmu ini
hanya kurang yang ia miliki.

terima kasih sudah ada
mengajari makna
memberikan cinta
walau tanpa banyak berkata.

terima kasih sudah menjadi terang
menjadi tempatku pulang
baik saat kalah maupun gagal
baik saat terjatuh maupun terjengkang.

terima kasih sudah mengajariku kuat
bahwa pisau tajam karena diasah
bahwa bata berguna setelah ditata
bahwa jiwa kuat karena ditempa banyak rasa.

dan aku masih terus akan menabung rindu
dan kupecahkan saat nanti kita bertemu.

A Mother/Ibu - Photo by J W on Unsplash


Manusia Bertelur Emas

Pada suatu pelatihan di sebuah internal perusahaan, seorang narasumber berbicara tentang make your employees happy and they will make your clients happy. Artinya, bahagiakan para karyawanmu agar mereka membahagiakan para klien. Intinya, kebahagiaan karyawan adalah kunci untuk menjaga kelangsungan bisnis.
Dalam kesempatan lain, Vala Afshaar menulis "start from employee experience before customer experience". Artinya, mirip-mirip dengan istilah di atas. Kebahagiaan karyawan dan orang yang bekerja dengan kita harus didahulukan.
Jadi, menurut si pembicara tersebut, salah satu tugas utama manajemen adalah memastikan para karyawannya bahagia. Dengan begitu, para karyawannya akan melayani dan menunaikan tugas dengan sangat senang.
Cerita ini mengingatkan saya pada cerita tentang kisah telur emas, yang konon berasal dari zaman Yunani.

Kisah Telur Emas

Pada suatu masa, hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Meskipun begitu, mereka berpikir untuk mencari usaha. Mereka pun membeli seekor ayam betina. Karena ayam betina itu salah satu harta paling berharga, mereka merawatnya secara sangat baik. 
Suatu ketika, pasutri tersebut ingin membelikan pakan untuk si ayam betina. Sayangnya, tak ada sepeser uang pun untuk membeli pakan. Mereka sedih, tetapi apa yang harus dilakukan.
“Aku akan coba bertelur agar mereka bisa membeli pakan” pikir si ayam betina setelah sehari sebelumnya kawin dengan salah satu ayam jantan. 
Hari itu, si ayam betina memutuskan bertelur. Ternyata, telur bukan sembarang telur, tetapi telur emas. Pada pagi hari saat memeriksa kadang, mereka kaget bukan kepalang. Setelah berterima kasih pada si ayam, keduanya berangkat untuk menjual telur emas tersebut.
Mereka mendapatkan banyak uang dari telur emas tersebut. Mereka menghabiskan uang itu untuk kebutuhan hidup mereka dan pakan.
Melihat majikannya senang, si ayam betina ikutan senang. Hampir setiap hari ia bertelur.
Pasutri itu pun menjadi kaya raya. Mereka tak perlu susah-susah mencari uang. Stok makanan mereka melimpah dan lezat.
“Semua kekayaan ini berkat telur emas ayam kita. Dia wajib bertelur tiap pagi. Ya, agar kita tak melarat lagi,” ucap sang istri.
Kian hari, mereka kian boros. Mereka menghambur-hamburkan uang yang diperoleh dari telur emas. Namun, mereka lupa memperhatikan ayam betina mereka. Ayam itu jarang diberi pakan.
“Kalian tak tahu diuntung. Aku bertelur emas setiap hari. Namun, kalian hamburkan. Kalian juga lupa padaku” dengus si ayam betina yang jengkel. “Besok kuputuskan, tak mau bertelur lagi” sambungnya.
Keesokan harinya, si ayam betina benar-benar tak bertelur. Begitu pun setelahnya. Pasutri itu cemas. Uang mereka juga kian menipis. Yupz, lebih besar pasak daripada tiang.
Pasutri itu pun kembali miskin. Mereka pun marah dan kesal.
"Tugasmu itu bertelur setiap hari agar kami tak miskin lagi!” dengus sang suami.
“Dasar ayam bodoh,” umpat sang istri dengan nada tinggi.
“Kita potong saja ayam itu. Pasti banyak telur emasnya di dalamnya” balas suaminya.
Mata sang istri berbinar setelah bersepakat untuk menyembelih ayam tersebut. Ternyata tak ada telur emas di dalamnya. Mereka tentu saja sangat kecewa. Setelah si ayam mati, mereka tak bisa berharap lagi. Itu semua karena ketamakan dan lupa membalas jasa.
Photo by Bofu Shaw on Unsplash
Hikmah
Kisah ini sering sekali diceritakan setiap kali ada sesi tentang manajemen sumber daya manusia. SDM bervariasi. Ada SDM yang kinerjanya sangat bagus, tetapi bekerja di bawah radar. Ada SDM yang kinerjanya biasa saja, tetapi sangat lihai menunjukkan seakan-akan hasil kerjanya jempolan. Ada SDM yang kinerjanya di bawah standar tetapi pintar mengambil hati.
Tugas manajemen adalah mengidentifikasi orang-orang tersebut. Tujuannya, SDM bisa memberikan pakan dan gizi yang seimbang kepada SDM bertelur emas. 

Saat Tuhan Menguji Kata-Katamu

Leo Tolstoy pernah menulis salah satu cerpen yang sangat terkenal, dengan judul "God Sees the Truth, but Waits". Artinya kira-kira "Tuhan Maha Tahu, tetapi Menunggu." Beberapa orang merasa bahwa yang dimaksud Leo Tolstoy bukan harfiah. Bukan berarti bahwa Tuhan itu sukanya menunggu dan tidak melakukan apa-apa. Maksudnya kira-kira, Tuhan bekerja secara misterius. Tuhan menunggu. Menunggu kita berubah. Menunggu kita bertindak. Menunggu kita menyadari.

Begitu pula sehari setelah aku menulis tentang Sebatang Kara Tapi Tak Lantas Menderita. Kukira hanya tulisan biasa saja. Toh, hanya dari lagu yang kebetulan terdengar sepulang dari Batu. Ternyata Tuhan menunggu, tapi tak lama.

Jadi ceritanya: Selasa pagi itu, aku harus mengantarkan Kafka ke pinggir jalan untuk kemudian naik angkot ke sekolahnya. Tak ada yang aneh atau terasa berbeda. Semuanya normal saja. Kami juga bercakap seperti biasa.

Sepulang dari jalan raya, ada kucing yang terlihat linglung di tengah jalan masuk gang menuju rumah. Matanya sembab. Jalannya agak sempoyongan. Saat kulewati, kucing tiga warna itu hendak menyeberang jalan. Sontak, aku pun mengerem motor, menurunkan standar, lalu turun dari sepeda untuk meminggirkan kucing tersebut. Mencoba menyelamatkannya agar tidak tertabrak saat menyeberang perempatan yang pagi itu agak ramai.

Saat kutarik ke pinggir jalan, suaranya lemah seakan memohon-mohon untuk dipertemukan dengan sang induk. Mata kami bersirobok dan ia menatapku dengan melas. Sejurus kemudian, dia mengikuti langkahku dan berlindung di bawah sepeda motor. Karena tak bisa memajukan sepeda motor, kupinggirkan lagi kucing itu.

Setelah itu, kubetot gas sepeda motor agar bisa segera pulang. Sial, mata sembabnya terlintas di pikiran. Suara lirihnya terngiang-ngiang di telinga. Ingatanku lalu membawa ke tulisan tentang sebatang kara. Apakah pantas makhluk sekecil itu dibiarkan tak berdaya lalu mati sebatang kara? 

Sesampainya di rumah, kuberi tahu istri yang sedang masak tentang kucing kecil yang berjalan sempoyongan di jalan masuk gang. Sontak, istriku yang pecinta kucing langsung mengambil baju dan berjalan menuju lokasi kucing.

Beberapa menit kemudian, seperti sudah kuduga dia memeluk dan memangku makhluk kecil itu. Mata istriku ikut-ikutan sembab saat melihat kucing yang terlihat kehilangan daya. Ia mengelus kucing tersebut dengan penuh rasa iba. 

“Ayo kita adopsi kucing ini” katanya sambil menatapku untuk meminta persetujuan. Melihatku yang tak menunjukkan rasa keberatan, “Kita kasih nama kucing ini Mochi”. 

Menurutku, mengadopsi kucing mungil ini langkah yang paling pas. Aku juga tidak tega melihat kucing imut itu kedinginan. Keena lalu mengambil handuk untuk membantu menghangatkan kucing mungil itu. Beberapa menit setelah diselimuti handuk, ia terlihat lebih nyaman dan matanya lebih cerah.


Keena dan istriku lalu berangkat ke sekolah masing-masing. Siangnya, Kafka yang pulang dari sekolah kaget karena mendengar suara kucing. Wajahnya langsung semringah, katanya. 

Sepulangku dari kantor, kami  sekeluarga kembali berkumpul malam itu untuk melihat mochi.  

“Kita bawa ke dokter hewan saja ya” usul istriku. “Kita tidak akan mampu merawat kucing yang masih kecil dan semestinya dirawat oleh induknya ini.”

Tak ada yang setuju dengan usul itu. Karena Mochi sudah terlihat lebih sehat setelah kami beri makan creamy treat. Lebih bugar. Namun, ada satu masalah yang tak kunjung tuntas: baunya sangat tidak enak. Bau kecut, bau tanah, bau kotoran, dan bau urin bercampur. Amboi betul.

Di antara kabar baik dan kabar buruk itu, harapan kami hanya satu: Mochi bertahan hidup. Dan ia berhasil hidup sampai hari Sabtu. Empat hari. Pada hari Minggu pagi, kami putuskan untuk memandikannya biar baunya tak terlalu menusuk hidung.  

Namun, dari situ masalahnya muncul. Saat kumandikan, Mochi terlihat sempoyongan. Ia tak bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk membawanya ke klinik dokter hewan.

Sesampainya di sana, dokter hewan perempuan berjilbab hitam dan berbaju biru keluar dari kamar. Ia lalu meminta kami membawa mochi ke meja periksa.  

Suara sang dokter langsung berubah parau seakan menahan tangis. Matanya ikut-ikutan sembab.  Setelah memeriksa suhu mochi yang ternyata 33 derajat dari semestinya 38 derajat, Mochi dihangatkan di suatu oven khusus kucing. Tujuannya, suhunya kembali normal.

“Kucingnya ini masih terlalu kecil, jadi belum punya imun. Kecil kemungkinan untuk bisa bertahan hidup, tapi kita berusaha ya.” Dari tatapannya, kami bisa membaca bahwa ia hanya berusaha menghibur. Ia tidak yakin Mochi akan bertahan hidup. 

mochi dihangatkan

Pukul 5 sore, masuklah pesan WA dari klinik dokter hewan tersebut. Mochi dikabarkan meninggal dunia.  Sambil mengucapkan turut berduka cita, mereka menyampaikan bahwa mochi bisa diambil hari itu.

Istriku terus saja terisak. Begitu pun Keena, anak kedua.  Begitu juga Kafka yang sesenggukan. Ia yang paling dekat dengan Mochi, yang diajaknya menemani saat ia belajar. Hanya aku yang tidak menangis. Bukan karena tidak sedih, tetapi harus ada orang yang berpikir logis dan mencari cara untuk membawa Mochi pulang.

Aku pun mengajak Kafka untuk menjemput jasad Mochi. Sepanjang perjalanan, kami berdua terdiam. Waktu terasa memuai saat engkau diselimuti duka.  Terasa ada lubang besar di hati tapi tidak tahu apa. Terasa ada yang hilang tapi engkau tak paham. 

Sepulangnya dari klinik, kami membuat lubang makam untuk mochi. Kami tidak ingin lama-lama membiarkannya terbungkus kain.  Kami ingin ia segera kembali ke tanah dan menyatu dengan alam.

Kematian Mochi menyadarkanku bahwa takkan ada yang bisa menunda atau mempercepat laju kematian. 

Aku juga tersadar telah melakukan kesalahan. Aku tidak mencari di internet tentang pada usia berapa kucing bisa dimandikan.

Namun, yang terjadi, terjadilah. Penyesalan takkan mengubah apa-apa.

“Setidaknya kita membiarkan Mochi punya keluarga menjelang akhir hidupnya. Kita tidak membiarkan ia menderita dan sebatang kara” suaraku kalah lantang dari suara tangis mereka bertiga.

“Kita juga membawanya ke dokter hewan yang artinya kita peduli dan sayang”

Apakah ini karma karena aku menulis tentang sebatang kara? Apakah karma juga dari tulisan? Atau inikah cara Allah menguji kata-kataku bahwa kita tidak boleh membiarkan siapa pun sebatang kara?




Sebagian Teman kan Musibah?

Hujan rintik mengawali pagi yang temaram oleh matahari yang tertutup awan gelap. Fajar bersembunyi di balik gunung Semeru di sisi timur. Di sudut selatan rumah, tak terlihat rombongan burung pipit yang biasanya terbang rendah. Kupu-kupu dengan sayap-sayap menawan yang tak terlihat sejak kemarin tak juga menampakkan batang hidungnya. Rasa-rasanya mendung Malang membuat orang-orang, bahkan hewan-hewan, tak mau beranjak dari peraduannya.

Tidak semua kehadiran kawan membuat kita bersyukur, kan? Beberapa menjengkelkan. Sebagian kayak angin lalu saja. Tak banyak dihiraukan.   

Itu komentar salah seorang teman setelah membaca Hadirmu Hadiah Terbaik Bagiku, yang membuatku kaget pagi itu. Pembahasannya sudah berat sekali. Ia lalu bercerita pengalamannya. Karena suatu tugas, ia mengajari orang lain, sebutlah namanya Kipli, prosedur menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Anggaplah tugas perencanaan. Ia sudah lama mengajarinya dengan segenap tenaga dan perhatian. Ia betul-betul maksimal hingga rasanya stok kesabarannya mulai menipis dan hampir saja habis.

Mungkin kehadirannya juga hadiah. Hadiah dari Tuhan agar kita belajar mengasah kemampuan sabar, ujarku sambil tertawa. Jadi, biar item nilai kesabaran kita di rapor tidak kosong.

Bisa jadi, balasnya sambil tertawa. Atau kita jadi bersyukur, kita tidak sebebal itu, lanjutnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Kadang kehadiran teman itu membuat kita bersyukur... dan kadang bersabar. Cuman kita saja yang tidak sabar, ucap seorang ustadz pada suatu ketika sambil menyunggingkan senyum.

Dan kemudian pada khutbah Jumat siang kali ini, sang khotib di Masjid Muhajirin Perumahan Joyogrand juga menyampaikan pesan serupa. Kata beliau, kita dari kecil sudah diajari dan belajar tentang dua hal: syukur dan sabar. 

Saat SMP, pelajarannya juga sama: syukur dan sabar. Saat sudah punya anak pun, pelajarannya kembali dua hal tadi itu: syukur dan sabar. Cuman, lanjut sang Ustadz, tingkatan syukur dan sabar kita jadi berbeda.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Pada awalnya, kukira syukur dan sabar itu juga sikap pasif. Setelah kita diberi sesuatu, kita lalu memilih untuk bersyukur atau bersabar, sesuai sikap default kita. Model mental kita. Setelah hidup sekian tahun, rasanya syukur dan sabar ini rasanya juga sikap aktif.

Misalnya, kita bisa menjadi teman yang selalu membantu dan hadir saat teman kita terpuruk. Dan kita hadir dan ikut bahagia saat teman kita beruntung. Artinya, kita menjadi sarana bagi teman kita tersebut untuk bersyukur dengan kehadiran kita. Di sisi ini, kita jadi SYUKUR. Atau kita bisa jadi SABAR. Misalnya, saat berjanji untuk datang, kita ingkar. Atau kita bercerita buruk-buruknya orang tersebut kepada orang lain. Atau menyumpahi teman kita saat terpuruk.

Nah, saat teman saya patah hati dulu, saya bilang "SYUKURIN" sambil tertawa terbahak-bahak. Kalau begitu, saya itu jadi SYUKUR atau SABAR? #entahlah

Hadirmu Hadiah Terbaik Bagiku

Setelah meneruskan tulisan tentang Biarkan Matahari Tembus Lubang Hatimu, Faiz menulis di WhatsApp:

Jamanku patah hati, Abidin mengajakku berkeliling naik angkot biru. Entah kemana. Aku tak ada semangat. Dia tetap memaksaku.

Saat kami kuliah, memang Abidin paling dewasa. Paling bisa membaca dan ngemong teman-temannya. Termasuk saat Faiz patah hati. Momen patah hati tak pernah mudah bagi siapa pun. Saat itu, kita cenderung terdorong untuk mengurung diri. Mengasihani diri sendiri. 

Dan Abidin bisa membaca itu semua, dan mengajak Faiz berkeliling. Itu memang takkan menyembuhkan hati yang kadung patah dan terserak. Tak bisa mengembalikan jiwa yang tersesat. Tak bisa membangun rasa percaya yang kadung ambruk. Namun, kita jadi punya panduan. Kita seakan melihat cahaya temaram, yang akan memandu kita kembali. Kita jadi tidak merasa sendiri. Serasa ada harapan yang muncul dan menyeruak. 

Bila dirangkum, itulah artinya teman. Memahami dirimu tanpa kau perlu banyak bercerita. Hadir dengan satu alasan. Bahwa dia itu teman kita. Dan mengulurkan tangan saat kau butuh bantuan. Meminjamkan telinga saat kau butuh orang yang bisa mendengarkan. 

Ingatan itu juga membawaku pada suatu momen pertunangan dulu. Tanpa kutahu sebelumnya, Abidin dan Faiz datang bersepeda motor dari Malang. Aku yang sedang sakit pun dipijat oleh Faiz lalu dibawa ke bidan desa oleh Abidin. Sejenak kemudian, Hadaruddin jauh-jauh dari Malang dan sampai ke rumah dengan memesan ojek dari Jabung. Kehadiran selalu berkesan. Kau boleh tidak membawa apa-apa. Selama engkau hadir dengan segenap tulus jiwa, engkau sudah menjadi hadiah terbaik. 

Bahwa betul sakit tidak akan sembuh dengan kita hadir. Bahwa hati yang patah takkan lantas kembali utuh. Namun, kehadiran akan menjadi nyala. Kehadiran akan selalu menjadi hadiah terindah bagi para penerimanya.

Photo by Kira auf der Heide on Unsplash

Namun, kita tidak bisa mengendalikan atau menentukan atau meminta agar teman-teman kita hadir pada momen-momen tergelap kita. Pada saat kita sebatang kara. Mereka punya kehidupan mereka sendiri. Punya ritmenya sendiri. Punya jalur yang harus mereka tempuh sendiri. Kadang seberapa pun mereka ingin hadir, situasi dan waktu menjadi penghalang.

Di dalam kendali kita adalah bagaimana kita menjadi sahabat bagi diri sendiri. Menjadi teman dan sahabat terbaik bagi orang-orang sekitar. Hadir dalam momen bahagia. Hadir dalam momen duka. Dan menjadikan kehadiran kita hadiah, yang orang lain syukuri...